REMAJA JANGAN GAMPANG TERMAKAN HOAX
Oleh: Nanang M. Safa'
Dunia digital telah mengambil peran di kehidupan nyata. Hampir keseluruhan keseharian kita dikuasai teknologi. Kita telah dibawa ke dunia tanpa batas. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang, juga sekat-sekat lain yang sebelumnya menjadi penghalang. Padahal sebenarnya sekat-sekat itu juga berfungsi sebagai filter ampuh untuk menyaring informasi yang masuk ke dunia kita. Ini adalah tuntutan, ini adalah zamannya, dan ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Siapapun bisa menyampaikan uneg-uneg, ide-ide dan kegelisahan jiwanya secara bebas. Dan di sisi lain, siapapun bisa menerima uneg-uneg, ide-ide dan informasi itu dengan sangat cepat. Internet bukan lagi barang mahal. Siapapun bisa mengaksesnya dengan sedikit modal. Namun sayangnya seringkali banyak orang lupa, internet biar bagaimanapun adalah dunia maya (tidak nyata) biarpun dunia maya itupun nyata adanya. Di sinilah ruang yang bisa diputarbalikkan, ruang yang bisa dimanipulasi, ruang yang bisa diadaptasi, ruang yang bisa diplagiasi, ruang yang bisa dipolitisir, dan ruang yang bisa didramatisir.
Informasi di dunia maya bisa berupa informasi verbal (kata-kata), audio (suara), visual (gambar), dan visual audio atau vidio (gambar dan suara). Kemudian muncul orang-orang usil dengan berbagai kepentingannya (pribadi maupun kelompok) yang suka mengacak-acak informasi-informasi tersebut, dan sudah tentu juga untuk tujuan-tujuan tertentu, biarpun ada juga yang mengaku “iseng” atau sekedar melampiaskan hoby. Namun segampang itukah orang percaya? Kalaupun toch hoby mesthinya direview agar arahnya positif, sebab biar bagaimanapun mengacak-acak informasi itu merupakan sebuah kejahatan. Informasi nyata diacak-acak menjadi informasi semu, atau sebaliknya. Informasi benar diacak-acak menjadi informasi tidak benar, atau sebaliknya. Informasi penting diacak-acak menjadi informasi tak penting, atau sebaliknya. Dan yang lebih berbahaya lagi jika informasi yang diacak-acak tersebut berada pada wilayah sensitif seperti yang menyangkut agama dan keyakinan, suku dan ras. Dampak dari kelakuan jail orang-orang tidak bertanggung jawab ini akan bisa membawa kepada kehancuran, sebab sama juga dengan menyebarkan fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan.
Kita seringkali mendengar pernyataan bahwa masyarakat sekarang ini sudah cerdas, mampu memilih dan memilah informasi yang benar dan yang bohong (hoax). Namun jangan lupa juga bahwa secerdas apapun orangnya bila terus dijejali dengan kebohongan maka daya pikir kritisnya juga bisa tersumbat, hingga pada akhirnya kebohongan itu dianggapnya sebagai kebenaran. Bukankah kebohongan yang diulang-ulang bisa dianggap sebagai kebenaran? Bukankah kemungkaran dan kemaksiyatan yang dibiasakan bisa dianggap sebagai adat dan budaya?
Remaja dan Hoax
Informasi hoax tiap hari bersliweran di sekitar kita. Berbagai grup media sosial menjadi sarana paling mudah dan paling murah untuk menyebar informasi hoax. Detik ini muncul informasi beberapa menit berikutnya informasi itu sudah beranak-pinak dengan berbagai ragam komentar dan tanggapan. Inilah dunia kita sekarang, tanpa batas ruang dan waktu.
Remaja adalah asset penting bagi kelangsungan sebuah bangsa. Maka salah satu sasaran hoax paling utama adalah para remaja. Remaja menjadi rebutan para hoaxer untuk mendapatkan like dan pengikut. Jika remaja sudah dikuasai oleh hoax maka akan rapuhlah sendi-sendi bangsa tersebut. Jika hoax sudah merasuki jiwa para remaja maka akan mudahlah menghancurkan peradaban suatu bangsa. Para hoaxer paham betul bahwa masa remaja adalah masa rentan yang mudah dipengaruhi oleh arus informasi. Remaja bersama kelompoknya menjadi lahan subur untuk menyemai hoax. Remaja memegang porsi paling besar terhadap kebutuhan gadged (gawai) dengan segala fasilitasnya. Menurut Kementerian Kominfo, di akhir tahun 2016 ada 800 ribu situs yang terindikasi menyebarkan hox dan ujaran kebencian. Hox banyak disebar terutama melalui media sosial. Berdasarkan hasil survey We Are Social di tahun 2017, 18 persen pengguna media sosial berusia 13 sampai 17 tahun, yang merupakan usia pelajar (https://m.republika.co.id).
Remaja-remaja frustrasi (karena berbagai problem yang dihadapinya) menjadi makanan empuk para hoaxer. Jiwanya yang labil tentu sangat gampang dimasuki oleh informasi hoax. Namun bukan lantas remaja-remaja pintar tidak bisa termakan hoax. Remaja dalam kategori pintar (di sekolah maupun dalam kelompoknya) justru bisa dijadikan “tim sukses” untuk memviralkan dan memopulerkan informasi hoax yang mereka buat.
Bagaimana seharusnya kita bersikap?
Kita tidak akan pernah bisa menghindar dari hoax. Kita tidak bisa menutup diri dari dunia maya. Kita juga tidak bisa bermimpi kembali ke masa lalu, bebas dari berbagai informasi dunia global, hidup damai jauh dari kebisingan informasi. Sebaliknya kita tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap informasi hoax yang bersliweran di sekitar kita, karena sikap ini tidak sejalan dengan perintah agama kita. Bukankah agama kita mengajarkan kepada kita untuk amar ma’ruf nahi munkar? Bukankah informasi hoax itu termasuk salah satu bentuk fitnah dan kemungkaran? Bukankah dengan demikian meredam informasi hoax itu salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar? Kita memang tak akan berdaya memberangus informasi hoax. Namun setidaknya kita tidak ikut mempercayainya apalagi menyebarkannya. Inilah salah satu bentuk ikhtiar kita dalam menjalankan misi amar ma’ruf nahi munkar.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...