PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: opini
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

26/06/2024

Transformasi Digital Madrasah Ikhtiar Menuju Madrasah Maju, Bermutu, dan Mendunia

 

TRANSFORMASI DIGITAL MADRASAH

IKHTIAR MENUJU MADRASAH MAJU, BERMUTU, DAN MENDUNIA

Oleh: Nanang M. Safa

 


 

Transformasi digital madrasah sedang menjadi trending topic di tahun 2024. Setelah mencapai tataran “Madrasah Lebih Baik, Lebih Baik Madrasah”, “Madrasah Hebat Bermartabat”, “Madrasah Mandiri Berprestasi”, sekali lagi madrasah ingin membuktikan diri mampu eksis dan memimpin di depan dengan slogannya “Madrasah Maju, Bermutu, dan Mendunia”. Salah satu langkah nyata yang dilakukan adalah transformasi digital madrasah.

 Madrasah di era tahun 80-an hingga tahun 90-an diframing sebagai sekolah nomor dua. Anak-anak yang masuk di Madrasah Tsanawiyah (MTs) maupun Madrasah Aliyah (MA) pada era tahun 80-an hingga tahun 90-an seringkali dibully sebagai anak-anak buangan dari sekolah umum (SMP atau SMA).

Berkat kerja keras para pemikir dan orang-orang yang getol memperjuangkan madrasah, sejak dua dasa warsa terakhir ini madrasah benar-benar mampu menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan formal yang hebat bermartabat. Dan di tahun 2024 ini, Kementerian Agama melalui Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah sedang gencar mengampanyekan transformasi digital di madrasah. Tidak main-main, untuk bisa segera merealisasikan program tersebut, Kementerian Agama langsung menggandeng beberapa lembaga pendukung seperti Word Bank, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Kementeian Dalam Negeri (Kemendagri) serta beberapa provider jaringan telekomunikasi.

Konsep transformasi digital madrasah sendiri sebenarnya didasari pada keyakinan bahwa madrasah memiliki peluang untuk menjadi lembaga pendidikan kelas dunia sesuai kehendak zaman tanpa harus kehilangan ruh keislamannya. Salah satu syarat untuk menuju ke arah sana adalah terwujudnya madrasah digital (digitalisasi madrasah).

Transformasi digital bukanlah hal yang sederhana. Transformasi digital tidak hanya berhubungan dengan tampilan fisik (sarana prasarana) saja, melainkan yang lebih utama berhubungan dengan mind-set dan culture-set. Maka tentu butuh dana besar untuk bisa mewujudkan mimpi besar ini.

Masih banyak guru yang tidak terlalu akrab dengan beragam aplikasi digital yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan tugasnya sebagai guru maupun tugas-tugas tambahan lainnya. Demikian juga masih banyak siswa yang gaptek. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama. Teknologi butuh alat yang tidak sederhana. Handphone android yang tidak ecek-ecek serta jaringan internet yang memadai akan sangat berpengaruh terhadap terwujudnya transformasi digital madrasah. Ini masih dalam tataran sampul.

Mencermati lebih dalam dan butuh kesungguhan untuk merubahnya adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran kepada semua warga madrasah agar memiliki rasa handarbeni terhadap sarana prasarana yang ada di madrasah. Kerusakan terhadap sarana prasarana madrasah akibat dari rendahnya rasa memliki ini tentu akan menjadi batu sandungan yang serius jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah pencegahan sejak awal. Memperlakukan fasilitas madrasah semau-maunya bahkan sampai merusaknya adalah hal yang masih sering ditemukan di madrasah. Maka membangun mind-set dan culture-set sudah seharusnya menjadi garapan utama.

Khusus untuk Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 (Matsanepat) Trenggalek tentunya transformasi digital bukanlah hal yang benar-benar baru. Pembuatan laporan berbasis digital, pelaksanaan asesmen secara online, Rapor Digital Madrasah (RDM), perpustakaan digital, perekaman kehadiran secara online,  serta penambahan jaringan wifi dengan kapasitas bandwith yang memadai adalah beberapa bukti bahwa Matsanepat memang sudah siap dengan transformasi digital di madrasah.

Di tahun 2024 ini, Matsanepat melakukan satu terobosan lagi yaitu pemasangan Smart TV di ruang kelas VIII dan IX –dan akan dilanjutkan di semua kelas termasuk kelas VII-. Smart TV adalah TV yang memiliki konektivitas internet, berjalan pada sebuah sistem operasi, dan dilengkapi dengan layanan aplikasinya sendiri. Dengan pemasangan Smart TV maka kegiatan pembelajaran bisa berlangsung tanpa harus menggunakan buku sebagai satu-satunya sumber belajar serta papan tulis sebagai satu-satunya media pembelajaran. Pembelajaran dengan media Smart TV  bisa lebih memperkaya pengetahuan dan pengalaman peserta didik karena bisa memilih konten-konten kreatif baik yang telah dibuat oleh guru sendiri maupun para creator dari beragam sumber terpercaya. Selain itu melalui Smart TV, guru dan peserta didik bisa berselancar ke belahan dunia manapun juga memilih ragam materi yang tentu lebih menarik dibandingkan dengan pembelajaran berbasis buku.

Ke depan, Matsanepat akan terus melakukan inovasi dalam berbagai hal termasuk di dalamnya E-Cavetaria atau kantin elektronik yakni layanan kantin berbasis digital. Adanya E-Cavetaria ini akan memudahkan warga madrasah sebagai konsumen dan pengelola kantin (penjual) sebagai produsen. Cara bertransaksi melalui E-Cavetaria akan lebih mudah, sistem pembayarannya tidak ribet, tidak perlu antri berdesakan, meminimalisir kerugian akibat kesalahan transaksi, dan istimewanya lagi para siswa tidak perlu membawa uang tunai yang rawan hilang saat melakukan kegiatan olahraga atau yang lainnya. Selain itu, orang tua bisa mengontrol seberapa besar saldo uang jajan anak-anaknya serta tentunya pengawasan terhadap jenis makanan dan minuman (jajanan) yang dikonsumsi mereka juga lebih mudah sebab selama berada di madrasah mereka tidak bisa lagi jajan sembarangan.

Perubahan besar memang tidak bisa serta merta namun harus dilakukan secara bertahap. Banyak hal yang masih harus dikondisikan agar tidak menimbulkan kegaduhan. Setiap perubahan pastilah membawa dampak positif maupun negatif. Jangan sampai perubahan yang mestinya membawa kemanfaatan justru menyeret kepada kemadharatan. Semoga. (@Safa_Sketsa)

25/05/2024

Memutus Mata Rantai Simbiosis Mutualisme yang Tidak Baik-Baik Saja

 MEMUTUS MATA RANTAI SIMBIOSIS MUTUALISME

YANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA

Oleh: Nanang M. Safa

 

UU Pilkada Pasal 187A ayat satu (1) dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)”. (https://www.bawaslu.go.id/id/berita/partisipasi-masyarakat-tinggi-dari-262-kasus-politik-uang-197-laporan-masyarakat). Mestinya dengan undang-undang tersebut praktik-praktik money politics bisa diberantas minimal bisa diminimalisir. Namun faktanya sungguh jauh panggang dari api. Praktik money politics semakin subur dan merajalela.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Burhanudin Muhtadi, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang dipaparkan dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar UIN (Rabu, 29 November 2023), Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik money politics terbesar ke-tiga di dunia setelah Uganda dan Republik Benin di Afrika. Burhanuddin melakukan riset pada dua penyelenggaraan Pilpres yakni Pilpres 2024 dan Plipres 2029. Dari penelitian tersebut didapatkan data sekitar 33% atau 62 juta dari total 187 juta pemilih dalam DPT terlibat money politics. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231129203437-32-1030744/pakar-politik-uang-di-indonesia-tertinggi-ketiga-di-dunia).

Praktik money politics yang selama ini terjadi di masyarakat bisa saja bersifat langsung semisal memberikan amplop (baca: uang) atau bentuk pemberian lain seperti sembako kepada para pemilih dengan pesan khusus harus memilih kontestan tertentu, atau bisa juga berbentu tidak langsung semisal memberikan sumbangan pembangunan tempat ibadah atau rabat jalan dengan catatan di wilayah tersebut sang kontestan mendapatkan suara mayoritas atau bisa juga dengan mengundang para pemilih hadir dalam acara tertentu lalu diberikan barang dengan embel-embel memilih sang kontestan dalam Pemilu. Masih banyak modus lain yang bisa masuk dalam kategori money politics atau praktik politik uang.

Munculnya anggapan masyarakat tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sebuah pesta demokrasi tentu merupakan suatu yang sangat memprihatinkan. Sebuah pesta tentulah diasumsikan dengan bagi-bagi kesenangan, makan-makan, minum-minum, dan bagi-bagi uang. Sebuah pesta hanyalah berbagi kesenangan sesaat dan setelah pesta selesai maka harus kembali ke kehidupan nyata: kemiskinan, pengangguran, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, tingginya biaya kuliah, mahalnya biaya rumah sakit, dan sebagainya.

Para pemilih sebagai pihak yang diundang dalam pesta demokrasi tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. Makan minum gratis dan sangu (uang transport) dari para kontestan melalui tim suksesnya tidak akan disia-siakan. Cara berfikir mereka sangat sederhana bahwa untuk mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) tentu mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka selama sehari. Maka setidaknya untuk waktu sehari  tersebut, mereka harus mendapatkan kompensasi yang lazimnya berupa uang minimal senilai upah sehari bekerja. Mereka tidak perlu lagi berfikir jauh-jauh tentang apa yang akan terjadi setelah pesta demokrasi usai. Mereka tidak akan pusing-pusing memikirkan program kerja, kebijakan, atau apalah namanya yang nantinya akan dilakukan oleh para kontestan yang berhasil memenangi pesta demokrasi tersebut. 

Hal lain yang ikut mendukung tumbuh suburnya budaya bagi-bagi amplop pada setiap momentum Pemilu ini adalah anekdot yang menyatakan bahwa suara yang diberikan tidak boleh gratisan alias harus berbayar juga. Maka bisa saja satu suara dihargai seratus ribu rupiah atau bahkan ada juga yang hingga lima ratus ribu rupiah, tergantung keadaannya.

Di lain pihak, para kontestan juga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka jauh-jauh hari sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa menarik simpati para pemilih. Mereka sudah melakukan perhitungan tentang untung rugi, tentang berapa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kemenangan, dan berapa keuntungan yang akan didapat ketika nanti menang (baca: menjabat). Maka akhirnya terjalinlah simbiosis mutualisme yakni sebuah hubungan saling menguntungkan antara pemilih dan para kontestan. Pemilih mendapatkan kompensasi uang pengganti kerja sehari plus tebusan harga satu suara yang dimiliki, sementara para kontestan mendapatkan dukungan suara yang akan mengantarkannya menjadi seorang pejabat. Inilah yang terjadi pada pemilihan apapaun di Indonesia, mulai dari pilpres, pileg, pilgub, pilbub, hingga pilkades. Ini sudah menjadi budaya yang mengakar kuat di masyarakat.

Sebenarnya pada banyak kasus, perolehan suara dari para kontestan tidak selalu sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan. Apa yang terjadi tidak lebih merupakan sebuah gaming. Para kontestan sebenarnya sedang melakukan pertaruhan besar. Ibarat sebuah perjudian, mereka sedang mempertaruhkan apa yang sudah dimiliki dengan harapan bisa mendapatkan ganti pertaruhannya dengan berlipat-lipat. Namun bisa jadi harapan itu zonk alias pepesan kosong. Seperti pepatah Jawa “mburu uceng kelangan deleg” –mengejar suatu yang belum pasti dengan melepaskan sesuatu yang sudah ada di genggaman- Maka tidak heran ketika muncul berita tentang mantan kontestan Pemilu yang stress berat bahkan sampai gila gara-gara semua tabungannya terkuras habis dan mengalami pailit.

 

Merubah Mindset Masyarakat

Melihat fakta di masyarakat, rasa-rasanya hampir tidak mungkin mengikis budaya simbiosis mutulaisme yang tidak baik-baik saja ini. Simbiosis yang terbangun antara para kontestan dengan para calon pemilih ini ibarat sebuah mata rantai yang saling mengikat sangat kuat sehingga akan sangat sulit dilepaskan satu dengan yang lain. Namun bagi orang-orang optimis maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Semua elemen bangsa harus bergerak bersama. Namun tentu saja pemerintah dalam hal ini KPU dan seluruh jajarannyalah yang harus mengambil peran utama.

Menurut hemat penulis, ada cara-cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk ikhtiar bersama untuk mengikis budaya tidak sehat ini. Hal pertama yang harus dilakukan tentulah dengan merubah mindset masyarakat tentang penyelenggaraan Pemilu. Pertama, mindset bahwa Pemilu bukanlah “pesta demokrasi” namun “penentu demokrasi”. Kedua, mindset  bahwa Pemilu merupakan sebuah momen penting untuk memilih pemimpin yang benar-benar berjiwa seorang pemimpin, pejabat yang benar-benar berjiwa amanah dan diharapkan akan bisa membawa perubahan Indonesia menjadi lebih baik, bukan sekedar memilih pemimpin yang bisa memberikan kesenangan sesaat namun justru akan menyengsarakan rakyat di kemudian hari.

Merubah mindset memang bukan cara gampang namun butuh konsistensi dan kesungguhan. Sebagai langkah pembuka bisa dilakukan dengan mengampanyekan tagline tentang Pemilu dan tentang demokrasi yang baik dan sehat misalnya. Bukan sekedar tagline yang dibannerkan dan dipasang di pinggir-pinggir jalan, namun lebih dari itu harus disosialisasikan melalui berbagai saluran yang ada termasuk organisasi kemasyarakatan, kelompok pengajian, komunitas masyarakat, dan sekolah-sekolah. Media sosial (YouTube, Facebook, Instagram, Tiktok, dan masih banyak yang lain) juga bisa dijadikan saluran kampanye yang sangat efektif. Banyak sekali grup-grup medsos yang beranggotakan ratusan hingga ribuan orang. Inilah yang harus dimaksimalkan.

Sosialisasi tidak melulu hanya bersifat searah dari pihak yang berwenang, namun bisa juga multi arah semisal dengan mengadakan lomba penulisan puisi, cerita pendek, atau opini bertema Pemilu, serta pembuatan konten-konten medsos bertema Pemilu. Cara ini akan lebih mengena seiring perkembangan dunia digital sekarang ini. Menjadi sebuah langkah maju ketika beberapa waktu lalu, menjelang Pilpres dan Pileg 2024, KPUD Trenggalek mengoordinasikan penerbitan buku kumpulan cerpen dan puisi berbau pemilu yang ditulis oleh para penulis Trenggalek dengan latar belakang usia dan profesi yang berbeda. Ini menjadi bukti bahwa sosialisasi dengan cara-cara seperti itu cukup efektif. Bisa jadi ini adalah yang pertama dilakukan oleh KPUD di Indonesia. Maklum saja di KPUD Trenggalek ada nama Nurani Soyomukti yang memang sangat getol mengampanyekan gerakan literasi di bumi Minak Sopal (Trenggalek).

 

Para Remaja Harus Menjadi Bidikan Utama

Para remaja sebagai pemilih pemula ternyata memang paling besar jumlahnya. Menurut data KPU yang dirilis dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta, pada hari ini, Ahad, 2 Juli 2024 lalu, jumlah  pemilih pemula mencapai 106.358.447 jiwa dari 204.807.222 jiwa pemilih atau sejumlah 52 %. (https://pemilu.tempo.co/read/1743587/tetapkan-dpt-pemilu-2024-kpu-ri-52-persen-pemilih-muda).

Berdasar banyak referensi buku yang ditulis oleh para psikolog dan ahli pendidikan bahwa para remaja memiliki ketergantungan sangat besar terhadap peer-group atau kelompok sebayanya. Para remaja lebih takut dicuekin oleh teman-teman dalam kelompoknya daripada dimarahi oleh orang tuanya atau gurunya. Maka tidak heran ketika ada remaja yang berani membohongi orang tua atau gurunya demi untuk membela atau melindungi temannya. Inilah yang harus digarap. Peer-group remaja bisa dijadikan bidikan utama untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja ini. Para remaja adalah para generasi penerus kepemimpinan bangsa. Merekalah yang akan mengambil peran paling besar terhadap keberlangsungan demokrasi di negeri ini di masa mendatang. Para remaja sebagai pemilih pemula tentunya belum banyak terkontaminasi oleh limbah money pilitics minimal belum banyak pengetahuan dan pengalaman tentang hingar-bingar beredarnya uang yang mewarnai Pemilu.

Pembinaan bagi remaja tentu akan lebih efektif dan efisien ketika dilakukan melalui peer-groupnya. Para remaja aktif tentu memiliki wadah berkumpul dengan sesama komunitasnya baik yang formal maupun non formal. Komunitas remaja inilah yang bisa dijadikan ajang pembinaan untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja tentang Pemilu.

 

Uang Transport bagi Pemilih

Selanjutnya ada satu cara yang selama ini belum tersentuh sama sekali yakni pemberian uang transport bagi pemilih. Layaknya menghadiri sebuah acara resmi, pemberian uang transport bagi pemilih ini bersifat resmi. Pengadaan anggaran untuk uang transport bagi pemilih bisa dari pemerintah atau bisa juga ditanggung oleh para kontestan, atau bisa juga fifty-fifty anatara pemerintah dan kontestan. Toch tanpa dianggarkan pun para kontestan juga siap mengeluarkan uang bahkan bisa jadi berlipat-lipat. Jika regulasinya jelas, menurut hemat penulis pemberian uang transport bagi pemilih ini akan menjadi satu cara ampuh untuk bisa memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja ini.  Semua warga masyarakat yang memiliki hak pilih dan menggunakan hak pilihnya di TPS tanpa terkecuali berhak mendapatkan uang transport. Cara ini sebagai jawaban dari kegundahan para pemilih yang enggan ke TPS dengan alasan tidak mau kehilangan penghasilan sehari kerja. Pemberian uang transport ini juga akan mengurangi jumlah pemilih golput karena malas ke TPS.

Inilah beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai bentuk ikhtiar untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja tentang penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Merubah mindset yang seakan-akan telah membudaya tentu butuh waktu dan kesungguhan. Namun jika tidak ada upaya nyata untuk mengatasinya tentu akan benar-benar menjadi budaya turun-temurun, dan ini akan sangat berbahaya bagi kelanjutan demokrasi di negeri ini.

 

20/09/2023

PPPK dan Permasalahannya

 

PPPK DAN PERMASALAHANNYA

Oleh: Nanang M. Safa

 

Hari itu senyum bahagia jelas tergambar pada wajah-wajah rekan guru honorer yang baru saja menerima Surat Keputusan (SK) sebagai bukti legal formal atas pengangkatan mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pengangkatan ini didasarkan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPANRB) Nomor 571 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Kebutuhan Jabatan Fungsional Teknis pada Pengadaan PPPK Tahun 2022. (https://www.jawapos.com/nasional/012919044/sebanyak-9218-tenaga-honorer-diangkat-jadi-pppk-kemenag-2023-tanpa-tes-ini-nilai-yang-digunakan).

Buah manis atas kesabaran dan jerih payah rekan-rekan guru honorer tersebut sungguh merupakan mimpi yang menjadi nyata. Tentu kami sebagai sesama guru yang dulu juga pernah mengalamai pahit getirnya menjadi guru honorer ikut bahagia atas pengangkatan para rekan guru honorer tersebut.

Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK merupakan hal yang patut disyukuri, termasuk oleh madrasah yang selama ini menaungi para guru honorer tersebut. Dengan diangkatnya para guru honorer menjadi PPPK berarti madrasah tidak perlu lagi mengalokasikan anggaran untuk gaji/honor mereka. Dengan demikian anggaran tersebut bisa digunakan untuk lebih memaksimalkan kegiatan di madrasah.

Cerita duka baru terjadi ketika tiba waktu penempatan. Banyak berita (dari mulut ke mulut) yang beredar tentang kepanikan madrasah dan para guru PPPK. Beberapa permasalahan di lapangan berkaitan dengan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK mengerucut pada hal-hal berikut:

Pertama, problematika seputar pembagian jam mengajar. Perekrutan para guru honorer sudah disesuaikan dengan kebutuhan riil di madrasah. Artinya ketika di suatu madrasah membutuhkan guru pada mata pelajaran tertentu maka ketika itulah guru honorer direkrut oleh madrasah dengan berbagai persyaratan termasuk ijazah sebagai bukti keahliannya.  Nah, ketika guru hononer (yang sudah diangkat menjadi PPPK) tersebut harus meninggalkan madrasah maka secara otomatis madrasah yang bersangkutan kekurangan guru pada mata pelajaran tertentu. Sementara sesuai dengan Keputusan MENPANRB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022  semua intansi (termasuk madrasah negeri) dilarang mengangkat tenaga honorer (https://prsoloraya.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1116047725/klarifikasi-larangan-rekrut-tenaga-honorer-di-tahun-2023-ada-prioritas-pengangkatan-asn).

Kedua, banyak guru PPPK yang tidak bisa mengajar sesuai dengan keahliannya (ijazah maupun sertifikat pendidiknya). Para guru PPPK yang memang harus “siap” menjalankan tugas sesuai SK yang diterimanya, akhirnya harus gigit jari karena di madrasah baru mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan haknya mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Bahkan ada di antara guru tersebut yang terpaksa harus menerima nasib tidak bisa lagi menikmati tunjangan profesinya karena tidak bisa memenuhi 24 jam mengajar sesuai yang disyaratkan. Bukankah ini sama artinya dengan pepatah Jawa “Mburu uceng kelangan deleg” -mengejar sesuatu tapi harus kehilangan sesuatu yang sudah ada di genggaman-?

Ketiga, siswa menjadi korban. Imbas dari permasalahn pertama dan kedua muaranya tetap kepada siswa. Para siswa yang seharusnya bisa mendapatkan haknya diajar dan dididik oleh para guru profesional akhirnya harus diajar oleh guru “seadanya”. Tentu saja hal ini bisa menurunkan semangat belajar mereka. Akankah para siswa selalu menjadi korban?

Keempat, beban berat bagi guru PPPK. Khusus bagi guru PPPK yang harus bertugas di luar daerah tentu akan menanggung beban fisik dan psikologis yang cukup berat.  Para guru honorer yang diangkat menjadi PPPK banyak yang sudah berusia 40 tahun ke atas. Maka ketika mereka harus bertugas di luar daerah tentu akan menanggung beban berat baik secara fisik maupun psikologis. Bukankah jauh dari keluarga dan orang-orang tercinta akan sangat berpengaruh terhadap semangat kerja seseorang?

Melihat akar permasalahan seputar guru PPPK yang bikin panik banyak madrasah tersebut, sebenarnya kata kuncinya ada pada “penempatan tugas”. Dalam hal ini tentu harus ada kerjasama antara pihak-pihak terkait terutama para pengambil kebijakan agar permasalahan seputar PPPK tersebut bisa segera terselesaikan. Pihak Kementerian Agama Kabupaten melalui Unit Kepegawaian perlu memetakan kebutuhan guru dari masing-masing madrasah sebagai data acuan bagi pejabat berwenang dalam menerbitkan surat tugas bagi para guru PPPK tersebut. Dengan demikian madrasah tidak harus kelimpungan membagi jam pelajaran, para siswa tidak harus menjadi korban karena tetap bisa dididik/diajar oleh para guru profesional, dan para guru PPPK juga bisa lebih tenang dan bahagia menjalani tugas “barunya” karena tetap bisa dekat dengan keluarga dan orang-orang tercinta.

Semoga saja…