PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: paradigma sosiologi

17/07/2012

paradigma sosiologi

PARADIGMA SOSIOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejak kecil individu-individu sudah harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak boleh berbuat sekehendaknya, melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum yang harus diikuti di atas keinginan-keinginan individual. Namun kadangkala terjadi perilaku yang menyimpang yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang sering disebut sebagai penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan melegalkan tindak penyimpangan yang dilakukan. Maka lama-kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan dalam bentuk penyimpangan kelompok yang akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari penentangan norma inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Maka diperlukan usaha sadar melalui langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi penyimpangan yang mungkin terjadi atau akan terjadi. Dalam konteks inilahparadigma sosiologi diperlukan sebagai acuan dalam sikap dan tindakan sehingga dapat ditemukan pola-pola penanggulangan yang efektif dan efisien.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah pengertian dariparadigma sosiologi?
2.    Bagaimanakah pembagianparadigma sosiologi?
3.    Apa sajakah teori yang mendukung paradigma sosiologi?

C.    Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1.      Pengertian paradigma sosiologi.
2.      Pembagianparadigma sosiologi.
3.      Teoripendukung paradigma sosiologi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Paradigma Sosiologi
Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakaiuntuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan polapemecahannya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir, model teori ilmu pengetahuan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah:
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.1
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah gambaranfundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang
harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada didalamnya.2
Di dalam masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma sosiologi. Di dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian mengenai problem-problem  sosial.
B.     PembagianParadigma Sosiologi
Thomas Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Palingtidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandanganfilsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.3
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut George Ritzer,4 secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:

1. Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini,  akhirnya Durkheim membangunkonsepfakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.

2. Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.5
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai
hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.

3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).

4. Paradigma Integratif/Multi Paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan berbagai macam perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi, makamenurut George Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut,sebab teramat sulit untuk memahami fenomena sosialyang begitu kompleks.  MakaGeorge Ritzer berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep  paradigma integratif yakni dengan menggabungkan subject matterdari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti persepsi dan keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya saling memperkaya analisis. Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat realitas sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
Paradigma integratif ini dikembangkan lebih lanjut oleh Peter L. Berger, Thomas Luckman dan Anthony Giddens. Ketiga sosiolog ini berusaha menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme dan determinisme. Ketiganya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur. Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.
C.    Teori Pendukung Paradigma Sosiologi
1. Teori pendukung paradigma fakta sosial
a. Teori fungsionalisme struktural
Teori fungsionalisme strukturallahir dari pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh Comte   dan   Herbert   Spencer,  di manamasyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung gunakebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi organisme.
Menurut Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing, dan saling menyatu dalam keseimbangan. Untuk itu, teori ini lebih menekankan social order dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang. Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini antara lain, Durkheim, Talcott Parsons, Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans.
Kelemahan teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal, serta mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan pemegang status quo.
b. Teori konflik
Teori konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Pendukung teori ini antara lain George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf.
Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural memandang keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik. Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu interview-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interview-kuesioner memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu, bagi para penganut fakta sosial metode interview-kuesioner merupakan sesuatu metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial yang menjadi subject matter sosiologi.

2. Teori pendukung paradigma definisi sosial
a. Teori aksi
Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan pemikiran Weber dan Pareto. Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut.
Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi beberapa macam tindakan sosial. Semakin rasional tindakan sosial tersebut, maka semakin mudah memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu terbagi menjadi empat macam, yaitu: Pertama, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Keduatindakan rasionalitas yang berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga tindakannya masih dapat dipahami.Ketiga,tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan yang ditentukan olehkondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini sukar dipahami karena kurang rasional. Keempattindakan tradisional,yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun sukar dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional.6
Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika sosiolog Amerika Charles Horton Cooley membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah kesadaran subyektif. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen dan ide-ide merupakan faktor pendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.
Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan teori perilaku, yang menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan) dari luar.Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dansubyektivitas tindakan manusia.Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya The Method of Sociology (1934) dan Social Actions (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya Sociology: Its Structure and Changes (1931), dan Talcott Parsons melalui karyanya The Structure of Social Action (1937).
Karya-karya tersebut kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan asumsi dari teori aksi. Menurut Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan.7 Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.

b. Teori interaksionisme simbolik
Teori interaksionismesimboliklahirsebagai persfektif baru yang dilatarbelakangi kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini didasarkan pada analisis Weber. Teori ini memfokuskan pada pembahasan individu yang terkait pada hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro).
Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey dan Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar ke Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey diikuti denganmengembangkan teori interaksionis simbolik. Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik. Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai tempat yang pertama kali berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori ini juga dikenal sebagai aliran Chicago.Dari John Dewey, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William Isaac Thomas,George Herbert Mead,Herbert Blumer, Robert E. Park, William James, Ernest Burgess,James Mark Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Prinsip dasar dari teori ini adalah; (a) manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir, (b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui interaksi sosial, (c) individu dalam setiap interaksi dengan orang lain mempelajari makna dan simbol yang memungkinkanmereka menggunakan kemampuan berpikirnya, (d) setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka atas situasi yang ada, (e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, (f) dari interaksi ini kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan masyarakat.8 Adapun kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai, norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada pembahasan interaksi sosial mikro (hubungan antar pribadi).

c.  Teori fenomenologi
Teori fenomenologimembahas mengenai bagaimana kehidupan bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan Weber, Alfred Schultz sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini memandang bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosialbila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.9Dengan kata lain, teori ini berpendapat bahwa manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini muncul sebagai reaksi atas anggapan yang memandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial yang mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang harus tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap arti fenomena sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

d. Teori etnometodologi
Teori etnometodologimerupakan cabang dari fenomenologi. Etnometodologi berusaha mengungkap realitas dunia kehidupan dari individu atau masyarakat. Etnometodologi mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkanungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit.Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, namun etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons. Teori ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi di Universitas California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai berkembang sekitar tahun 1950-an.10
Garfinkel menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian etnometodologis disebut proses-proses komunikasi menuju saling memahami di antara para para pelaku komunikasi.11
Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada teori ini Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Pada perkembangan selanjutnya etnometodologi dikembangkan  Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, oleh Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa pakar ini, Jack Douglaslah yang pembahasannya tentang etnometodologi paling lengkap.

3. Teori pendukung paradigma perilaku sosial
a. Teori behavioral sociology
Teori behavioral sociologymerupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homan, manusia di dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan mungkin dibentuknya sendiri.  Inti analisis teori ini terfokus pada hubungan kausal atas perilaku individu. Teori ini menekankan adanya hubungan historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu akan mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.

b. Teori pertukaran (exchange)
Teori pertukarandikembangkan oleh George Homan. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali dalam jumlah
yang sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari teoriini yaitu: Pertama, semakin sering individu melakukan suatu tindakan tertentu yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan yang sama; Kedua, jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa; Ketiga, semakin tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan semakin sering individu melakukan tindakan tersebut; Keempat, semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut; Kelima, bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang lebih besardari apa yang dia harapkan, maka dia akan merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku tersebut.12

3. Teori pendukung paradigma integratif (multi paradigma)
a. Teori konstruksi sosial
Teori konstruksi sosial bermuladari analisis Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman. Melalui The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan) yang ditulisnya pada tahun 1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa manusia dan masyarakat merupakan produk yang dialektis (tesis Mark). Maka keduanya bukanlah sesuatu realitas tunggalyang stagnan dan absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi subyektif dan obyektif (tesis Schutz).13Dualisme realitas ini menunjukkan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang obyektif’ melalui proses eksternalisasi,sebagaimana dia mempengaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’ (tesis Weber). Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckman dilandasi dari berbagai penyatuanparadigma yang ada pada sosiologi. Peter L. Berger dan Thomas Luckmanbersandar pada berbagai pemikiran para tokoh seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz.

b. Teori strukturasi
Tokoh selanjutnya yang menerapkan paradigma integratif yaitu Anthony Giddens. Karya Anthony Giddens The Constitution of Society (1984) merupakan sumbangsih besar bagi penyelesaian perdebatan pada kajian ilmu sosial. Awal lahirnya karya Anthony Giddens ini dilatarbelakangi perbedaan pandangan subyek matter pada kajian ilmu sosial. Perbedaan ini melihat bahwa struktur (makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan individu (mikro), yang oleh Anthony Giddens disebut agen. Anthony Giddens berusaha menjadi penengah dengan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Pemikiran Anthony Giddens ini kemudian dikenal dengan nama teori strukturasi.14




BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Paradigma sosiologi ialah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma sosiologi adalah kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah.
2.      Paradigma sosiologi dibagi menjadi empat kelompok besar yaitu:
a.       Paradigma fakta sosial, yang memandang masyarakat sebagai kenyataan atau fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu-individu menyukainya atau tidak menyukainya. Masyarakat dalam strukturnya (bentuk pengorganisasian, peraturan, hirarki kekuasaan, peranan-peranan, nilai-nilai, dan apa yang disebut sebagai pranata-pranata sosial) merupakan fakta yang terpisah dari individu, namun mempengaruhi individu tersebut.
b.      Paradigma definisi sosial, yang memandang bahwa pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana tindakan yang penuh arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Struktur dan institusi sosial, merupakan satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.
c.       Paradigma perilaku sosial, yang memandang bahwa obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
d.      Paradigma integratif (multi paradigma), yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma yang ada. Paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang ada sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari para ilmuwan sosial.
3.      Teori pendukung dari masing-masing paradigma ini adalah:
a.       Paradigma fakta sosial didukung oleh teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
b.      Paradigma definisi sosial didukung oleh teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi dan teori etnometodologi.
c.       Paradigma perilaku sosial didukung oleh teori behavioral socilology dan teori pertukaran (exchange).
d.      Paradigma integratif (multi paradigma) didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori strukturasi.







4George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), h. 697

5George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 38.

6George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 40-41.

7George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 46.

8George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 392-393.

9George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 59.

10Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994).

11Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Social Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.127.

12George C. Homans, Behaviorisme dan Sesudahnya, dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), h. 103.

13Lihat Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).

14Lihat Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...