PARADIGMA SOSIOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejak kecil
individu-individu sudah harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak boleh
berbuat sekehendaknya, melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan
masyarakat di sekelilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan
umum yang harus diikuti di atas keinginan-keinginan individual. Namun
kadangkala terjadi perilaku yang menyimpang yang dilakukan secara sadar atau
tidak sadar yang sering disebut sebagai penyimpangan sosial. Penyimpangan
sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana
penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu
akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku
dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah
segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap
kehendak masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh
masyarakat akan dicap sebagai penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku
penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama,
dengan tujuan melegalkan tindak penyimpangan yang dilakukan. Maka lama-kelamaan
berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan dalam bentuk penyimpangan
kelompok yang akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat.
Dampak yang ditimbulkan dari penentangan norma inilah yang pada akhirnya akan
menimbulkan konflik dalam masyarakat. Maka diperlukan usaha sadar melalui
langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi penyimpangan yang mungkin terjadi
atau akan terjadi. Dalam konteks inilahparadigma sosiologi diperlukan sebagai
acuan dalam sikap dan tindakan sehingga dapat ditemukan pola-pola
penanggulangan yang efektif dan efisien.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan,
kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian dariparadigma sosiologi?
2. Bagaimanakah
pembagianparadigma sosiologi?
3. Apa
sajakah teori yang mendukung paradigma sosiologi?
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan
pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1. Pengertian
paradigma sosiologi.
2. Pembagianparadigma
sosiologi.
3. Teoripendukung
paradigma sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Paradigma Sosiologi
Paradigma
berasal dari bahasa Inggris paradigm
yang berarti: model pola, contoh. Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat
diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan, pedoman, dipakaiuntuk menunjukkan
gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan polapemecahannya. Sedangkan dalam
kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir,
model teori ilmu pengetahuan.
Pengertian
paradigma menurut kamus filsafat adalah:
1.
Cara memandang sesuatu.
2.
Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena
dipandang dan dijelaskan.
3.
Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau
mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek
ilmiah pada tahap tertentu.
4.
Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan
problem-problem riset.1
Istilah
paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel Kuhn
(1922-1996) dalam bukunya The Structure
of Scientific Revolution (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs dalam bukunya Sociology of
Sociology (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas
sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu,
yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Menurut Khun yang
dikutip George Ritzer, Paradigma adalah gambaranfundamental dari pokok bahasan
dalam ilmu pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa
yang
harus diajukan, bagaimana
pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus
diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit
terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas
ilmiah dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan
sejumlah contoh, teori dan metode serta instrument yang ada didalamnya.2
Di dalam
masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah yang
ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam
masyarakat tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir
tertentu ketika memandang suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam
masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam memandang suatu fakta sosial itulah
yang di sebut dengan paradigma sosiologi. Di dalam paradigma sosiologi, ada
beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi dipandang sebagai suatu
disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian
mengenai problem-problem sosial.
B.
PembagianParadigma
Sosiologi
Thomas
Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman
paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat
yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa
pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang
didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan
seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang
sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang
kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan
dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang
dianut. Palingtidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandanganfilsafat yang menjadi
dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah
berbeda; Kedua, pandangan filsafat
yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga
berbeda.3
Perbedaan
paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi
pada dimensi obyek kajian atau what is
the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini,
Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa
paradigma (multiple paradigm). Setiap
paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun
masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi,
namun menurut George Ritzer,4 secara garis besar ada tiga paradigma
yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
1.
Paradigma fakta sosial
Paradigma
ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895)
dan Suicide (1897). Paradigma fakta
sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert
Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok
bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim.
Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia
ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat
dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan
sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi
adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari
kritik ini, akhirnya Durkheim membangunkonsepfakta
sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim
mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta
sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam
pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan
data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Menurut
Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial.
Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan
institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan
yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi
sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi
subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang menganut
paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan
individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain,
pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan
institusi sosial bersifat terpisah.
Pada
studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang
nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi.
Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua
bentuk, yaitu:
a.
Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat
dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia
nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b.
Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau
fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial
materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas,
kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan
demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan
sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori
fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi
makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para
penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori
konflik.
2.
Paradigma Definisi Sosial
Paradigma
ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Perbedaan
analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur
dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang
membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial
merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi
dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu
yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan
dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.5
Menurut
Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia.
Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi
Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan
sosial serta berbagai
hubungan sosial sampai kepada
penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi
interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti
teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori
etnometodologi.
3.
Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma
ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu
dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang
konkrit dan realistis adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan
kemungkinan perulangannya.
Menurut
paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia
atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti
norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu
kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma
ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah satunya
Beyond Freedom And Dignity. Menurut
George Ritzer, Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran
behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spektrum yang sangat luas.
Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah memegang peranan penting
dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada
paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek
dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu
seperti struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau
obyek hanya terjadi dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek
kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi
dari obyek studi yang sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat konkrit dan
realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi
sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah
teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).
4.
Paradigma Integratif/Multi Paradigma
Seiring
perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan berbagai macam
perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi, makamenurut George
Ritzer, perlu adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga
paradigma tersebut,sebab teramat sulit untuk memahami fenomena sosialyang
begitu kompleks. MakaGeorge Ritzer
berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep paradigma integratif yakni dengan menggabungkan
subject matterdari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan
realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan
bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat
mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, serta tingkat
mikro-subyektif seperti persepsi dan keyakinan.
Ketiga
paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya saling
memperkaya analisis. Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat
realitas sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua
tingkat realitas sosial yang ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada
tingkat kedalaman analisisnya. Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat
realitas tidak sedalam analisis pada masing-masing paradigma yang ada. Untuk
itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan penelitian
yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan
pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
Paradigma
integratif ini dikembangkan lebih lanjut oleh Peter L. Berger, Thomas Luckman dan
Anthony Giddens. Ketiga sosiolog ini berusaha menjembatani ketegangan antara
subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme
dan determinisme. Ketiganya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan
struktur. Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga
dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan
perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari
ilmuwan sosial tersebut.
C.
Teori
Pendukung Paradigma Sosiologi
1. Teori pendukung
paradigma fakta sosial
a. Teori fungsionalisme
struktural
Teori
fungsionalisme strukturallahir dari pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh
Comte dan Herbert
Spencer, di manamasyarakat
dianalogikan sebagai organisme biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari
organ-organ yang saling bergantung gunakebertahanan hidup. Kemudian lebih
lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena pengaruh dari Comte dan
Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya dengan terminologi
organisme.
Menurut
Durkheim, masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang di mana didalamnya terdapat
bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing, dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Untuk itu, teori ini lebih menekankan social order dan
mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang.
Adapun tokoh-tokoh dalam teori ini antara lain, Durkheim, Talcott Parsons,
Robert K. Merton, dan Herbert J. Gans.
Kelemahan
teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial
karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah
formal, serta mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal
lain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat
dan pemegang status quo.
b. Teori konflik
Teori
konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme
struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Pendukung teori ini antara lain
George Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf.
Menurut teori
ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai dengan
adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural
memandang keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas
institusi sosialnya, maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya
pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama
teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun kelemahan dari
teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan
perubahan dalam konteks konflik. Metode
yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu interview-kuesioner. Menurut
George Ritzer, untuk metode interview-kuesioner memang bersifat ironi. Sebab,
metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat fakta sosial, atau
informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun begitu,
bagi para penganut fakta sosial metode interview-kuesioner merupakan sesuatu
metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta
sosial yang menjadi subject matter sosiologi.
2. Teori pendukung paradigma
definisi sosial
a. Teori aksi
Teori aksi atau
teori bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan pemikiran Weber dan Pareto.
Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi,
pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber
melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan
dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam
melakukan tindakan tersebut.
Dengan konsep
rasionalitas, Weber membagi beberapa macam tindakan sosial. Semakin rasional
tindakan sosial tersebut, maka semakin mudah memahaminya. Adapun pembagian
tindakan sosial itu terbagi menjadi empat macam, yaitu: Pertama, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang
ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan
menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak
rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Keduatindakan rasionalitas yang berorientasi nilai, yaitu tindakan
yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting
seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi
tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Tindakan ini masih rasional meski
tidak serasional tindakan pertama, sehingga tindakannya masih dapat dipahami.Ketiga,tindakan afektif (affectual),
yaitu tindakan yang ditentukan olehkondisi kejiwaan dan perasaan individu yang
melakukannya. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang
dimilikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian.
Tindakan ini sukar dipahami karena kurang rasional. Keempattindakan tradisional,yaitu tindakan yang didasarkan atas
kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan
atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun
sukar dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional.6
Setelah Weber,
teori aksi berkembang ketika sosiolog Amerika Charles Horton Cooley membuktikan
bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah
kesadaran subyektif. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan
individual, sentimen dan ide-ide merupakan faktor pendorong manusia untuk berinisiatif
atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.
Sedangkan
Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau
tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan teori perilaku, yang
menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan
berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan
proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya
penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan) dari
luar.Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dansubyektivitas
tindakan manusia.Sebaliknya, teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan
manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Teori aksi terus
berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori ini, khususnya
para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori aksi
antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya The Method of Sociology (1934) dan Social Actions (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya Sociology: Its Structure and Changes (1931), dan Talcott Parsons melalui
karyanya The Structure of Social Action
(1937).
Karya-karya tersebut
kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk merumuskan asumsi dari teori
aksi. Menurut Hinkle, tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai
subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai
subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara,
teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk
mencapai tujuan.7 Kelemahan dari teori ini, cenderung memfokuskan
analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.
b. Teori interaksionisme simbolik
Teori
interaksionismesimboliklahirsebagai persfektif baru yang dilatarbelakangi
kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini didasarkan pada analisis
Weber. Teori ini memfokuskan pada pembahasan individu yang terkait pada
hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial mikro).
Awalnya
teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey dan Charles
Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar ke Universitas Chicago.
Kepindahan John Dewey diikuti denganmengembangkan teori interaksionis simbolik.
Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik.
Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai tempat yang pertama kali
berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori ini juga dikenal sebagai
aliran Chicago.Dari John Dewey, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William Isaac Thomas,George Herbert
Mead,Herbert Blumer, Robert E. Park, William James, Ernest Burgess,James Mark
Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Prinsip dasar
dari teori ini adalah; (a) manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir,
(b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui interaksi sosial, (c)
individu dalam setiap interaksi dengan orang lain mempelajari makna dan simbol
yang memungkinkanmereka menggunakan kemampuan berpikirnya, (d) setiap individu
dapat memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan
interaksi berdasarkan tafsir mereka atas situasi yang ada, (e) setiap individu
dapat menentukan tindakan apa yang dilakukan setelah individu tersebut
menafsirkan situasi, (f) dari interaksi ini kemudian individu tersebut
menciptakan kelompok dan masyarakat.8 Adapun kelemahan dari teori
ini adalah mengabaikan pembahasan pada struktur sosial makro, seperti
nilai-nilai, norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada
pembahasan interaksi sosial mikro (hubungan antar pribadi).
c.
Teori fenomenologi
Teori
fenomenologimembahas mengenai bagaimana kehidupan bermasyarakat itu terbentuk.
Berangkat dari pandangan Weber, Alfred Schultz sebagai seorang tokoh yang
mengembangkan teori ini memandang bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosialbila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya
itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh
arti.9Dengan kata lain, teori ini berpendapat bahwa manusia atau
individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri dengan memberikan arti kepada
perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini muncul sebagai reaksi atas anggapan yang
memandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial
yang mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang harus tinggal
dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap arti fenomena sosial
yang ada dalam masyarakat tersebut.
d. Teori etnometodologi
Teori
etnometodologimerupakan cabang dari fenomenologi. Etnometodologi berusaha mengungkap
realitas dunia kehidupan dari individu atau masyarakat. Etnometodologi
mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu
masyarakat berdasarkanungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka
ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit.Sekalipun etnometodologi oleh
beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi,
namun etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi
sebelumnya yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott
Parsons. Teori ini dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi
di Universitas California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai berkembang
sekitar tahun 1950-an.10
Garfinkel
menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah pertukaran
komunikasi yang di dalam penelitian etnometodologis disebut proses-proses
komunikasi menuju saling memahami di antara para para pelaku komunikasi.11
Menurut teori
ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau makna kepada apa yang
dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan
bagaimana individu atau masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan
mencoba menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia
sosialnya sendiri. Pada teori ini Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan
atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Pada
perkembangan selanjutnya etnometodologi dikembangkan Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel,
Roy Turner, oleh Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Dari beberapa pakar ini,
Jack Douglaslah yang pembahasannya tentang etnometodologi paling lengkap.
3. Teori pendukung paradigma
perilaku sosial
a. Teori behavioral sociology
Teori
behavioral sociologymerupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian
psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homan, manusia di
dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan
mungkin dibentuknya sendiri. Inti
analisis teori ini terfokus pada hubungan kausal atas perilaku individu. Teori
ini menekankan adanya hubungan historis antara akibat tingkah laku yang terjadi
dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat
dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu akan mempengaruhi tingkah laku yang
terjadi di masa sekarang.
b. Teori pertukaran (exchange)
Teori
pertukarandikembangkan oleh George Homan. Teori ini berangkat dari asumsi dasar
bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan
mendapatkan kembali dalam jumlah
yang sama. Secara garis besar Homan
menyusun lima proposisi dari teoriini yaitu: Pertama, semakin sering individu melakukan suatu tindakan tertentu
yang dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka semakin sering individu
tersebut akan melakukan tindakan yang sama; Kedua,
jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan individu tersebut
memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar kemungkinan orang itu
melakukan tindakan serupa; Ketiga, semakin
tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu tindakan individu, maka akan semakin
sering individu melakukan tindakan tersebut; Keempat, semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam
waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut; Kelima, bila tindakan seseorang tidak
memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul
perasaan emosi atau kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila
seseorang menerima ganjaran yang lebih besardari apa yang dia harapkan, maka
dia akan merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus melakukan
perilaku tersebut.12
3. Teori pendukung paradigma integratif
(multi paradigma)
a. Teori konstruksi sosial
Teori
konstruksi sosial bermuladari analisis Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman.
Melalui The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Tafsir Sosial Atas
Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan) yang ditulisnya pada tahun
1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa manusia dan masyarakat
merupakan produk yang dialektis (tesis Mark). Maka keduanya bukanlah sesuatu
realitas tunggalyang stagnan dan absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi
subyektif dan obyektif (tesis Schutz).13Dualisme realitas ini
menunjukkan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang
obyektif’ melalui proses eksternalisasi,sebagaimana dia mempengaruhinya melalui
proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’ (tesis Weber).
Analisis Peter L. Berger dan Thomas Luckman dilandasi dari berbagai penyatuanparadigma
yang ada pada sosiologi. Peter L. Berger dan Thomas Luckmanbersandar pada
berbagai pemikiran para tokoh seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz.
b. Teori strukturasi
Tokoh
selanjutnya yang menerapkan paradigma integratif yaitu Anthony Giddens. Karya
Anthony Giddens The Constitution of
Society (1984) merupakan sumbangsih besar bagi penyelesaian perdebatan pada
kajian ilmu sosial. Awal lahirnya karya Anthony Giddens ini dilatarbelakangi
perbedaan pandangan subyek matter pada kajian ilmu sosial. Perbedaan ini
melihat bahwa struktur (makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan
individu (mikro), yang oleh Anthony Giddens disebut agen. Anthony Giddens
berusaha menjadi penengah dengan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah
agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Pemikiran Anthony Giddens
ini kemudian dikenal dengan nama teori strukturasi.14
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Paradigma
sosiologi ialah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang
akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Paradigma juga
dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan
dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma
sosiologi adalah kerangka berpikir dalam masyarakat yang
menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan
perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan
bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai
landasan untuk menjawab masalah.
2. Paradigma
sosiologi dibagi menjadi empat kelompok besar yaitu:
a. Paradigma
fakta sosial, yang memandang masyarakat sebagai kenyataan atau fakta yang
berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu-individu menyukainya
atau tidak menyukainya. Masyarakat dalam strukturnya (bentuk pengorganisasian,
peraturan, hirarki kekuasaan, peranan-peranan, nilai-nilai, dan apa yang
disebut sebagai pranata-pranata sosial) merupakan fakta yang terpisah dari
individu, namun mempengaruhi individu tersebut.
b. Paradigma
definisi sosial, yang memandang bahwa pokok persoalan sosiologi adalah
bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana tindakan yang
penuh arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Struktur dan
institusi sosial, merupakan satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang
penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang
mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan
orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau
obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu
tindakan sosial.
c. Paradigma
perilaku sosial, yang memandang bahwa obyek studi yang konkret-realistik itu
adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Menurut
paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia
atau individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya seperti
norma-norma, nilai-nilai atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu
kurang sekali memiliki kebebasan.
d. Paradigma
integratif (multi paradigma), yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma
“jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma
yang ada. Paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas
sosial yang ada sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari para ilmuwan
sosial.
3. Teori
pendukung dari masing-masing paradigma ini adalah:
a. Paradigma
fakta sosial didukung oleh teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
b. Paradigma
definisi sosial didukung oleh teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori
fenomenologi dan teori etnometodologi.
c. Paradigma
perilaku sosial didukung oleh teori behavioral socilology dan teori pertukaran
(exchange).
d. Paradigma
integratif (multi paradigma) didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori
strukturasi.
1Dalam:http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2197554-pengertian-paradigma-progressivisme/, diakses, 4 Juni
2012.
2Dalam:http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/pengertian-paradigma-definisi-paradigma.html, diakses, 4 Juni
2012.
3Dalam: http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/paradigma-penelitian-ilmu-ilmu-sosial.html, diakses, 4 Juni
2012.
4George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2010), h. 697
5George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 38.
6George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 40-41.
7George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 46.
8George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 392-393.
9George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 59.
10Lihat Margaret
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1994).
11Anthony Giddens,
dan Jonathan H. Turner (ed), Social
Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial,
diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.127.
12George C. Homans, Behaviorisme
dan Sesudahnya, dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), h. 103.
13Lihat
Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir
Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta:
LP3ES, 1990).
14Lihat Anthony
Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar
Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...