PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Budayakan Perilaku Hidup Bersih di Sekolah Kita

09/06/2020

Budayakan Perilaku Hidup Bersih di Sekolah Kita

BUDAYAKAN PERILAKU HIDUP BERSIH DI SEKOLAH KITA

Oleh: Nanang M. Safa'

 


Sekilas memang tidak ada yang istimewa dari judul di atas. Sudah terlalu biasa. Tidak ada yang baru sama sekali. Namun justru karena dianggap biasa itulah seringkali kita mengabaikannya. Banyak slogan terpampang di berbagai tempat dan media, semisal “Bersih itu indah”, “Kebersihan sebagian dari iman”, “Kebersihan pangkal kesehatan”, dan slogan-slogan sejenis lainnya, masih banyak. Bukankah itupun kita anggap tulisan tanpa makna. Padahal dari slogan itulah kita akan dapat menciptakan banyak manfaat bagi hidup kita: keimanan akan menjadi lebih baik, kesehatan akan menjadi lebih terjaga, keindahan akan lebih terpancar, kenyamanan juga akan semakin bisa dirasakan. Coba siapa yang tidak butuh semua itu?

Budaya hidup bersih sebenarnya telah ditanamkan sejak kecil pada diri kita. Cuci tangan, gosok gigi, keramas dan mandi, cuci piring, cuci baju, menyapu, semua itu adalah hal yang biasa kita lakukan sehari-hari. Ringan saja kita melakukannya karena memang telah terbiasa. Tanpa disuruhpun bagi kita yang telah terbiasa melakukannya tetap akan kita lakukan. Tak perlu ada perintah apalagi teriakan, tak perlu ada sanksi apalagi hukuman. Jika sekali waktu tidak melakukannya karena lupa, maka kita cuma butuh diingatkan. Itulah yang disebut perilaku yang membudaya.

Beda halnya dengan mereka yang memang belum memiliki kebiasaan hidup bersih. Untuk sekedar membuang sampah di tempatnya saja harus diingatkan berkali-kali. Untuk sekedar tidak menaruh sampah di laci meja saja harus menunggu instruksi. Apa sich sebenarnya yang membedakan perilaku ini? Muaranya hanya satu, RENDAHNYA KESADARAN.

 

Sampah (Bukan) Biang Masalah

“SAMPAH”, satu kata dengan sejuta masalah. Mendengar orang menyebut kata sampah sudah jelas mengandung konotasi negatif. Sampah lazim juga disebut kotoran atau sesuatu yang menjijikkan, sarang penyakit atau sumber mala petaka. Biarpun dari sebagian sampah masih bisa dimanfaatkan dengan cara didaur ulang, namun toch 90 % sampah tetap menjadi biang masalah. Kerusuhan bisa berawal dari sampah. Banjir yang menggenangi sebagian besar wilayah kota juga bermula dari sampah yang tidak tertangani dengan baik. Sekian juta pasien yang memenuhi rumah sakit juga disebabkan sampah. Bau tak sedap, lingkungan kumuh, selokan mampat, semua karena sampah. Bahkan sampah juga berdampak besar bagi otak manusia, karena oksigen yang berupa O2 yang kita hirup melalui paru–paru sebagian besar berfungsi untuk memperlancar peredaran darah melalui saraf otak manusia. Nah, jika oksigen telah tercemari oleh bau sampah yang menyengat, tahu sendiri khan akibatnya untuk otak kita. Karena bau sampah bukan sekedar bau tapi bau yang mengandung beribu bahkan berjuta bibit penyakit. Makanya orang selalu saja menganggap sampah sebagai biang masalah.

Apa memang demikian ya?

Kalau kita mau jujur, sebenarnya sampah hanyalah jadi kambing hitam alias sasaran kesalahan. Tentu sebagai obyek, ia tidak akan berdaya berbuat apa-apa. Semua  tergantung pada subyek yang memperlakukannya. Kita manusialah yang bertanggung jawab penuh terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup di sekitar kita. Jika kita memperlakukan sampah dengan baik maka sampah tidak akan menjadi biang masalah. Namun kebanyakan dari kita lebih suka mengambil enaknya saja, yaitu dengan lagi-lagi menyalahkan sampah sebagai biang masalah. Manusia memang cenderung mencari pembenaran dengan menjadikan benda mati sebagai biang kesalahan.

 

Bagaimana dengan Sekolah Kita?

Sebenarnya kita juga sudah melakukan banyak hal positif di sekolah kita untuk meminimalisir dampak negatif sampah bagi kesehatan. Namun sayangnya ada saja sebagian kecil dari warga sekolah yang selalu melakukan hal-hal yang kontra produktif, semisal mencerai-beraikan sampah yang sudah ada di tempat sampah. Belum lagi ada yang menjadikan laci meja di kelas sebagai bank sampah. Sungguh hal yang kontra produktif khan?

Jika kesadaran sebagian kita masih serendah itu, lalu kapan lingkungan sekolah kita ini bersih? Padahal di setiap depan kelas sudah disediakan tempat sampah, spanduk berisi himbauan “Stop! Jangan buang sampah sembarangan!” juga sudah terpasang di beberapa tempat. Jadwal piket harian juga sudah tersusun di tiap kelas. Setiap hari bapak/ibu guru juga tak bosan-bosan mengingatkan untuk selalu menjaga kebersihan. Padahal Islam secara jelas dan tegas juga menyatakan: “Kebersihan sebagian dari iman”. Lalu apa lagi yang kurang? Ataukah perlu diterapkan SANKSI BERAT atau dikenakan DENDA bagi siapa saja yang membuang sampah sembarangan? Sungguh sebuah ironi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...