25/10/2023
24/10/2023
Matsanepat, Madrasah Zero Waste
MATSANEPAT, MADRASAH ZERO WASTE
Pada tanggal 30 November 2022 yang lalu, Matsanepat resmi menyandang status sebagai Madrasah Adiwiyata Tingkat Kabupaten Trenggalek. Ya, memang status ini belum ada apa-apanya sebab baru tingkat kabupaten. Banyak sekolah atau madrasah yang sudah mendapatkan status sebagai sekolah/madrasah Adiwiyata tingkat provinsi bahkan tingkat nasional.
Namun satu hal yang menjadi kebanggaan para warga Matsanepat adalah nilai perjuangannya untuk bisa mewujudkannya. Setelah sekian tahun jalan di tempat, di bawah komando Bapak Ahzan Winarto akhirnya mimpi itu bisa terwujud. Kini lingkungan madrasah benar-benar bersih dan asri. Bisa dibilang kini Matsanepat sudah zero waste. Maka tidak heran jika pada momentum HUT Kementerian Agama tahun lalu, Matsanepat berhasil menjadi juara I Sekolah Sehat Tingkat MTs se-Kabupaten Trenggalek.
Sekarang Matsanepat terus berbenah dan bergerak untuk melanjutkan langkah menuju madrasah adiwiyata tingkat provinsi dan seterusnya. Langkah ini tentu membutuhkan kerjasama semua warga madrasah, termasuk masyarakat sekitar dan orang tua siswa. Harapannya tentu madrasah adiwiyata tidak hanya menjadi kebanggaan dalam status melainkan lebih dari itu, semua warga madrasah benar-benar menjadi warga madrasah yang sadar dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan tata kelola madrasah yang baik untuk mendukung pembangunan Indonesia berkelanjutan.
“Matsanepat!”
“Excellent – Religious – Green!”
“Matsanepat!”
“Milik Kita!”
MTsN 4 Trenggalek, Excellent - Religious - Green
MTsN 4 TRENGGALEK
EXCELLENT – RELIGIOUS - GREEN
Jangan heran ketika Anda meneriakkan kata “Matsanepat!” maka dengan segera akan disambut teriakan antusias “Excellent! Religious! Green!” oleh warga Matsanepat. Dan jika Anda meneriakkan kembali kata “Matsanepat!” untuk yang kedua kalinya maka secara sepontan Anda akan mendengar kata “Milik Kita!” yang diteriakkan dengan penuh semangat dan kompak.
“Excellent – Religious – Green” tak lain adalah slogan MTsN 4 Trenggalek yang populer disebut Matsanepat. Slogan tersebut tentu bukan sekedar slogan tanpa makna melainkan ungkapan sebuah tekad dan semangat untuk mewujudkan madrasah yang unggul dalam prestasi (akademik maupun non akademik), dijiwai nilai-nilai agama (Islam), serta memiliki lingkungan yang hijau, segar, bersih, dan nyaman bagi para penghuninya.
Slogan Excellent – Religious – Green mulai diperdengarkan pada masa kepemimpinan Bapak Ahzan Winarto, S.Pd, M.Pd.I dua tahun silam. Sebagai langkah nyata untuk mewujudkan slogan tersebut Matsanepat melakukan inovasi di berbagai lini.
Program inovasi tersebut dirumuskan dalam beberapa akronim berikut: Gerakan Edukasi Madrasah Unggul Lingkungan Asri dan Indah (GEMULAI); Shalat Duha dan Istighasah Setiap Jum’at Ketiga (SAPU IJUK); Bawa Piring dan Sendok Sendiri-Sendiri (BARIS SESER), Ayo Lakukan Sedekah Setiap Hari Jum’at (AKU SEHAT); Ambil Sampah dan Jaga Kebersihan Setiap Waktu (ASAM JAWA); Selamatkan Kelestarian Lingkungan dan Irit Energi (TAKIR KETAN); Aksi Peduli Lingkungan untuk Madrasah Sehat dan Higienis (APEL MANIS).
Jika Anda ingin bukti terealisasinya beragam program inovasi madrasah tersebut, Anda bisa datang langsung ke Matsanepat. Deretan piala dan piagam penghargaan bisa Anda lihat. Piagam dan piala tersebut merupakan hasil raihan prestasi para siswa, guru, dan kepala madrasah dalam beragam ajang kompetisi dan perlombaan.
17/08/2023
Kekerasan Atukah Sekedar Pembelajaran
KEKERASAN ATAUKAH
SEKEDAR PEMBELAJARAN?
Oleh: Nanang M. Safa
Kekerasan yang dilakukan seorang guru kepada siswanya sekecil apapun nampaknya selalu menjadi berita hangat dan perbincangan yang menghebohkan, biarpun seringkali pula "kekerasan" tersebut nyatanya hanyalah sekedar "kesalahpahaman" akibat macetnya komunikasi antara guru dan siswa. Padahal ketika warga masyarakat lain berbuat hal yang sama atau bahkan lebih parah maka beritanya biasa-biasa saja.
Memang, dengan alasan apapun seorang guru tidak dibenarkan melakukan kekerasan dalam bentuk apapun, fisik lebih-lebih psikis yang akan berdampak pada perkembangan jiwa anak (baca: siswa).
Guru adalah seseorang yang telah dianggap matang/dewasa termasuk di dalamnya adalah kematangan emosi, artinya seorang guru seharusnya orang yang bisa mengelola emosinya sehingga sikap dan perilakunya selalu diperhitungkan dan ditimbang secara matang. Namun demikian "guru juga manusia" biasa yang memiliki tingkat kesabaran terbatas.
Pengendalian emosi kadang menjadi hal yang sangat sulit dan berat di saat banyak beban yang harus ditanggung seorang guru, baik menyangkut tuntutan keluarga maupun beban di tempat kerja. Apalagi ketika seorang guru secara fisik lelah maka dalam keadaan seperti itu sudah tentu hal kecil pun bisa memicu meledaknya emosi, Namun demikian, sebagai manusia terdidik yang sudah memilih jalan hidup sebagai pendidik dan sudah dikukuhkan oleh masyarakat sebagai orang yang bertanggungjawab untuk mendidik, tentu sudah sangat faham bahwa dunia yang diterjuni adalah dunia yang mengaduk-aduk emosi. Jadi dalam keadaan bagaimanapun sudah semestinya seorang guru sedapat mungkin mengendalikan emosi yang bergejolak dengan cara dan bahasa masing-masing.
Menilik pada beberapa kasus kekerasan yang sempat terekspose ke media massa akhir-akhir ini, sepertinya hal paling mendasar yang perlu dibenahi adalah masalah komunikasi. Kekerasan yang muncul serta berlanjut ke ranah hukum mestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara yang lebih bijak jika saja ada jalinan komunikasi yang baik. Macetnya komunikasi ini akhirnya menimbulkan kesalahfahaman yang berlanjut pada "pemukulan" dan berakhir pada pelaporan ke polisi.
Komunikasi yang baik juga tidak cukup hanya antara guru dan siswa, namun harus menjangkau kepada orang tua atau wali siswa. Hal ini sangat penting mengingat sikap dan perilaku anak di rumah kadangkala tidak sama dengan sikap dan perilaku anak di sekolah. Bahkan kadang terjadi anak pamit kepada kedua orang tuanya secara baik-baik berangkat ke sekolah dengan pakaian lengkap namun ternyata anak tidak hadir di sekolah. Jika antara pihak sekolah dan orang tua siswa tidak ada jalinan komunikasi yang baik maka ketika terjadi sesuatu di luar kemauan orang tua yang muncul adalah sikap saling menyalahkan dan mencari pembenaran diri. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah selalu menjembatani jurang kesalahfahaman dengan jalinan komunikasi multi arah secara baik.
Selanjutnya pihak sekolah juga harus selalu berupaya memaksimalkan pelayanan pendidikan di lembaganya. Kelas-kelas yang kosong (tidak ada yang mengajar) sering pula memicu tindakan negatif yang berujung pada kekerasan. Ketika siswa tidak terkondisikan secara baik di kelas maka yang paling lazim dilakukan adalah berbuat gaduh dengan memukul-mukul meja, nyanyi-nyanyi, dan teriak-teriak, akibatnya tentu saja ruang kelas di sebelahnya yang sedang melaksanakan kegiatan pembelajaran terganggu.
Dari sekian faktor yang menjadi andil terjadinya kekerasan di dunia pendidikan tersebut ada satu kegelisahan yang belum terjawab di kalangan para guru yaitu kekaburan penafsiran tentang batas-batas tindakan guru yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Jika hanya sekedar njewer untuk memberikan pembelajaran pada siswa yang sudah keterlaluan atau ketika seorang guru terpaksa harus nylenthik siswa dengan maksud untuk menegakkan disiplin saja dianggap sebagai tindakan kekerasan dan akhirnya dipolisikan maka dikhawatirkan akan terjadi kecuekan massal di kalangan para guru sehingga siswa yang melanggar aturan hanya dibiarkan dan pada akhirnya siswa akan berbuat semau-maunya karena merasa ada yang membela dan melindungi. Lalu apa artinya aturan dan tata tertib di sekolah? Lalu siapa yang harus disalahkan jika anak tak lagi santun? Lalu hendak ke mana generasi bangsa akan dibawa? Mari kita renungkan sejenak.