PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: edukasi
Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan

06/07/2025

Nge-Game di Sekolah, Adakah yang Salah?

 

NGE-GAME DI SEKOLAH, ADAKAH YANG SALAH?

Oleh: Nanang M. Safa

 


Bermain game (terutama game online) benar-benar telah menjadi kegiatan harian hampir semua anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja yang di sisi lain masih berstatus pelajar yang mestinya konsentrasi untuk mengejar cita-cita dan mewujudkan mimpinya di dunia nyata, banyak yang tenggelam dalam dunia maya (tidak nyata) dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ngegame. Coba Anda amati, anak-anak dan remaja di sekitar Anda, mereka begitu asyiknya ngegame, baik ketika sendirian maupun bersama peer-groupnya. Kata-kata semacam mabar (main bareng), ML (Mobile Legend), FF (Free Fire), MC (Mine Craft), ngebug (menggunakan kesalahan dalam game untuk mendapatkan keuntungan), nge-lag (gangguan jaringan yang menyebabkan permainan menjadi lambat), dan beberapa istilah lain begitu populer di kalangan anak-anak dan remaja gamers.

Jika dibuat perbandingan, tidak kurang dari 40% waktu anak-anak dan remaja dihabiskan untuk ngegame, sementara yang 60% berbagi antara untuk beristirahat, belajar, beribadah, dan kegiatan harian lainnya. Coba sekali lagi Anda amati, mereka ngegame tidak hanya di rumah, namun di segala tempat asalkan ada jaringan internet. Tidak hanya di waktu senggang, namun di jam-jam yang mestinya digunakan untuk kegiatan positif lain, juga tak lepas dari ngegame. Memang tidak semua anak dan remaja kecanduan game namun persentasenya sungguh tidak berimbang. Dari 10 anak/remaja tak lebih 2 anak/remaja yang tidak ngegame ketika berkumpul. Jika ditelusuri lebih lanjut tentang penyebab anak dan remaja ngegame, ternyata cukup beragam. Ada yang beralasan untuk mengisi waktu luang, ada juga yang beralasan untuk menghilangkan stress, dan ada juga yang karena pressur (tekanan) dari peer-groupnya.

Fenomena kecanduan game ini tak urung menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan orangtua, termasuk orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dan masing-masing tentu memiliki argumentasi yang rasional dan sedikit banyak ilmiah, tentu dalam konteks untuk mendukung pendapat masing-masing.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua jenis game selalu berbau negatif sebab ada pula game yang bisa mengasah keterampilan kognitif semisal game yang menuntut kreatifitas dan imajinasi (pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan menyusun strategi).  Ada pula jenis game yang mengasah keterampilan sosial semisal game yang melibatkan interaksi dengan pemain lain. Game jenis ini tentu bisa melatih kecerdasan komunikasi, kerjasama tim, dan kepiawaian dalam bernegosiasi. Ada juga jenis game yang melatih pengembangan visual-spasial seperti game yang berhubungan dengan bidang seni, arsitektur, dan matematika. Bahkan game juga bisa menjadi sarana untuk meningkatkan literasi digital anak dan remaja karena dalam game tertentu mereka juga belajar membaca instruksi dalam bahasa asing (Inggris). Bahkan melalui game banyak anak dan remaja yang termotivasi untuk belajar pemrograman atau desain grafis karena ingin menciptakan game versi mereka sendiri.

Namun demikian, tidak bisa diabaikan juga bahwa jika bermain game secara membabi buta dan tidak terkontrol apalagi pada saat jam-jam belajar, juga bisa menimbulkan banyak dampak negatif semisal penurunan prestasi akademik karena kurang/tidak fokus di pelajaran, gangguan kesehatan mental (menyebabkan stress dan depresi), gangguan kesehatan fisik (mata lelah, nyeri punggung, dan insomnia), gangguan interaksi sosial (kurang berinteraksi dengan teman di dunia nyata), menimbulkan kecanduan, serta yang paling berbahaya adalah bisa memicu perilaku agresif dan sulitnya mengontrol emosi yang pada akhirnya bisa menimbulkan multi efek.

Barangkali Anda juga sudah sering mendengar anak dan remaja gamers yang dengan spontan meneriakkan kata-kata umpatan atau makian atau kata-kata kotor yang mestinya tidak pantas diucapkan dalam keadaan sadar. Kata-kata tersebut begitu entengnya mereka teriakkan di ruang publik termasuk di kelas atau di lingkungan tempat ibadah. Tentu mereka mengucapkannya secara tidak sadar karena terbawa keasyikan bermain game di gadged mereka. Bahkan tidak jarang ada anak/remaja yang berani membentak atau melawan orangtua atau gurunya gara-gara merasa terganggu ketika sedang asyik bermain game. Hal-hal seperti ini tentu sangat memprihatinkan kan?, dan itulah faktanya.

Bertitik tolak dari sisi positif dan sisi negatif ngegame di atas, maka perlu adanya kerjasama antara orangtua, guru, dan masyarakat agar bertindak secara bijak dan adaptif. Melarang secara membabi buta tentu bukan tindakan bijaksana, bahkan bisa jadi akan menimbulkan masalah baru yang justru lebih membahayakan yakni pembangkangan atau sebaliknya keputusasaan. Namun jika membiarkannya tanpa kendali tentu juga bukan tindakan yang bijaksana. Mereka akan semakin tenggelam dalam dunia imaji yang liar dan berbahaya, serta tidak lagi menganggap penting perannya di dunia nyata. Padahal bukankah mereka adalah para pembelajar yang kelak diharapkan bisa menjadi orang-orang sukses dan bermanfaat bagi banyak orang sesuai mimpi dan cita-cita mereka? Coba bayangkan apa yang akan terjadi jika mereka setiap harinya hanya ngegame dan ngegame hingga lupa waktu, lupa kewajiban, dan lupa akan cita-cita masa depannya?

Lalu apa yang mesti dilakukan?

Beberapa rekomendasi sebagai jalan tengah dari permasalahan ini adalah orangtua atau guru harus memberikan batasan waktu yang jelas dan tegas serta konsisten sebagai langkah antisipasi agar anak dan remaja tidak sampai kecanduan game. Tegaskan kepada mereka kapan saatnya bermain game, kapan saatnya belajar, kapan saatnya berinteraksi sosial, dan kapan saatnya beristirahat.

Ajaklah mereka bicara tentang game yang mereka mainkan (tentang sisi positif dan negatifnya), jika perlu sekali waktu ajaklah mereka mabar (main bareng) agar bisa menanamkan cara bermain yang sportif dan bertanggung jawab. Dengan melakukan beberapa tindakan bijak ini maka diharapkan potensi positif ngegame bisa dimanfaatkan secara maksimal, sementara dampak negatifnya bisa diminimalisir.

Nah, sekarang silahkan Anda jawab sendiri pertanyaan: “Nge-game di sekolah, adakah yang salah?”

24/10/2023

Matsanepat, Madrasah Zero Waste

 

MATSANEPAT, MADRASAH ZERO WASTE

 

Pada tanggal 30 November 2022 yang lalu, Matsanepat resmi menyandang status sebagai Madrasah Adiwiyata Tingkat Kabupaten Trenggalek. Ya, memang status ini belum ada apa-apanya sebab baru tingkat kabupaten. Banyak sekolah atau madrasah yang sudah mendapatkan status sebagai sekolah/madrasah Adiwiyata tingkat provinsi bahkan tingkat nasional.

Namun satu hal yang menjadi kebanggaan para warga Matsanepat adalah nilai perjuangannya untuk bisa mewujudkannya. Setelah sekian tahun jalan di tempat, di bawah komando Bapak Ahzan Winarto akhirnya mimpi itu bisa terwujud. Kini lingkungan madrasah benar-benar bersih dan asri. Bisa dibilang kini Matsanepat sudah zero waste. Maka tidak heran jika pada momentum HUT Kementerian Agama tahun lalu, Matsanepat berhasil menjadi juara I Sekolah Sehat Tingkat MTs se-Kabupaten Trenggalek.

Sekarang Matsanepat terus berbenah dan bergerak untuk melanjutkan langkah menuju madrasah adiwiyata tingkat provinsi dan seterusnya. Langkah ini tentu membutuhkan kerjasama semua warga madrasah, termasuk masyarakat sekitar dan orang tua siswa. Harapannya tentu madrasah adiwiyata tidak hanya menjadi kebanggaan dalam status melainkan lebih dari itu, semua warga madrasah benar-benar menjadi warga madrasah yang sadar dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan tata kelola madrasah yang baik untuk mendukung pembangunan Indonesia berkelanjutan.

“Matsanepat!”

“Excellent – Religious – Green!”

“Matsanepat!”

“Milik Kita!”

MTsN 4 Trenggalek: Excellent - Religious - Green

 

MTsN 4 TRENGGALEK

EXCELLENT – RELIGIOUS - GREEN

 Oleh: Nanang M. safa

 

Jangan heran ketika Anda meneriakkan kata “Matsanepat!” maka dengan segera akan disambut teriakan antusias “Excellent! Religious! Green!” oleh warga Matsanepat. Dan jika Anda meneriakkan kembali kata “Matsanepat!” untuk yang kedua kalinya maka secara sepontan Anda akan mendengar kata “Milik Kita!” yang diteriakkan dengan penuh semangat dan kompak.

“Excellent – Religious – Green” tak lain adalah slogan MTsN 4 Trenggalek yang populer disebut Matsanepat. Slogan tersebut tentu bukan sekedar slogan tanpa makna melainkan ungkapan sebuah tekad dan semangat untuk mewujudkan madrasah yang unggul dalam prestasi (akademik maupun non akademik), dijiwai nilai-nilai agama (Islam), serta memiliki lingkungan yang hijau, segar, bersih, dan nyaman bagi para penghuninya.

Slogan Excellent – Religious – Green mulai diperdengarkan pada masa kepemimpinan Bapak Ahzan Winarto, S.Pd, M.Pd.I dua tahun silam. Sebagai langkah nyata untuk mewujudkan slogan tersebut Matsanepat melakukan inovasi di berbagai lini.

Program inovasi tersebut dirumuskan dalam beberapa akronim berikut: Gerakan Edukasi Madrasah Unggul Lingkungan Asri dan Indah (GEMULAI); Shalat Duha dan Istighasah Setiap Jum’at Ketiga (SAPU IJUK); Bawa Piring dan Sendok Sendiri-Sendiri (BARIS SESER), Ayo Lakukan Sedekah Setiap Hari Jum’at (AKU SEHAT);  Ambil Sampah dan Jaga Kebersihan Setiap Waktu (ASAM JAWA); Selamatkan Kelestarian Lingkungan dan Irit Energi (TAKIR KETAN); Aksi Peduli Lingkungan untuk Madrasah Sehat dan Higienis (APEL MANIS).

Jika Anda ingin bukti terealisasinya beragam program inovasi madrasah tersebut, Anda bisa datang langsung ke Matsanepat. Deretan piala dan piagam penghargaan bisa Anda lihat. Piagam dan piala tersebut merupakan hasil raihan prestasi para siswa, guru, dan kepala madrasah dalam beragam ajang kompetisi dan perlombaan.