PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Merdeka Belajar Bukan Belajar Merdeka

15/02/2023

Merdeka Belajar Bukan Belajar Merdeka

  MERDEKA BELAJAR BUKAN BELAJAR MERDEKA

Oleh: Nanang M. Safa

 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makariem menggulirkan program “Merdeka Belajar”. Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tentang merdeka belajar tersebut dipaparkan oleh Nadiem di hadapan para Kepala Dinas Pendidikan propinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 11 Desember 2019 lalu.

Ada empat pokok kebijakan baru Kemendikbud RI, yaitu: 1) Ujian Nasional (UN) akan digantikan dalam bentuk Asesmen Kompetensi Minimum, dan survei karakter. Berbeda dengan UN yang dilaksanakan di akhir jenjang pendidikan, asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11. Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikannya; 2) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diserahkan ke sekolah. Sekolah diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk penilaian seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya; 3) Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Melalui penyederhanaan administrasi, diharapkan waktu guru dalam pembuatan administrasi dapat dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi; dan 4) Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi diperluas. Bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi diberikan kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB sebelumnya. Pemerintah daerah diberikan kewenangan secara teknis untuk menentukan daerah zonasi ini (https://id.wikipedia.org/wiki/Merdeka_Belajar).

Program Mendikbud ini tentu memantik beragam komentar dan penafsiran, baik yang pro maupun yang kontra. Apalagi masih banyak yang belum memahami esensi dari kebijakan Mendikbud tersebut namun ikut memberikan komentar yang menjadikannya jauh panggang dari api.

 

Sisi Lain dari Program Merdeka Belajar

Merdeka Belajar yang digagas Mendikbud sebenarnya mengandung visi yang futuristik dan uptodate. Jika program Merdeka Belajar ini diimplementasikan sesuai konsepnya maka akan tercipta kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan zaman setidaknya akan dapat memberikan hasil sesuai kebutuhan siswa di masa kini. Guru juga tidak harus terbebani dengan seabrek materi pelajaran yang harus dituntaskan dalam target waktu tertentu dengan hasil akhir berupa deretan angka-angka dalam buku rapor. Sementara siswa juga tidak harus menguras energi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) yang menumpuk dari masing-masing guru mata pelajaran yang tentu semuanya menuntut untuk dikerjakan, dan terkadang disertai intimidasi nilai jelek atau tidak naik kelas bagi siswa yang tidak mengerjakan.

Pada program Merdeka Belajar tersebut tugas guru lebih kepada penanaman dan pembentukan karakter siswa didiknya, merubah mindset siswa dan masyarakat tentang nilai kecakapan yang diukur dari pemeringkatan/ranking, menciptakan kondisi pembelajaran yang menyenangkan dan happy, menggalakkan pendidikan anti bulliying di sekolah, serta yang paling mendesak adalah mengatasi fenomena merosotnya semangat belajar siswa (loss learning) akibat pola pembelajaran daring (online) yang cukup panjang sebagai dampak dari pandemi Covid-19.

 

Makna Merdeka Belajar

Merdeka belajar tentu berbeda maknanya dengan belajar merdeka. Merdeka belajar bukan berarti meniadakan segala aturan, tata tertib, dan batasan dalam belajar. Merdeka belajar lebih mengedepankan kehappyan dalam belajar, happy bagi guru, juga happy bagi siswa. Dengan kehappyan ini, maka diharapkan belajar tidak hanya menghasilkan angka-angka kamuflatif namun benar-benar bernilai guna.

Beda lagi ketika merdeka belajar itu dimaknai dengan belajar merdeka. Belajar merdeka cenderung disalahartikan dengan belajar menjadi orang merdeka (baca: bebas) dengan meniadakan etika, aturan/tata tertib, dan meniadakan batas. Sekolah bukan lagi tempat untuk mendidik, namun hanya sebatas tempat berkumpul untuk mengekspresikan kesenangan dan kebebasan. Para siswa yang dari awal memiliki motivasi dan semangat belajar rendah, tentu akan memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk menghindar dari segala hal yang “membebani” mereka termasuk peraturan/tata tertib dengan berlindung pada konsep belajar merdeka yang dimaknai sebagai belajar bebas tanpa batas tersebut.

Tidak heran jika dalam kegiatan pembelajaran, para siswa dalam kelompok ini begitu bebas mengekspresikan ucapan, sikap, dan perilaku yang tidak selaras atau bahkan menyimpang dari status mereka sebagai anak-anak yang sedang belajar. Tanpa sungkan mereka melontarkan umpatan dan caci-maki, bersikap tidak sopan, dan berperilaku semau-maunya. Mereka juga suka melakukan tindakan pembullyan dan kadang mengarah kepada kekerasan dan kriminalitas. Lagi-lagi dalih yang dipakai adalah belajar merdeka tadi.

Dengan demikian sekolah hampir tiada beda dengan tempat lain yang berfungsi sebagai tempat berkumpul semacam mall atau taman bermain. Bukan tempat sakral yang berfungsi sebagai kawah candradimuka untuk mendidik dan menempa para calon generasi emas Indonesia di masa depan. Jika demikian, maka tunggulah saat kehancurannya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...