MENDIDIK DENGAN CINTA = MENDIDIK TANPA HUKUMAN?
Oleh: Nanang M. Safa
Guru adalah seseorang yang ditahbiskan sebagai pendidik. Mendidik memiliki makna luas dan dalam. Mendidik tidak hanya diartikan sebagai mengajar. Mengajar hanya pada sebatas penyampaian materi pelajaran dalam target tertentu. Jadi hampir setiap orang bisa melakukannya. Dengan membaca dan sedikit menghafal serta sedikit mengasah ketrampilan berbicara maka seseorang sudah bisa menjadi seorang pengajar.
Sedangkan untuk dapat menjadi seorang pendidik, tentu selain memerlukan ketrampilan berbicara, yang paling penting adalah seorang pendidik haruslah seorang yang dewasa, dalam arti dewasa cara berfikirnya, dewasa kepribadiannya, dewasa dalam menyikapi permasalahan dan perbedaan pendapat, dewasa dalam memahami perkembangan jiwa anak (peserta didik) termasuk dewasa emosionalnya. Dari sederet persyaratan tidak tertulis tersebut kedewasaan emosi menjadi persyaratan paling mendasar.
Pola pendidikan lama tidak mensyaratkan kedewasaan emosi. Masih segar dalam ingatan kita, hingga akhir tahun 1990-an, seorang guru yang dengan ringannya memukul siswa dengan penggaris kayu atau bahkan tidak jarang pula sampai membenturkan kepala siswanya ke tembok gara-gara si siswa tidak hafal perkalian. Dan nampaknya kejadian seperti itu dianggap biasa dan tidak dikategorikan sebagai sebuah kekerasan. Atau jika ada yang menganggap sebagai suatu kekerasan itupun hanya sebatas rasan-rasan di belakang.
Sedangkan pola pendidikan modern sama sekali tidak menolerir berbagai bentuk kekerasan (fisik maupun mental) yang dilakukan guru kepada peserta didiknya. Dan mayoritas masyarakat dalam memahami konsep "kekerasan pada siswa" ini kadang juga salah kaprah dan apriori. Seorang guru yang hanya sekedar "nylenthik" untuk mendisiplinkan siswa atau sekedar "njewer" siswa yang sudah keterlaluan dianggap sebagai sebuah kekerasan. Banyak kasus yang terjadi guru dipolisikan orang tua siswa gara-gara mencubit siswanya.
Di satu sisi ini adalah sebuah kemajuan besar pada dunia pendidikan namun di sisi lain ini juga memunculkan kekhawatiran di kalangan para guru. Guru dituntut untuk dapat membentuk kepribadian anak (baca: pesertra didik) agar kelak menjadi orang yang baik dan dapat diandalkan sebagai generasi penerus bangsa, namun di lain pihak guru diombang-ambingkan kekhawatiran terhadap sikap dan perilaku peserta didik yang kadang sudah "melampaui batas". Keadaan demikian menempatkan guru pada satu dilema; ingin menegakkan disiplin takut dipolisikan, bersikap cuek berarti mencederai tugas sucinya sebagai pendidik.
Memang, ketika seseorang sudah berniat dan bertekad menjadi seorang guru, sudah pasti orang tersebut harus siap dengan segala resikonya. Artinya sebagai seorang guru dia harus tahu dan sadar bahwa mendidik merupakan "pekerjaan keras" yang mengaduk-aduk emosi.
Peserta didik terutama yang berada pada usia remaja (SLTP/SLTA) adalah anak-anak yang berada pada taraf luapan emosi yang labil seiring dengan pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya. Mereka adalah anak-anak yang sedang hoby pada tantangan. Maka tidak heran jika ditemui siswa SLTP/SLTA yang berani menantang gurunya berkelahi.
Anak-anak usia SLTP/SLTA yang sering dilabeli para ABG (Anak Baru Gede) juga adalah anak-anak yang berada pada usia "caper" alias cari-cari perhatian. Maka tidak heran juga jika ditemui anak-anak yang suka ramai di kelas ketika guru sedang serius mengajar, atau anak-anak yang berkali-kali harus berhadapan dengan guru BK (Bimbingan & Konseling) gara-gara melanggar tata tertib sekolah. Hingga akhirnya muncul label "anak nakal" dan "suka bertingkah".
Pelabelan sebagai "anak nakal" dan "suka bertingkah" seperti ini sering ditemui di dunia pendidikan. Secara sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung, sendiri-sendiri maupun secara kolektif ternyata pelabelan seperti ini seringkali terbentuk dan menjadi trade mark siswa-siswi yang memang secara umum sering mendapat catatan negatif dari mayoritas guru, wali kelas, guru BK bahkan Kepala Sekolah.
Terjadinya banyak kasus kekerasan di dunia pendidikan ternyata banyak bermuara pada pelabelan semacam ini. Para siswa yang terlanjur mendapat label sebagai anak nakal dan suka bertingkah seringkali merasa diperlakukan tidak adil. Dengan perlakuan
semacam ini mereka bukannya berhenti berbuat ulah namun justru malah semakin menjadi-jadi, sementara di pihak gurupun semakin keras memberikan tekanan dan kekangan.
Mendidik dengan Cinta
Seiring dengan banyaknya kasus kekerasan di dunia pendidikan maka muncullah konsep mendidik dengan cinta, biarpun sebenarnya konsep inipun hanya merupakan proses daur ulang dengan kemasan baru dari konsep pendidikan yang sudah ada. Namun sekali lagi konsep inipun masih kabur dan banyak yang menerjemahkannya secara sempit dan cenderung memojokkan guru. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah apakah mendidik dengan cinta itu sama dengan mendidik tanpa hukuman?
Menurut hemat penulis mendidik dengan cinta tidaklah sama dengan mendidik tanpa hukuman. Namun mendidik dengan cinta adalah mendidik dengan mengedepankan personality approach (pendekatan pribadi). Tiap anak tentu memiliki pola perkembangan (kejiwaan) yang berbeda. Pola perkembangan ini sangat dipengaruhi latar belakang keluarga termasuk pola asuh orang tua serta yang tidak boleh diabaikan adalah peer group atau kelompok teman sebayanya.
Seorang anak (baca: remaja) cenderung akan memilih mendapatkan hukuman dari orang tuanya di rumah atau gurunya di sekolah dari pada harus di dikucilkan oleh teman dalam satu kelompoknya. Jika keadaan seperti ini tidak bisa difahami oleh orang dewasa termasuk para guru di sekolah maka sudah pasti yang muncul adalah konflik dan akhirnya tidak jarang memunculkan kasus kekerasan.
Mendidik dengan personality approach adalah mendidik dengan mengedepankan pemahaman dan pengertian. Guru sebagai orang dewasa harus dapat memahami setiap peserta didiknya dengan sepenuh pemahaman, artinya guru tidak hanya dituntut mengikuti setiap perkembangan prestasi belajar siswa-siswinya, namun lebih dari itu guru juga dituntut selalu mengikuti perkembangan pola pikir, sikap dan perilaku mereka. Maka syarat utama dalam konsep mendidik dengan cinta adalah adanya keterbukaan komunikasi antara guru, peserta didik dan orang tua. Namun yang terjadi di lapangan mayoritas orang tua seperti enggan untuk menjalin komunikasi dengan pihak sekolah, sementara guru atau dalam hal ini wali kelas atau guru BK secara khusus lebih disibukkan pada rutinitas kegiatan pembelajaran di kelas.
Macetnya komunikasi seperti ini pada akhirnya akan menimbulkan benturan pemahaman yang akan mengarah pada sikap mencari pembenaran diri dari masing-masing pihak yang berkonflik. Jika sudah terjadi hal demikian maka sudah pasti masalah yang ada akan semakin menajam dan pada akhirnya akan memunculkan aksi pelanggaran dari siswa akibat adanya anggapan bahwa orang-orang di sekitarnya tidak bisa memahami dunianya. Di sisi lain orang-orang dewasa termasuk para orang tua dan guru hanya memberikan stressing dan keharusan-keharusan kepada siswa untuk menjadi anak yang baik dan berprestasi, harus menjadi siswa yang menaati tata tertib, harus berperilaku sopan, harus rajin belajar dan seterusnya. Jika demikian yang terjadi tidak bakal ada titik temu yang dapat menjembatani dua dunia yang berbeda yaitu dunia remaja dan dunia orang dewasa.
Hukuman (punishment) -sebagaimana juga pemberian ganjaran (reward)- tentu bisa diterapkan dalam mendidik, sebatas hukuman tersebut tidak melukai secara fisik dan tidak menimbulkan trauma psikologis. Akan lebih baik dan efektif jika hukuman yang diterapkan tersebut sebelumnya juga didiskusikan dengan "si penerima sanksi atau hukuman", sebab dengan dilibatkannya mereka dalam penentuan sanksi atau bentuk hukuman yang harus diterima maka secara tidak langsung juga sebagai bentuk pembelajaran dan penanaman nilai-nilai tanggung jawab sebagai konsekwensi terhadap pelanggaran yang telah mereka lakukan.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...