LEARNING LOSS? INILAH JAWABANNYA
Oleh: Nanang M. Safa
Era pandemi Covid-19 telah berlalu. Biarpun belum sepenuhnya ancaman virus misterius beserta turunannya tersebut belum sepenuhnya hilang dari pemberitaan, namun setidaknya masa mencekam akibat teror Covid-19 tidak lagi menghantui keseharian kita. Kini era baru telah berjalan. Namun demikian masih sangat terasa dampak dari teror selama hampir 3 tahun tersebut, tak terkecuali dengan pelajar kita.
Bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah tentu bisa merasakan perubahan karakter dari anak-anaknya yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rasa kepedulian terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya turun hampir mendekati titik nadir. Rasa hormat terhadap orang tua menurun drastis. Rasa empathy terhadap orang-orang sekitarnya juga menipis. Bahkan terhadap sesama teman pun tidak begitu peduli.
Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di lingkungan sekolah. Kasus bullying sesama teman, berani terhadap guru, pelanggaran tata tertib, rendahnya motivasi belajar, dan minimnya prestasi (akademik maupun non akademik). Ini semua secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan merebaknya pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.
Pemberlakuan social distancing dan semacamnya termasuk pembelajaran daring (online) sebagai cara yang dianggap paling aman ketika itu ternyata berjalan tidak sesuai harapan. Prosesnya saja tidak terkondisikan dengan baik akibat kurangnya fasilitas pendukung pembelajaran online, apalagi hasilnya. Namun apapun itu, pembelajaran daring harus tetap dijalankan, siap ataupun tidak siap. Maka sudah pasti banyak sekolah yang kalang kabut beradaptasi dengan keterpaksaan dengan tetap melaksanakan pembelajaran daring sebagai alternatif pembelajaran paling aman dan memungkinkan.
Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka merupakan jawaban dari kegelisahan banyak pihak tentang kualitas pendidikan yang masih jauh dari harapan. Krisis belajar (learning loss) sebagai bagian dasar dari menurunnya kualitas pendidikan menjadi perhatian utama yang harus segera dicarikan jalan keluar. Maka akhirnya muncul konsep Kurikulum Merdeka.
Apa sich sebenarnya esensi dari Kurikulum Merdeka?
Sebelum menjawab pertanyaan ini marilah kita telaah terlebih dahulu beberapa sumber rujukan yang membahas tentang apa sebenarnya Kurikulum Merdeka tersebut.
Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Dalam proses pembelajaran, guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat pembelajaran sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Merdeka).
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum yang dalam proses pembelajarannya mengacu pada pendekatan bakat dan minat. Artinya para peserta didik bisa memilih pelajaran apa saja yang diinginkan sesuai dengan bakat dan minatnya. (https://ujione.id/kurikulum-merdeka-belajar/)
Paparan dari dua sumber di atas kiranya cukup memberikan penjelasan tentang esensi dari Kurikulum Merdeka yakni kebebasan dalam kegiatan pembelajaran baik bagi sekolah (lembaga pendidikan), bagi guru, maupun bagi peserta didik.
Lembaga pendidikan (sekolah) memiliki hak dan wewenang dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan satuan pendidikannya. Guru lebih leluasa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan siswa. Sementara siswa lebih merdeka dalam belajar karena bisa memilih pelajaran yang diinginkan sesuai dengan bakat dan minatnya. Kegiatan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka bersifat fleksibel, bisa dilaksanakan secara luring (tatap muka), daring (pembelajaran jarak jauh secara online), maupun blanded learning (perpaduan antara pembelajaran daring dan luring).
Jika selama ini penerapan kurikulum lebih menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan) maka pada Kurikulum Merdeka lebih berorientasi pada aspek psikomotor (ketrampilan) dan pembentukan karakter peserta didik sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.
Dari P5 Hingga P2RA
Kegiatan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka adalah kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Dalam Kurikulum Merdeka dikenal istilah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Profil Pelajar Pancasila sendiri merupakan ruh dari Kurikulum Merdeka.
Profil pelajar Pancasila mencerminkan kualitas generasi bangsa Indonesia yang sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional serta pandangan dan cita-cita luhur para pendiri bangsa. Pelajar Pancasila merupakan perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ciri utama dari pelajar Pancasila tercermin pada 6 ciri berikut: Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; Berkebinekaan global; Bergotong royong; Mandiri; Bernalar kritis; Kreatif.
Selanjutnya, Kementerian Agama yang didalamnya juga menaungi lembaga pendidikan berbasis agama (madrasah) menjabarkan P5 dalam kemasan keagamaan yang terangkum dalam Profil Pelajar Rahmatan lil Alamin (P2RA).
Para peserta didik yang mengenyam pendidikan di bangku madrasah selain mampu menjadi pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, secara khusus juga harus mampu menjadi pelajar rahmatan lil alamin yang menitikberatkan pada moderasi beragama.
Ada 10 nilai yang menjadi dasar pada profil Pelajar Rahmatan lil Alamin yakni: berkeadaban (ta’addub), keteladanan (qudwah), kewarganegaraan dan kebangsaan (muwaṭanah), mengambil jalan tengah (tawassuṭ), berimbang (tawāzun), lurus dan tegas (i’tidāl), kesetaraan (musāwah), musyawarah (syūra), toleransi (tasāmuh), dan dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikâr) (https://www.nu.or.id/nasional/sekilas-perbedaan-profil-pelajar-pancasila-dan-pelajar-rahmatan-lil-alamin-tu6NF)
Jika kita cermati lebih dalam, nilai-nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan lil Alamin pada dasarnya seiring sejalan, saling menguatkan, dan saling mendukung. Satu hal yang harus selalu diingat adalah sebagus apapun konsep kurikulumnya jika tidak didukung oleh guru sebagai pelaku utamanya maka tidak akan berarti apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...