BERCERITA,
TRADISI BAIK YANG MULAI TERLUPAKAN
Oleh: Nanang M. Safa
Salah satu tradisi baik yang lepas dari perhatian orang tua dan sudah mulai dilupakan adalah tradisi bercerita. Dengan berbagai argumen, orang tua tidak pernah lagi mau bercerita atau membacakan cerita untuk anak-anaknya. Padahal anak-anak sekarang juga tidak nenuntut terlalu banyak dari orang tuanya. Jadi, sudah pantaskah kita disebut sebagai orang tua yang bijaksana?
Cerita merupakan salah satu media yang sangat baik untuk mewariskan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai moral kepada anak. Dengan kata lain, melalui cerita akan terjadi proses sosialisasi dan komunikasi antara pencerita dan pendengar cerita. Apabila dalam kegiatan ini yang berperan sebagai pembawa cerita adalah orang tua dan pendengar ceritanya adalah anak-anaknya, maka akan dapat memberikan dampak psikologis yang lebih nyata dan mendalam antara anak dan orang tua. Dalam hubungan ini, cerita juga dapat menjadi sarana untuk dapat mengungkapkan perhatian dan kasih sayang orang tua pada anak. Suasana yang tercipta dalam proses penceritaan, akan dapat menumbuhkan hubungan yang harmonis antara anak dan orang tua.
Pergeseran Budaya Lisan ke Tulisan
Jika dicermati, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tradisi bercerita secara oral yang mendominasi kehidupan anak selama ini, nampaknya kurang diminati lagi oleh hampir setiap orang tua. Dengan berbagai alasan –dan itu sah-sah saja- orang tua tidak pernah lagi mau menyisihkan sedikit waktu untuk berakrab-akrab dengan anak-anaknya dengan bercerita. Padahal kalaupun misalnya orang tua tidak punya kemampuan menjadi seorang pencerita, toch masih bisa diganti dengan membacakan buku cerita pada anak.
Membawakan cerita memang membutuhkan kemampuan lebih dibanding dengan hanya sekedar membacakan cerita. Gaya bahasa (aksentuasi), mimik muka (ekspresi), dan gerak tubuh (acting) harus bisa menggambarkan dan menjiwai tokoh-tokoh cerita yang sedang dibawakan. Selain itu, seorang pembawa cerita juga harus menguasai jalan cerita, karakter tokoh cerita, latar cerita (setting), dialog dan pesan moral yang ada dalam sebuah cerita. Sedangkan membacakan cerita hanya menuntut kemampuan untuk bisa membaca dengan baik, dengan sedikit gaya bahasa berbeda dalam membacakannya, agar anak lebih tertarik untuk mendengarkannya.
Sebenarnya antara tradisi lesan (oral) dan tradisi tulisan (teks) sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Tradisi bercerita oral (lisan) lebih membutuhkan kesiapan dan kerelaan orang tua untuk mengorbankan sebagian kepentingan pribadinya, dan ini belum tentu dimiliki oleh satu dari sepuluh orang tua. Padahal melalui cerita oral ini, akan terjadi kontak batin secara langsung antara anak dan orang tua. Orang tua akan lebih memiliki kesempatan untuk memaksimalkan perannya sebagai pendidik yang pertama dan yang utama bagi anak, dan sebaliknya anak lebih memiliki peluang untuk mengapresiasi dan mengekspresikan pendapat dan sikapnya terhadap isi cerita serta tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah cerita.
Sedangkan cerita dalam bentuk teks (melalui buku bacaan) tidak terlalu membebani orang tua, selain juga bisa meningkatkan tingkat melek huruf dan tingkat kecerdasan anak. Dengan banyak membaca, pengetahuan anak akan semakin bertambah. Namun yang perlu juga dipertimbangkan adalah bahwa semakin anak asyik dengan buku-buku bacaannya berarti semakin banyak anak mengasingkan diri dari lingkungan sosialnya. Bila hal ini terus terjadi secara berkepanjangan, dikhawatirkan akan menggiring anak ke sifat egois dan individualis, di samping juga akan menghilangkan hubungan yang mesra antara anak dan orang tua.
Selektif dalam Memilih Buku Cerita
Banyaknya buku cerita anak-anak sebenarnya merupakan kemajuan yang patut disyukuri oleh orang tua. Orang tua yang sejak dini sudah membiasakan anak-anaknya untuk membaca adalah orang tua yang bijaksana. Namun tentu tidak sembarang bacaan cerita boleh dikonsumsi oleh anak. Di sinilah peran orang tua mutlak diperlukan. Orang tua harus dapat menyeleksi bacaan bagi anak-anaknya sesuai dengan usia, tingkat pemahaman, dan perkembangan jiwa anak.
Anak adalah individu yang masih berada dalam kondisi labil sehingga mudah sekali terpengaruh oleh apa yang dibaca dan didengarnya. Tokoh-tokoh yang ada dalam suatu cerita serta ilustrasi yang mengiringinya akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Apalagi di era informasi teknologi sekarang ini, informasi yang diterima anak-anak kadang melebihi porsi. Hal-hal yang seharusnya belum boleh dan belum mampu diserap anak, telah lebih dulu masuk dalam memori anak. Tentu saja ini akan membuat anak resah dan dengan keresahannya ini, mereka akan berusaha mencari tahu melalui teman sekelompoknya atau melalui media lain yang kadang malah menyesatkan.
Tanpa adanya kontrol aktif dari orang tua, jika anak melakukan sesuatu di luar dugaan orang tua, maka tidak sepatutnya orang tua buru-buru memfonis anak sebagai anak nakal atau sebagai biang kekacauan dalam keluarga. Namun hendaknya orang tua mau instrospeksi diri dan mengakui secara jujur bahwa dirinya juga berandil besar terhadap apa yang dilakukan anak-anaknya. Satu hal yang bisa dilakukan orang tua adalah orang tua harus dapat memaksimalkan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya tanpa harus terbebani oleh perhitungan untung rugi. Dengan demikian anak tidak merasa kehilangan curahan kasih sayang orang tuanya dan di pihak lain mereka juga tidak merasa dirampas hak-haknya dan tidak merasa tergusur dari dunianya. Maka yang bisa dilakukan orang tua adalah ikut mendampingi si kecil menikmati buku cerita. Inilah sikap paling bijaksana sebagai orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...