PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Pendidikan Anak-Anak Kita Tanggung Jawab Siapa?

03/02/2023

Pendidikan Anak-Anak Kita Tanggung Jawab Siapa?

PENDIDIKAN ANAK-ANAK KITA

TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Oleh: Nanang M. Safa

 

Jika kita sepakat bahwa anak-anak kita adalah para generasi penerus bangsa yang nantinya diharapkan bisa menjadi generasi berkualitas, maka mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Selain itu justru yang paling utama adalah meletakkan pondasi moral yang kokoh agar terbentuk karakter dan kepribadian yang baik. Untuk membentuk generasi yang berkualitas, butuh upaya keras dan berkelanjutan. Seluruh elemen harus bergerak bersama dan bertindak bersama.

Keluarga adalah tempat di mana pertama kali anak mengenal lingkungannya. Ia hidup dan berkembang dalam lingkungan keluarga di mana ia tinggal. Maka orang tuanyalah sebagai penyebab pertama perkenalan anak dengan dunia. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai guide atau enter-preter yang selalu siap menjawab dan menerangkan segala yang dilihat, dirasa, dan ditanyakan oleh anak-anaknya. Sikap, perkataan, dan perilaku orang tua merupakan model nyata bagi anak. Maka tak jarang ketika ditanya siapa idolanya, anak-anak akan menjawab ibu atau bapaknya. Orang tua bagi anak merupakan pribadi ideal yang sangat sempurna, agung, dan berwibawa. Anak-anak sangat mudah meniru apa saja yang dilihat, didengar, dan diamati, sehingga apa yang diterima dari orang tuanya (keluarganya) berkaitan erat dengan pembentukan karakter anak di kemudian hari.

Setiap orang tua yang baik tentu mengharapkan agar kelak anak-anaknya bisa menjadi “orang”, walaupun tidak kaya setidaknya dapat mandiri dan berguna bagi masyarakatnya. Lebih-lebih bisa menjadi orang penting, pejabat tinggi atau bahkan presiden, misalnya. Itulah yang didambakan setiap orang tua. Sejelek-jeleknya orang tua tidak ada yang menghendaki anaknya menjadi orang yang tidak baik.

Tetapi rupa-rupanya hidup ini tidak semudah yang diinginkan. Iklim kompetisi semakin ketat di segala bidang kehidupan. Melihat kenyatan ini, bisa jadi harapan yang tadinya mulai menguncup dan akan mekar akhirnya layu sebelum berkembang. Apakah lantas kita sebagai orang tua akan menyerah begitu saja?

 

Bagaimana dengan Orang Tua Sekarang?

Pembentukan karakter dan kepribadian merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain, dengan berbagai proses pendukungnya. Namun akhir-akhir ini muncul fenomena di kalangan orang tua yang sebenarnya merupakan hal yang sangat kontra produktif dengan harapan dan cita-cita orang tua sendiri yang mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang baik dan berkualitas.

Pertama, banyak orang tua yang sepertinya sedang dilanda penyakit “takut memilki anak bodoh”. Artinya mereka sangat takut jika anak-anaknya dikatakan bodoh ketika nilai-nilai hasil ulangan dalam simbol angka-angka dalam buku rapor jelek. Sebaliknya mereka akan sangat bangga dan mengagung-agungkan anaknya (di depan anaknya tersebut atau menggunjingkannya di antara teman-temannya) ketika angka-angka di buku rapor anaknya bagus-bagus, dengan tiada keinginan untuk tahu bagimana cara anaknya tersebut mendapatkan nilai bagus tersebut; dari nyontekkah? dari berbuat curangkah? dari merampas jawaban temankah? dan tindakan ketidakjujuran lainnya.

Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa seorang siswa SD yang harus jadi bulan-bulanan ketika dia mengadu kepada ibunya berkenaan dengan perlakuan guru dan teman-temannya lantaran dia tidak bersedia (baca: menolak) dijadikan “joki” bagi teman-temannya. Benar-benar sebuah gambaran ironi tentang betapa mahalnya harga sebuah kejujuran. Tindakan semacam inilah yang pada akhirnya akan membuat anak-anak kita acuh dan tidak perduli lagi tentang ajaran moral. Mereka bisa saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai bagus agar mendapat acungan jempol dari orang tuanya. Inilah antara lain yang akhirnya bisa meruntuhkan moral anak-anak kita. Maka jangan buru-buru menyalahkan anak-anak kita ketika kelak setelah mereka menjadi “orang” tindakan mereka juga penuh nuansa ketidakjujuran dan suka menghalalkan segala cara.

Kedua, banyak orang tua yang menganggap bahwa ketika anak sudah dicukupi kebutuhan jasmaniahnya, seperti makan, pakaian, kendaraan, uang saku, dan fasilitas kesehariannya termasuk HP, maka mereka merasa sudah cukup memberikan hal terbaik kepada anak-anaknya. Mereka lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari itu semua yakni kebutuhan ruhaniahnya, termasuk perhatian dan kasih sayang.

Ketiga, banyak orang tua yang buru-buru lepas tangan dan merasa bebas dari tanggung jawab mendidik anak-anaknya ketika mereka telah memasukkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal (sekolah atau madrasah). Memang, pendidikan formal di sekolah/madrasah merupakan satu jalur pendidikan yang paling sistematis dan memiliki program terarah. Namun jangan lupa bahwa tanggung jawab mendidik anak-anak biar bagaimanapun tetap tidak bisa digantikan oleh siapapun.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama bagi anak. Segala hal yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap kehidupan anak pada masa-masa selanjutnya. Di samping itu, pendidikan keluarga juga merupakan dasar (pondasi) bagi perkembangan jiwa dan pembentukan karakter dan kepribadian anak. Penanggung jawab pendidikan keluarga ini adalah kedua orang tua, didukung oleh anggota keluarga yang lain tentunya. Relasi dan interaksi dalam keluarga yang harmonis dan komunikatif akan sangat membantu terbentuknya anak-anak yang berkepribadian baik dan berkualitas seperti yang didambakan.

Selanjutnya yang tak kalah penting adalah masyarakat di mana anak-anak banyak menghabiskan waktu di luar keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam masyarakat telah dimulai ketika anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarganya. Masyarakat yang permisif terhadap keberadaan anak-anak dengan memberikan ruang berkreasi dan berekspresi bagi anak-anak adalah masyarakat yang menjadi dambaan anak-anak. Sebaliknya masyarakat yang cuek dan cenderung hanya menghakimi akan membuat anak-anak semakin apatis terhadap lingkungannya dan akhirnya mereka akan menciptakan dunia lain bersama kelompok sebayanya dengan kegiatan-kegiatan yang cenderung negatif sebagai perwujudan dari dunia yang mereka impikan. 

Dengan adanya kerja sama dari ketiga lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), diharapkan pendidikan dapat berjalan secara kontinyu dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yakni “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (https://kumparan.com/berita-update/tujuan-pendidikan-nasional-di-indonesia-berdasarkan-undang-undang-1v6yCl2o3Vi/4).

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...