PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Sungaiku Kini Tak Sesubur Sungaiku yang Dulu

19/09/2022

Sungaiku Kini Tak Sesubur Sungaiku yang Dulu

SUNGAIKU KINI TAK SESUBUR SUNGAIKU YANG DULU

 

Siang itu tiba-tiba anak saya yang nomor tiga menunjukkan seekor ikan berwarna hitam kecoklatan. Sekilas ikan tersebut mirip ikan lele namun tidak punya patil (taji) dan sungut (kumis).

“Ikan apa ini namanya?” Tanya saya.

“Ikan cana.” Jawab anak saya gembira.

Ikan itu oleh anak saya dimasukkan ke dalam akuarium mini bekas wadah ikan bertha yang mati beberapa hari sebelumnya.

Saya amati ikan sebesar jari telunjuk tersebut lebih seksama. Tanpa saya minta, anak saya lalu bercerita tentang asal-usul dan cara dia mendapatkannya. Saya mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sekali lagi saya amati ikan tersebut. Bukankah ini ikan bekos atau jekos? Sejak kapan ia berganti nama menjadi ikan cana?

Iseng-iseng saya googling. Saya ketikkan ikan cana. Muncul beberapa gambar dan video serta harga jual ikan cana. Sebenarnya pengetikan saya juga kurang betul, yang betul adalah ikan channa. Ikan channa dikenal juga dengan sebutan snakehead. Disebut demikian karena kepala ikan ini mirip dengan kepala ular. Menurut penelusuran saya di internet, ikan channa setidaknya memiliki 8 jenis yakni: barca, gachua, marulioides, stewartii, argus, pleurophthalma, aurantimaculata, micropeltes, dan bleheri. Rekor harga tertinggi dipegang oleh jenis channa barca. Ikan berwarna dominan kuning dengan bintik-bintik hitam ini pernah dihargai hampir 100 juta rupiah (https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210917134340-277-695762/9-jenis-ikan-hias-channa-dengan-corak-menawan-harga-jutaan/2).

Sekarang saya akan bercerita tentang ikan channa di masa kecil saya. Seperti yang saya sebutkan di atas, ikan ini tak salah lagi ketika saya kecil dulu disebut ikan bekos atau jekos, semarga dengan ikan gabus.

Ikan ini dulu banyak sekali di terdapat di sungai di sekitar rumah saya. Juga di kubangan sawah. Saya juga sangat suka berburu ikan ini. Satu kali perburuan bisa mendapatkan seember ikan jekos. Namun saya sendiri tidak suka memakannya. Menurut saya baunya cukup amis khas bau ikan. Belum lagi bentuk kepalanya yang memang mirip ular. Ikan-ikan tersebut saya pelihara di kolam kecil di belakang rumah yang dulu selalu berair. Atau jika ada orang yang minta, pasti saya berikan. Bagi saya bisa nglisang (mengasah keterampilan menangkap ikan) sudah lebih dari cukup. Tidak pernah terpikir untuk menjualnya, dan jika dijual pun tak akan ada yang mau membeli. Selain jumlah ikannya sangat banyak, zamannya juga bukan zaman komersial. Tak terbayangkan jika sekarang harganya bisa ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Seminggu berikutnya saya ajak kedua anak lelaki saya (usianya hanya terpaut 3 tahun, besarnya hampir sama) memancing ikan channa. Saya ingin mengajari mereka tentang cara menangkap ikan channa yang gampang dan praktis dengan menggunakan pancing (kail).

Saya ajak kedua anak saya terlebih dahulu menggali tanah di pekarangan samping rumah dekat parit kecil untuk mencari cacing. Di tempat lembab begitu bisa dipastikan banyak cacing bersarang. Tak butuh waktu lama, beberapa ekor cacing berhasil saya dapatkan. Cacing-cacing inilah yang akan saya gunakan untuk umpan ikan channa.

Dengan langkah mantap saya ajak kedua anak lelaki saya ke sungai tepat di sebelah rumah saya. Si kecil kebagian membawa timba untuk wadah ikan channa hasil tangkapan saya nanti, sementara kakaknya bertugas membawa pancing bergalah. Kami bertiga mulai mengamati sungai yang airnya tidak terlalu dalam dan deras.

Saya minta si kakak memasang cacing pada kail. Namun rupanya cara memasangnya belum tepat. Maka terpaksa, dengan penuh rasa jijik saya perbaiki pemasangan cacing tersebut sedemikian rupa agar tidak mudah lepas ketika saya gunakan untuk umpan ikan channa.

Lalu saya suruh kedua anak saya diam sambil mengamati cara saya menangkap ikan channa. Dengan penuh keyakinan tentu, saya mulai menggerak-gerakkan kail di sela-sela batu atau lobang-lobang yang ada di sekitar tempat saya jongkok seperti yang saya lakukan bersama-sama teman saya dulu, ketika kami masih seusia anak-anak saya yang sekarang. Beberapa menit telah berlalu, saya masih yakin akan bisa menemukan ikan channa dan menangkapnya. Bukan hanya satu ekor tapi banyak. Hingga lima belas menit berlalu, tidak juga seekor ikan channapun yang nongol dari lubang persembunyiannya.

Dulu ketika kail bercacing kami gerak-gerakkan di lobang-lobang atau di sela-sela batu, tak berapa lama akan nongol ikan channa beragam ukuran. Dan pastilah ikan-ikan itu akan langsung melahap cacing yang kami pasang di kail. Lalu dengan sekali tarik ikan itu akan dapat kami tangkap. Namun sekarang ….

Saya ajak anak saya berpindah tempat ke lokasi lain yang agak rimbun. Mereka saya suruh menunggu di batu lepes (pipih) di dekat saya beraksi.

“Pasti kali ini saya akan mendapatkannya ….”

“Bagaimana Yah, dari tadi kok belum dapat juga sich ikan channanya?”

Si kakak rupanya sudah mulai tak sabar.

“Iya, katanya menangkap ikan channa itu mudah” Si kecil ikut-ikutan protes.

Ucapan kedua anak saya ini ternyata memunculkan keraguan saya, jangan-jangan di sungai ini memang sudah tak ada lagi ikan channanya seperti yang diceritakan anak saya.

Tapi saya tidak akan menyerah secepat itu, apalagi di depan anak-anak saya. Saya ajak kedua anak saya pindah ke lokasi lain lagi. Kali ini saya bergeser ke bawah dam. Dulu saya pernah mendapatkan banyak ikan lele di kedung (cerukan) di bawah dam itu. Kalau toch tidak berhasil mendapatkan channa setidaknya saya bisa mendapatkan ikan lele. Begitu pikir saya. Dengan begitu saya tetap bisa membuktikan kepada anak-anak saya bahwa menangkap ikan itu mudah dan sudah menjadi keahlian saya sejak kecil dulu.

Namun hingga 1 jam berlalu, tetap nihil. Jangankan ikan channa atau ikan lele, ikan wader pun tidak mau menyentuh pancing saya. Akhirnya dengan banyak alasan, saya ajak kedua anak saya pulang. Cacing yang tersisa saya suruh buang di bawah rumpun bambu kuning di dekat dam.

Kedua anak saya cengar-cengir memandangi saya. Saya tersenyum masam. Gagal sudah pembuktian saya hari ini. Ternyata sungaiku kini sudah tak sesubur sungaiku yang dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...