MEMELIHARA IKAN KOI
Memelihara ikan koi. Ya, ini adalah pengalaman pertama saya. Saya kira biasa-biasa saja, seperti memelihara ikan kolam jenis lain, semisal gurami, mujaer, patin, atau lele. Namun ternyata dugaan saya seratus persen meleset.
Benih ikan koi saya pesan secara online dari Blitar yang memang dikenal sebagai daerah pembenihan ikan koi yang cukup terkenal. Saya membelinya dengan sistem pembayaran Cast On Delivery (COD) untuk menghindari resiko. Namanya juga binatang kecil, tentu sangat besar resiko kematiannya di perjalanan. Apalagi benih ikan koi tersebut hanya dimasukkan dalam kantong plastik dan dibawa dengan berkendara motor. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ribetnya di perjalanan. Maka saya pilih sistem COD.
Benih ikan koi tersebut setiap ekornya dihargai 20 ribu rupiah. Cukup mahal tentu untuk harga seekor ikan seukuran jari kelingking. Jika saja dibelikan ikan laut ke pedagang keliling di desa saya, uang 20 ribu bisa mendapatkan seekor ikan tongkol segede lengan.
Saya pesan 2o ekor ikan koi anakan. Pembelian tidak langsung seperti yang saya lakukan ini salah satu kelemahannya adalah saya tidak bisa memilih sendiri secara langsung ikan koi yang ada. Saya hanya ngikut saja apa yang dibawakan oleh si pedagang. Kebetulan juga saya memang masih buta tentang ikan koi. Setelah terjadi kesepakatan, benih ikan koi siap dikemas dan dikirim ke rumah saya.
Perjalanan dari Blitar ke rumah saya di Trenggalek bagian selatan tentu memakan waktu cukup lama, antara 1,5 hingga 2 jam. Pas hari Minggu pesanan saya diantar ke rumah. Begitu sampai, benih ikan tersebut langsung dimasukkan ke kolam. Mereka terlihat baik-baik saja, berlarian ke sana kemari menikmati rumah baru mereka. Kata mas penjualnya ikan-ikan tersebut perlu beradaptasi dengan lingkungna barunya. Saya mencoba menghitungnya, 22 ekor. Lo, kok 22? Saya kan hanya pesan 20? Si mas pengantar ikan koi mengatakan, yang 2 adalah bonus.
“Alhamdulillah…. Terima kasih.” Ucap saya.
Singkat cerita, saya mulai memelihara ikan koi tersebut. Minggu pertama ada seekor ikan koi yang mati. Saya anggap hal biasa, mungkin seperti yang dikatakan mas si pengantar ikan koi bahwa ikan-ikan tersebut masih perlu beradaptasi.
Minggu berikutnya ada lagi yang mati. Kali ini saya mencoba mengamati dengan seksama. Dari mulut ikan yang mati tersebut ada semacam endapan berwarna kuning kecoklatan. Endapan ini memenuhi mulut ikan koi. Saya berani memastikan, itulah penyebab kematiannya. Saya masih berfikir positif bahwa kematian ikan tersebut merupakan hal yang wajar sebagai proses adaptasi lingkungan baru.
3 minggu berikutnya, saya lihat air kolam mulai pekat. Ikan-ikan koi pun tidak bisa saya pandangi dengan jelas, padahal tujuan saya memelihara ikan koi adalah sebagai hiburan untuk merefresh otak saya setelah pulang kerja. Akhirnya saya lakukan pengurasan. Penutup pipa pembuangan saya buka. Pipa tersebut langsung terhubung ke sungai yang bersebelahan dengan rumah saya. Tidak butuh waktu lama, kolam ikan berukuran 3x2 m tersebut hampir kering. Saya tutup kembali lobang pembuangan. Saya amankan ikan-ikan koi ke sebuah bak penampungan. Selanjutnya saya bersihkan kolam dengan sapu lidi untuk menghilangkan lumut yang mulai menebal di bagian bawah kolam dan di sekeliling dinding kolam. Tidak bisa bersih betul memang, namun setidaknya tidak pekat lagi.
Setelah beberapa kali saya kuras, lalu saya isi kembali kolam dengan air yang saya alirkan dari pipa saluran air di depan rumah saya. Pipa saluran air tersebut dialirkan dari mata air yang ada di hutan desa sebelah. Airnya cukup jernih. Dan siang itu airnya cukup hangat. Maklum siang itu memang cukup terik. Setelah kolam terisi air di sepertiganya, ikan-ikan di bak penampungan mulai saya pindahkan kembali ke kolam. Pengisian saya lanjutkan hingga air hampir memenuhi kolam. Jarak air dari bibir kolam hanya sekitar 5 cm saja.
Ikan-ikan koi saya sepertinya cukup riang. Berenang ke sana ke mari, berkejaran. Sekali-sekali meloncat girang. Saya memandanginya dengan hati riang juga. Saya tebarkan pakan sentrat ke dalam kolam agar ikan-ikan koi tersebut bisa makan. Tuntas sudah tugas selingan saya hari ini. Saya bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Sore hari habis asar saya tengok kolam ikan koi saya. Astaga! Saya kaget bukan kepalang, 1 ekor ikan koi sudah tak bergerak, sementara yang 1 ekor lagi sepertinya sedang sekarat. Ikan-ikan yang lain juga napak sedang gelisah. Gerakannya kacau tidak seperti biasanya.
Segera saja saya copot sarung dan baju koko saya. Saya mencebur ke kolam dan menguras kembali air kolam hingga tersisa sedalam mata kaki. Saya berfikir bisa saja air dari saluran pipa tersebut kurang steril atau suhunya terlalu tinggi. Setelah itu saya ganti dengan air sumur. Dan ternyata analisa saya tidak meleset, ikan-ikan tersebut mulai tenang lagi, dan yang sekarat lambat laun juga mulai bangun hingga akhirnya bisa bergerak stabil. Ternyata benar, memelihara ikan koi cukup sulit juga dan butuh perawatan intensif.
Di hari lain.
Sepanjang siang itu aliran listrik padam. Water-pump kolam ikan koi saya sudah pasti tidak menyala. Saya sempat khawatir, matinya water-pump tersebut akan mempengaruhi ikan-ikan koi saya. Pengalaman adik saya jika water-pump mati akan sangat mempengaruhi daya tahan ikan koi. Dan ternyata benar, ikan koi saya ada yang mati lagi. Sempat terlontar perkataan pasrah dari mulut saya, jika memang sudah waktunya mati yang mau bagaimana lagi. Jangankan ikan, manusia saja jika memang sudah waktunya mati ya tetap mati.
Hingga sekarang ikan koi peliharaan saya sudah berumur satu tahun lebih. Ukurannya juga cukup besar. Jika dijual pasti harganya beberapa kali lipat setiap ekornya. Namun perlu Anda tahu, hingga saya menulis pengalaman saya ini, ikan koi yang tersisa di kolam tinggal 3 ekor saja.
Ternyata, eh ternyata ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...