PERJALANAN PALING BERAT DAN MEMILUKAN
Anda pasti banyak sekali melakukan perjalanan. Dalam waktu setahun bisa saja perjalanan yang Anda lakukan mencapai puluhan kali atau bahkan ratusan kali. Tentu banyak sekali cerita yang mengiringi perjalanan yang Anda lakukan tersebut. Jika saja Anda menulisnya, sudah pasti catatan perjalanan Anda itu akan menjadi cerita bersambung yang tidak ada tandingan panjangnya. Bukan hanya akan tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) bahkan akan tercatat dalam Guinnes Book of Record sebagai buku tertebal di dunia mengalahkan buku biografi Bhagwan Shree Swaminarayan yang berjudul “Shree Haricharitramrut Sagar”.
Perlu Anda ketahui bahwa buku yang ditulis dalam bahasa Gujarat oleh Gyanjivandasji Swami dari India ini pada tanggal 2 Februari 2020 lalu tercatat sebagai buku paling tebal di dunia (https://www.viva.co.id/gaya-hidup/inspirasi-unik/1212470-hari-buku-sedunia-5-fakta-soal-buku-paling-tebal-hingga-termahal). Ketebalan buku ini konon mencapai 49.6 cm dengan berat 9,5 kg. Penulisnya membutuhkan waktu 13 tahun 5 bulan 14 hari untuk menyelesaikan penulisan buku ini (https://id.quora.com/Apa-buku-paling-tebal-di-dunia).
Ok, dalam tulisan ini fokus saya sebenarnya bukan pada menulis buku tebal namun lebih kepada “Pernahkah Anda menuliskan kisah tentang perjalanan Anda, baik perjalanan darat, perjalanan laut, maupun perjalanan udara.” Dari sekian perjalanan itu tentunya Anda mengalami banyak peristiwa, baik peristiwa menyenangkan maupun peristiwa menyedihkan, baik yang Anda inginkan maupun yang tidak Anda inginkan.
Kali ini saya ingin bercerita kepada Anda tentang kisah perjalanan paling memberatkan dan paling memilukan yang pernah saya alami. Perjalanan saya ini mestinya menjadi kisah perjalanan yang indah dan happy ending. Namun kisah perjalanan saya ini justru sad ending dan memilukan.
Perjalanan saya ini menggunakan moda transportasi roda dua (motor). Jarak yang saya tempuh sebenarnya juga tidak terlalu jauh, hanya sekitar 75 km, jadi pulang pergi hanya sekitar 150 km. Tentu bukan jarak yang terlalu jauh untuk pencinta touring. Tentu saya tidak berangkat sendiri. Istri dan anak saya ikut serta.
Pagi sekitar jam 07.30 start dari rumah di ujung selatan Trenggalek (dekat pantai Prigi). Kami sengaja tidak membawa banyak bekal untuk memperingan perjalanan. Dengan mengucap “Bismillaahi tawakkaltu ‘alallaahu” ditambah beberapa do’a pendek lain kami berangkat. Sampai di lokasi Kampung Coklat sekitar pukul 09.45 menit. Saya memang memacu motor matic saya standar saja. Jarum penunjuk kecepatan hanya berkisar antara 60-65. Kasihan si kecil jika saya memacu terlalu kencang.
Hingga di sini memang tidak ada yang seru. Perjalanan yang biasa-biasa saja dan sama sekali tidak memilukan kan.
Ok, silahkan bacanya dilanjutkan.
Saya tidak akan menceritakan apa yang kami lakukan dan kami dapat selama di lokasi wisata edukasi Kampung Coklat. Saya sengaja fokus pada kisah perjalanan bukan kisah berwisata.
Cerita pilu itu bermula ketika pulang.
Jam 16.00 tepat setelah shalat Asar kami bersiap pulang. Hujan rintik-rintik mulai turun. Saya tengok ke atas, langit dipenuhi mendung pekat. Saya buka jok motor bermaksud mengambil mantol (jas hujan). Nihil. Ternyata mantol itu tertinggal di rumah.
Cuaca tidak bisa diprediksi, sementara hari semakin sore. Biar bagaimanapun kami harus tetap pulang. Dengan mengucap bismillah dan beberapa do’a pendek, kami beranjak pulang sambil tetap berharap hujan tak jadi turun atau kalau pun toch turun tidak terlalu deras. Baru menempuh 2 km perjalanan pulang, ternyata hujan semakin deras. Saya hentikan laju motor matic saya di sebuah Sekolah Dasar. Saya matikan hp dan saya masukkan ke jok motor untuk langkah pengamanan.
Si kecil di gendongan istri saya terbangun. Istri saya membenahi posisi gendongannya. Saya lirik jam di tangan kiri saya, 16.15 menit. Saya putuskan untuk kembali jalan. Untung saja lalu lintas tidak begitu padat. Namun tantangannya juga cukup berat. Beberapa kendaraan besar berjalan cukup lambat sehingga mau tak mau saya harus berupaya menyalipnya jika tidak ingin kemalaman sampai di rumah.
Saya terus melaju tanpa memperdulikan keadaan saya yang basah kuyup. Hanya satu yang menjadi beban pikiran saya ketika itu, nasib si kecil. Dan ternyata hujan semakin menggila. Saya putuskan untuk meminggirkan motor saya kembali. Kami berhenti di emperan toko yang sedang tidak buka. Semuanya demi si kecil. Oya, saya lupa memberitahu Anda, anak perempuan saya ketika itu baru berusia satu tahun lebih satu minggu. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana kalutnya pikiran saya ketika itu.
Kami berhenti sekitar 10 menit di emperan toko itu. Iring-iringan kendaraan besar yang berhasil saya salip tadi juga sudah lewat. Berarti nanti saya harus adu nyali untuk bisa menyalipnya kembali. Saya lihat keadaan si kecil, dia membuka matanya. Dia baik-baik saja. Alhamdulillah …. –segala puji bagi Allah–
Saya lirik kembali jam di tangan kiri saya, pukul 16.30. Saya tengadahkan kepala, langit terlihat sangat pekat. Sejauh mata memandang ke segala arah hanya awan hitam yang nampak. Kecil sekali harapannya hujan akan segera reda. Seluruh tubuh saya juga sudah basah kuyup. Rasa dingin juga sudah mulai menggerayangi tubuh saya. Keputusan terbaik harus tetap melanjutkan perjalanan.
Setelah saya pastikan si kecil baik-baik saja, sekali lagi dengan mengucap “Bismillahi tawakkaltu ‘alallaah …” –Dengan menyebut nama Allah aku berserah diri kepada Allah– kami kembali melanjutkan perjalanan. Laju motor saya hanya di kisaran 40-50 saja. Hujan deras terus mengguyur kami. Sesekali ditimpahi petir menggelegar. Rasa dingin kini membuat tubuhku bergetar. Kedua telapak tanganku juga sudah mati rasa. Istriku juga pasti kedinginan. Aku bisa pastikan itu dari semakin eratnya pelukannya ke tubuhku. Ya Allah, lindungilah putri kami, berilah kekuatan kepada kami agar perjalanan kami selamat sampai di rumah. “Laa haula wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyil ‘adziim …” –Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Agung– ucapku di sepanjang perjalanan. Barulah di 10 km menjelang garis finis hujan tak turun lagi.
Perjalanan itu terasa begitu lama dan sangat melelahkan. Menjelang azan isak kami sakhirnya sampai di rumah. Tubuhku limbung dan hampir ambruk. Rasa dingin benar-benar sudah sampai ke tulang. Kepalaku juga terasa pusing. Aku berjalan sempoyongan. Istriku cepat-cepat membuka pintu. Aku masuk lalu duduk bersandaran di dinding. Istriku menurunkan si kecil dari gendongannya. Si kecil terbangun lalu merangkak mendekati kakaknya yang menyambut kepulangannya.
“Alhamdulillah … terima kasih ya Allah. Kau telah melindungi Kami. Kau telah menyelamatkan perjalanan kami. Tanpa perlindungan dan pertolonganmu, kami pasti tidak akan kembali ke rumah ini lagi.”
Aku bersujud sambil meneteskan air mata haru.
Inilah kisah perjalananku yang paling berat dan memilukan.
Apa yang ada di benak Anda setelah membaca tuntas cerita saya ini? Ya, barangkali saja Anda akan menyalahkan kecerobohan dan kebodohan saya. Dan itulah yang bisa Anda jadikan pelajaran berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...