MENUNGGU ACTION MENDIKBUDRISTEK
Oleh: Nanang M. Safa
Naskah pidato pertama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Kabinet Indonesia Maju, Nadim Anwar Makarim yang dibacakan pada moment Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 lalu sangat memukau banyak kalangan, terutama para praktisi pendidikan. Naskah pidato tersebut mendapat sanjungan dan pujian luar biasa baik melalui media on line maupun media cetak sebagai sebuah teks pidato yang membumi dan sangat selaras dengan fakta yang dirasakan para guru selama ini. Isinya memang menggetarkan dan melambungkan impian para guru. Impian yang sudah berpuluh tahun menjadi beban berat yang terus menggelayuti punggung para guru, yakni beban administrasi. Beban itu semakin terasa ketika tiba akhir semester.
Pada akhir semester, para guru harus ditumpuki seabrek pekerjaan, mulai dari rekap nilai peserta didik dan mengerjakan rapor, yang sekarang menggunakan Aplikasi Raport Digital (ARD). Juga beban untuk mengerjakan berbagai laporan yang kebanyakan hanyalah sebagai rutinitas, seperti Penilaian Kinerja Guru (PKG), Laporan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang katanya menjadi syarat mendapatkan Angka Kredit (AK) dalam jabatan. Setelah itu disusul penyusunan perangkat pembelajaran mulai dari penghitungan pekan efektif dalam satu tahun, Program Tahunan (Prota), Program Semester (Promes), Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Deretan pekerjaan ini sungguh membuat para guru stress. Akhir semester yang mestinya bisa digunakan untuk refreshing dan berlibur bersama keluarga akhirnya habis tersita untuk menyelesaikan semua beban pekerjaan yang menggunung itu. Belum lagi tambahan tugas yang mau tidak mau harus juga diselesaikan, semisal tugas dalam berbagai kepanitiaan dan pembinaan. Sungguh sangat luar biasa sibuknya para guru kita.
Guru Juga Manusia
Para guru yang setiap hari berbaur dengan peserta didik dengan beragam karakter sungguh sangat melelahkan, baik secara fisik maupun psikis. Di lain sisi, para guru sedikit sekali memiliki waktu untuk berolahraga sekedarnya karena waktunya tersita untuk mengajar dan melaksanakan tugas-tugas tambahan lain.
Guru juga wajib menerima (tidak boleh menolak) tugas apapun yang diberikan atasan (Kepala Sekolah) dalam kondisi apapun, sebab jika menolak maka ancamannya adalah Penilaian Kinerja Buruk dari atasan bahkan ada yang diancam akan dimutasi. Sungguh ancaman yang sangat menakutkan bagi guru.
Sebenarnya para guru tidak menuntut banyak dari pemerintah sebab biar bagaimanapun ketika seseorang sudah siap mengemban tugas sebagai guru maka apapun yang terjadi dia tidak boleh mengeluh. Namun demikian, beban dan tanggung jawab guru ternyata memang sungguh tak terbayangkan. Orang di luar guru mungkin hanya melihat guru itu pekerjaannya mengajar, selesai. Mereka sama sekali tidak membayangkan tugas tambahan di luar mengajar yang sangat banyak hingga tak jarang pekerjaan itu harus dibawa pulang. Mereka melihat guru era tahun 80-an yang begitu santai. Memang kita tidak bisa menengok lagi ke belakang, sebab zamannya memang sudah berbeda. Kesejahteraan para guru dulu dan sekarang juga sudah jauh berbeda. Maka tugas dan tanggung jawabnya juga tentu berbeda. Namun biar bagaimanapun guru juga manusia (mengadopsi judul lagunya Seurieus Band: Rocker Juga Manusia). Guru juga butuh istirahat, butuh berlibur, butuh refreshing, dan butuh santai. Dalam kesehariannya saja, para guru seakan-akan tidak boleh sakit, sebab jika hari masuknya kurang dari hitungan 24 hari/bulan, maka ancamannya Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak cair. Maka dengan kesehatan yang dipaksakan, banyak guru yang berusaha tetap masuk kerja (mengajar) agar TPP-nya tetap bisa cair.
Guru Butuh Kepastian
Pada bagian akhir pidatonya, Mendikbudristek Nadim Makarim menegaskan bahwa perubahan itu harus dimulai dari bawah, artinya perubahan itu harus guru sendiri yang memulai. Isi pidato ini dalam ranah pembelajaran dan pendidikan sebenarnya sudah dilakukan banyak guru. Para guru menyadari betul dengan tugasnya sebagai pengemban pendidikan yang diserahi amanah mencerdaskan para generasi bangsa. Banyak guru yang melakukan penelitian biarpun hanya dalam lingkup Penelitian Tindakan Kelas (PTK), banyak guru yang melakukan publikasi ilmiah biarpun hanya dalam lingkup lembaga dan dipublikasikan di perpustakaan sekolah, juga banyak guru yang melakukan inovasi pembelajaran biarpun tidak diikutkan dalam perlombaan.
Namun pidato Mendikbudristek ini rasanya sangat tidak mungkin untuk dilakukan dalam ranah administrasi. Guru berada di bawah pantauan Kepala Sekolah, dan seterusnya ke atas hingga ke Mendikbudristek. Kebijakan apapun yang berasal dari atas maka harus tetap dilaksanakan. Sebaliknya inisiatif apapun yang berasal dari bawah (berkaitan dengan beban administrasi) maka tidak akan dapat dilaksanakan oleh guru karena tidak memiliki landasan legal formal. Maka jika Mendikbudristek memang memiliki iktikad baik untuk membuat guru-guru kita lebih “manusiawi” hendaknya segera mengeluarkan aturan legal formal yang bisa menaungi para guru.
Sudah terlalu lama guru berada dalam kungkungan beban administrasi yang memenjarakan. Sudah terlalu lama guru bermimpi tentang indahnya menjadi guru. Sudah terlalu lama guru berangan-angan bisa berakrab dengan para peserta didiknya, berolah raga bersama, membaca bersama, dan bercengkerama dalam suasana yang nyaman tanpa harus merasa kehilangan waktu, tanpa harus diliputi kekhawatiran tidak bisa menyelesaikan tugas administrasi yang menumpuk. Intinya guru butuh kepastian, bukan sekedar retorika yang indah dan mendayu-dayu. Tentu Mendikbudristek sudah banyak sekali mendengar keluhan dari para guru, juga masukan dari para pemerhati pendidikan. Lalu sampai kapan lagi kami para guru harus menunggu actionmu Pak Nadim?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...