TIDAK PERLU MENJADI PENULIS BERBAKAT
TAPI JADILAH PENULIS NEKAD
Oleh: Nanang M. Safa'
Kita sering mendengar teman kita menyatakan “Ah, saya tidak berbakat”, atau justru kita sendiri yang mengatakan kalimat seperti itu. Adakah yang salah dengan pernyataan ini? Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu marilah kita cermati pendapat beberapa ahli tentang apakah sebenarnya yang dimaksud bakat.
William B. Michael seperti dikutip Suryabrata menjelaskan, bakat adalah kapasitas seseorang dalam melakukan tugasnya dari pengaruh latihan yang dijalaninya. Sedangkan Utami Munandar menyatakan, bakat adalah kemampuan bawaan sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Selaras dengan pendapat Utami ini, Sarwono mengungkapkan, bakat adalah kondisi dalam diri seseorang yang memungkinkannya mencapai kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus melalui suatu latihan khusus (www.gurupendidikan.co.id).
Kita bisa menggarisbawahi dari beberapa pendapat tersebut bahwa bakat merupakan kemampuan dasar yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan secara intensif agar dapat berkembang maksimal. Bakat jika dibiarkan mengendap hanya akan menjadi potensi tanpa arti. Dengan demikian bakat hanya akan memberikan manfaat bagi orang-orang yang menyadari bahwa dia berbakat. Bakat hanya akan memberikan manfaat besar bagi orang-orang yang memiliki minat atau tekad yang kuat.
Dengan demikian jelas sudah bahwa tekad lebih besar peranannya dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam mewujudkan keinginan dan meraih cita-citanya dibandingkan bakat. Seseorang yang berbakat tapi tidak memiliki tekad yang kuat maka ketika terjadi kegagalan satu kali saja bisa jadi akan menyerah dan putus asa. Sedangkan orang yang bakatnya biasa-biasa saja namun memiliki tekad yang kuat, kemungkinan besar akan berhasil mewujudkan keinginan dan cita-citanya. Orang seperti ini sudah pasti memiliki jiwa pantang menyerah dan akan berusaha bangkit dan mencoba kembali peruntungannya. Baginya “Banyak jalan menuju Roma” merupakan rumus keberhasilannya. Satu cara gagal dia akan berusaha mencari cara lain untuk tidak gagal lagi. Inilah yang akan membuat dia pada akhirnya berhasil.
Tidak Berbakat Menjadi Penulis?
Setelah menyimak uraian di atas tentu sekarang terjawab sudah pertanyaan pada pembuka tulisan ini. Pada dasarnya setiap orang memiliki bakat terpendam untuk menjadi penulis, sebagaimana setiap orang memiliki bakat untuk menjadi pedagang, petani, dan lainnya. Namun kadar bakat masing-masing orang tentu berbeda. Kadar bakat ini baru akan dapat diketahui ketika kita sudah melakukan latihan secara intensif. Seseorang yang buru-buru mengatakan “Saya tidak berbakat” ketika baru saja memulai apalagi sama sekali belum mencoba, tentu pernyataannya ini sama sekali tidak berdasar. Bolehlah kiranya seseorang mengatakan “Saya tidak berbakat” atau yang paling tepat “Saya kurang berbakat” ketika dia sudah mencoba dan mencoba namun hasilnya tetap saja jauh dari harapan. Namun sebenarnya argumen inipun masih bisa dibantah, sebab kemungkinan bisa saja dia belum menemukan formulasi yang pas dengan karakternya. Barangkali saja jika dia menemukan format yang tepat, bakatnya bisa berkembang maksimal.
Banyak orang yang suka menhalahkan bakat ketika dia gagal melakukan sesuatu. Pernyataan seperti di atas termasuk dalam kategori ini. Bakat sering dijadikan sasaran pengkambinghitaman terhadap kegagalan padahal memulai saja belum. Jadi siapa bilang Anda tidak berbakat menjadi penulis? Jangan membohongi diri sendiri.
Modal Menjadi Penulis Nekad
Menjadi penulis nekad? Anda mungkin merasa heran dengan sub judul ini. Seperti yang sudah saya paparkan di atas bahwa setiap orang (saya, anda, mereka dan siapapun) memiliki bakat untuk menjadi seorang penulis. Maka dari itu sudah saatnya menjadi penulis nekad. Namun demikian untuk menjadi penulis nekadpun tetap saja butuh bekal. Bekal untuk menjadi penulis nekad itu saya mengemasnya menjadi 3G atau 4G –lo kok seperti istilah standar komunikasi mobile?-. 3G untuk penulis non fiksi (artikel dan semacamnya), sedangkan 4G untuk bekal penulis fiksi (cerpen, novel, dan semacamnya). Singkatan ini saya kemas dengan bahasa Jawa. 3G (Gelem, Golek, Glubud), sedangkan 4G (Gelem, Golek, Glubud, Gombal).
“Gelem” dalam bahasa Indonesia adalah “Mau”. Jika kita ingin menjadi penulis maka bekal pertamanya adalah kemauan. Kemauan itu harus kita buktikan dalam tindakan nyata yakni mau menulis. “Golek” artinya “Mencari”. Ketika kita sudah memiliki kemauan menulis maka selanjutnya kita harus mencari atau berburu ide yang akan kita kembangkan dalam sebuah tulisan. Ide itu bisa dicari dengan cara membaca, merenung (bukan melamun lo), mendengarkan, mengamati, berdiskusi, atau yang lainnya. “Glubud” bisa diartikan percaya diri (pede) alias tidak terbelenggu rasa malu. Malu yang dimaksud di sini adalah malu berbau negatif semisal malu karya tulis kita dianggap jelek, tidak bermutu, tidak menarik, tidak layak dibaca, tidak penting, dan semacamnya. Semua rasa malu dalam konteks ini adalah rasa malu yang mencelakakan. Rasa malu model ini harus kita buang jauh-jauh dari diri kita jika kita ingin menjadi penulis. Nah, khusus untuk penulis fiksi, ada G yang keempat yakni “Gombal”. Maaf, bukan berarti saya menganggap bahwa tulisan fiksi itu tulisan berbau gombal. Namun bekal “Gombal” ini hanya untuk memperingan ingatan kita tentang bekal menjadi seorang penulis fiksi.
Gombal yang saya maksud di sini adalah bahwa tulisan fiksi itu ada kalanya (baca: kebanyakan) hasil rekaan penulis. Biarpun ide dasarnya didapat dari kejadian nyata, namun dalam sebuah fiksi (cerpen, novel atau yang sejenisnya) tentu sudah dibumbui dan diolah oleh penulisnya dengan ungkapan-ungkapan, alur, latar serta tokoh berbau gombal (hasil rekaan) agar terasa lebih nikmat dibaca dan bisa membawa pembacanya merasa keenakan sehingga tidak sadar sedang digombalin. Maka jika Anda pandai menggombal, itu akan menjadi salah satu modal penting untuk bisa menjadi seorang penulis fiksi yang handal.
Modal Menjadi Penulis Berkualitas
Selain modal 3G dan 4G di atas, mau tidak mau jika ingin serius menjadi seorang penulis tentu masih harus membekali diri dengan modal yang lain. Rita Wati, S.Kom (nara sumber pada “Pelatihan Belajar Menulis Gelombang 17”) memaparkan point-point penting yang harus diperhatikan dan dikuasai seorang penulis agar dapat melahirkan tulisan-tulisan berkualitas.
Setidaknya ada 7 point penting yang harus diperhatikan, dicermati dan dikuasai betul oleh seorang penulis. 7 point penting tersebut adalah penggunaan huruf kapital yang tidak tepat, penulisan paragraf yang terlalu panjang, penggunaan kata-kata baku, penggunaan tanda baca, penggunaan kata yang tidak efektif atau penghamburan kata, penggunaan istilah asing yang tidak tepat serta penggunaan kata depan dengan awalan yang tidak sesuai ketentuan.
Mengingat seringnya terjadi kesalahan pada 7 point di atas maka mau tidak mau seorang penulis yang ingin menghasilkan tulisan-tulisan berkualitas harus mau mempelajari dan menguasai tata aturan penulisan yang benar. Sumber dari aturan ini ada di Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang sekarang dirubah namanya menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Perubahan ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendekbud) RI Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (https://tentor.co.id). Selain itu seorang penulis juga harus sering update (memperbaharui) pengetahuan tentang dunia kepenulisan serta upgrade (meningkatkan) penguasaan berbahasanya.
Naah, sudah siapkah menjadi penulis berkualitas?
Mantaaap ini..lanjutkan jd oenulis berkualitas
BalasHapusMantul pak Nanang,good job,jos gandos,im agree
BalasHapusIM agree ,good job,jos gandos ust Nanang
BalasHapussiip
BalasHapusMasyaAlloh Bp....luar biasa .. saya perlu sering berkunjung ke bp.....terimakasih Pak Nanang
BalasHapusArtikel yang sangat menarik Pak
BalasHapusBoleh juga nih 3G dan 4G nyaa...
BalasHapussaya baru tau ada kata Glubud.... heheheh
Terimakasih tulisannya, keerenn cihuuy
Siap belajar, Pak Admin. Terima kasih sarannya.
BalasHapusBagus pak tulisannya
BalasHapusMantap pak. Menginspirasi 3G dan 4G nya. Salam kenal.
BalasHapusTerima kasih kepada semua pembaca atas komentarnya, semakin menambah semangat saya untuk terus berbagi. Mari terus sebarkan virus literasi di segala lini...
BalasHapusLuar biasa bapak. Super sekali
BalasHapus