SUDAHKAH ANDA MENCINTAI LITERASI?
Oleh: Nanang M. Safa'
Seorang guru harus mampu menjadi penggerak literasi, minimal di sekolahnya masing-masing. Literasi berkaitan erat dengan dunia membaca dan menulis. Sungguh aneh dan lucu bila ada guru yang tidak respect terhadap gerakan literasi. Guru adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan. Maka menjadi suatu keniscayaan (baca: kewajiban) bagi seorang guru untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Apalagi bagi seorang muslim yang meyakini bahwa menyebarkan atau mengajarkan ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara untuk mengabadikan pahala. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda bahwa salah satu bentuk pahala yang akan tetap bisa mengalir biarpun manusia yang menanam benihnya telah meninggal dunia adalah pahala ilmu yang bermanfaat. Nah, salah satu indikasi ilmu yang bermanfaat itu tentunya jika ilmu itu bisa terus bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Salah satu cara untuk bisa mengabadikan ilmu pengetahuan adalah dengan menulisnya dan menyebarkannya kepada kalayak.
Dalam suatu sekolah pasti terdapat banyak subyek (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, murid dan wali murid). Coba bayangkan, berapa pahala yang akan kita dapat ketika satu tulisan kita dibaca oleh sekian subyek di sekolah kita saja. Apalagi jika kita bisa menyebarluaskannya melalui media massa cetak maupun media sosial. Bayangkan, berapa banyak paket pahala yang akan kita terima di alam barzah nanti. Wallahu a’lam...
Bukanlah suatu hal yang sulit di era digital sekarang ini untuk bisa memublikasikan karya tulis kita. Hanya dengan membuat blog gratisan saja kita bisa menjangkau dunia. Tulisan-tulisan kita dalam hitungan menit akan bisa diakses oleh seluruh manusia di belahan bumi manapun. Nah, di sinilah salah satu manfaat positif yang nyata atas keberadaan internet.
Maksimalkan Gerakan Literasi Sekolah
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) –di lingkup Kementerian Agama disebut Gerakan Literasi Madrasah (GLM)– mulai dikampanyekan pada tahun 2015. Gerakan literasi sekolah merupakan salah satu bentuk kesadaran pemerintah akan pentingnya membangun budaya literasi dalam dunia pendidikan supaya tercipta budaya membaca dan menulis di lingkungan sekolah sebagai upaya terwujudnya long life education. Program ini dicanangkan dalam rangka menginisiasi Permendikbud No. 23 Tahun 2015 mengenai penumbuhan budi pekerti. (https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Literasi_Sekolah). GLS digalakkan untuk menggunggah warga sekolah agar punya greget terhadap kegiatan literasi di sekolahnya masing-masing.
Sebelum digulirkannya GLS, kegiatan literasi hanya dianggap sebagai kegiatan sampingan yang dilakukan seperlunya. Sangat jarang sekolah yang menjadikan literasi sebagai bagian dari program unggulan. Lebih ironis lagi, ada kepala sekolah yang menganggap literasi itu tidak penting dan tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap kemajuan sekolah yang dipimpinnya. Berkat adanya program GLS itulah akhirnya setahap demi setahap, dari tahun ke tahun geliat literasi di sekolah-sekolah mulai mengalami perkembangan menggembirakan.
Tantangan dalam menggiatkan literasi di sekolah tentu selalu ada. Apalagi untuk urusan menulis. Di madrasah tempat penulis mengabdi (MTsN 4 Trenggalek) ada majalah sekolah yang terbit secara berkala. Majalah sekolah tersebut bernama “Sketsa (Media Informasi dan Komunikasi MTsN 4 Trenggalek)”. Alhamdulillah, majalah sekolah kami sudah mengantongi ijin dan pengakuan dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) dengan diterbitkannya nomor Internasional Standard Serial Number (ISSN), dengan nomor ISSN: 2581-2068.
Penulis masih ingat betul bagaimana sulitnya memperjuangkan terbitnya majalah Sketsa. Proposal yang kami ajukan harus melewati perjalanan panjang dan melelahkan. Setelah Sketsa bisa terbit, ternyata masih butuh energi ekstra untuk bisa mempertahankannya agar bisa terbit secara rutin setiap 6 bulan sekali. Banyak sekali kendala yang kami hadapi selaku Tim Redaksi dalam mengelola majalah Sketsa. Namun dari sekian banyak kendala tersebut, kelangkaan karya menjadi kendala paling utama. Kami sebagai Tim Redaksi harus ekstra sabar dan telaten memotivasi siswa juga guru untuk terus berkarya baik dalam bentuk cerpen, puisi, gambar dan kaligrafi maupun artikel mini. Hal ini menjadi bukti bahwa jiwa literasi di sekolah memang masih tergolong rendah.
Bambang Purwanto yang akrab dipanggil Mr. Bams, seorang penggiat literasi di kota Bandung, dalam paparannya ketika menjadi nara sumber pada Pelatihan Belajar Menulis yang berjudul “Menebarkan Semangat Hobi Menulis untuk Gerakan Literasi Sekolah” menyampaikan bahwa untuk dapat membangkitkan minat literasi di sekolah dibutuhkan orang-orang yang ikhlas dan konsisten karena literasi bukanlah ladang untuk mengais rezeki melainkan kegiatan untuk mengabdi dan mendedikasikan ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Jadikan Menulis sebagai Hobi
Hobi adalah sesuatu yang bisa membuat kita happy. Ketika kita melakukan sesuatu karena hobi sudah pasti kita akan melakukannya tanpa dipaksa atau merasa terpaksa. Waktu berapapun yang kita habiskan tentu tak akan membuat kita merasa bosan. Sebanyak apapun pekerjaan yang harus kita selesaikan, tak akan membuat kita melupakan hobi. Berapapun uang yang bakal kita habiskan, tetap saja kita bisa menyisihkan anggaran. Dan apapun yang orang lain katakan tentang hobi kita tersebut, kita akan menganggapnya angin lalu dan sama sekali tidak membuat kita galau. Itulah istimewanya hobi. Di balik hobi ada cinta. Cinta terhadap sesuatu yang telah memberikan keasyikan dan kebahagiaan.
Menulis adalah suatu pekerjaan yang menuntut kecintaan. Jika saja menulis bisa dijadikan hobi maka sudah tentu tanpa disuruhpun kita akan menulis, setiap hari. Sesibuk apapun hari-hari yang kita lalui, tetap saja kita akan berusaha meluangkan waktu untuk menulis. Seperti orang yang sedang jatuh cinta, sehari saja tidak menulis, maka rasa rindu kita seakan belum terbayarkan. Dan ketika kita bisa menyelesaikan sebuah karya tulis maka rasa bahagia itu akan kita dapatkan. Tak dapat diceritakan hanya bisa dirasakan.
Saya yakin, Anda pernah merasakan jatuh cinta. Tidak harus pada pandangan pertama namun bisa saja karena kebiasaan. Bukankah pepatah Jawa mengatakan “Witing trisno jalaran saka kulina” (pohon cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa). Maka jika Anda tidak bisa jatuh cinta terhadap dunia literasi karena pandangan pertama –bisa saja Anda justru membenci literasi ketika pertama kali mendengarnya khan– setidaknya Anda bisa jatuh cinta karena terbiasa. Mulai biasakanlah untuk membaca. Mulai biasakanlah untuk walking blog (bertandang ke blog orang lain). Mulai biasakanlah untuk menulis, seremeh apapun tulisan kita namun usahakan untuk menulis sesuatu yang mengandung manfaat. Dari sinilah Anda akan dapat merasakan jatuh cinta pada dunia literasi. Dan pada saatnya nanti Anda akan merasakan kebahagiaan yang tak pernah Anda bayangkan sebelumnya.
Sudahkah Anda mencintai literasi? Ayo buktikan!
Sudah belum yah pak? Semoga aja sudah hehe
BalasHapusmantap, semangat berkarya, semangat menginspirasi
BalasHapusMantap bos,... Mencintai dulu terus berkarya, salam sehat..terus berkarya
BalasHapussaya suka tulisan babeh yang satu ini..top markotoooop......ilalang siap tandang mantaaap
BalasHapusMantap sekali ,jelas suka dong , membaca sambil belajar
BalasHapus