MENULIS BUKU?
MEREKA BISA, SAYA BISA, ANDAPUN BISA
Oleh: Nanang M. Safa'
"Kalau kau bukan anak raja, dan kau bukan anak seorang ulama besar, maka jadilah penulis" (https://www.kompasiana.com). Kalimat ini sudah begitu populer dan telah menginspirasi banyak orang untuk bersemangat menulis. Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat penyemangat dari orang-orang besar dan orang-orang terkenal tentang menulis.
Seringkali pertanyaan pertama yang muncul ketika kita diminta untuk menulis adalah “Apakah yang harus saya tulis?”. Sebenarnya kalau kita mau jujur, pertanyaan ini tak lain hanyalah sebagai bentuk ungkapan keengganan kita untuk menulis. Bukan ungkapan ketidakmampuan kita untuk menulis. Anda sebenarnya bisa menulis namun karena enggan akhirnya Anda berlindung di balik pertanyaan tersebut. Ada pertanyaan yang satu level lebih cerdas yakni “Bagaimanakah caranya menulis?” Dan jawaban dari pertanyaan inipun hampir sama seperti rumus matematika di mana 1 + 1 = 2, yakni “Tulis saja dengan cara Anda sendiri”. Baru setelah nanti Anda ingin menyajikan tulisan Anda itu kepada orang lain, maka barulah Anda menulis sesuai kaidah. Pertanyaan level berikutnya adalah “Tulisan yang bagaimanakah yang layak untuk disajikan kepada orang lain?” Sampai pada pertanyaan ini, sudah pasti akan memunculkan beragam jawaban. Beda kepala beda jawaban, dan itu sah-sah saja. Namun setidaknya kita bisa mengungkapkan argumen dari jawaban kita, misalnya dengan menjawab “Ya tulisan yang bermanfaat”. Silahkan Anda lanjutkan sendiri ke level pertanyaan berikutnya sesuai selera Anda.
Bagi banyak penulis, yang sulit dilakukan bukan lagi tentang apa yang akan mereka tulis, bukan juga tentang bagaimana mereka harus menulisnya, namun lebih kepada “Kapan saya akan menulisnya?”. Kedengarannya sepele, namun ternyata ini merupakan pertanyaan level tertinggi bagi banyak penulis. Rasanya waktu 24 jam yang diberikan Allah SWT kepada mereka sudah terasa begitu sempit sehingga untuk menuliskan ide yang membanjir di kepalanya merasa kekurangan waktu. Bagi mereka manajemen waktu di antara rutinitas, tugas, dan kegiatan menulis menjadi begitu rumit. Maka tak usah heran ketika mendengar ungkapan para penulis senior tentang tidurpun berteman laptop atau makanpun bersama laptop.
Butuh Komitmen
Menulis memang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan (skill). Menulis juga pasti membutuhkan bekal, bekal teknis maupun non teknis. Kedua-duanya penting jika kita benar-benar ingin menjadi penulis berkualitas. Namun jika boleh saya katakan, di antara kedua bekal itu (teknis dan non teknis) justru bekal non teknislah yang sangat menentukan. Bekal non teknis yang saya maksudkan termasuk semangat dan kesungguhan untuk menulis. Nah, inilah kiranya yang menjadi modal utama untuk bisa menjadi seorang penulis.
Menulis itu butuh komitmen. Dalam tahapan ketika kita masih mulai menyenangi dunia menulis mungkin semangat kita masih menggebu-nggebu sehingga komitmen itu bukan hal yang sulit. Satu hari dua hari, satu bulan dua bulan, mungkin masih bisa bertahan. Namun sampai kapan Anda mampu bertahan pada komitmen Anda tersebut?
Kesibukan semakin hari semakin bertambah. Ada saja yang harus kita kerjakan dan kita selesaikan, baik yang menjadi rutinitas maupun yang bersifat insidentil. Nah, di sinilah baru akan kita rasakan betapa sulitnya bertahan pada komitmen kita untuk menulis. Satu hari dua hari masih bisa dimaklumi. Satu minggu dua minggu, juga masih bisa ditoleransi. Namun hati-hati, jika sudah sekian bulan kita abaikan begitu saja ide yang muncul di kepala kita, kita acuhkan keyboard laptop kita, dan kita merasa biasa-biasa saja maka bisa jadi ini pertanda buruk bahwa kita sudah mulai melupakan komitmen kita untuk menulis. Komitmen merupakan pegangan kita dalam menulis. Selama kita masih berpegang pada komitmen kita untuk terus menulis maka pasti kita akan bisa menjadi penulis. Sangat wajar jika kita mengalami pasang surut dalam perjalanan kepenulisan kita. Hal inipun juga dialami oleh hampir semua penulis, termasuk penulis senior sekalipun. Namun bedanya, mereka segera menyadarinya dan kembali kepada komitmen awal untuk tetap menulis dan menulis.
Tumpukan Ide
Jika kita masih sering merasa kesulitan mendapatkan ide untuk bisa dijadikan sebuah tulisan, sebenarnya bukanlah demikian yang sedang kita rasakan. Melainkan kepala kita sedang dipenuhi oleh ide. Maka saking banyaknya ide yang ada di dalam kepala kita itu, membuat kita merasa kebingungan ide mana yang pertama kali ingin kita tuangkan dalam tuliskan.
Menulis itu awalnya memang akan terasa sulit, bahkan mau memulai saja sudah bingung. Ada saja yang menjadi batu sandungan ketika kita ingin menulis. Kekosongan ide, kehabisan kata-kata, bingung harus mulai dari mana, tulisan tidak nyambung, tidak runtut dan seterusnya. Itu semua sudah menjadi permasalahan dari dulu sampai sekarang khususnya bagi para penulis pemula. Lantas apa yang harus dilakukan? Jawabannya hanya satu, harus tetap fokus untuk menulis, jangan sampai berhenti menulis. Berhenti menulis sama dengan menyerah sebelum bertanding. Dan ketika sudah menyerah maka selanjutnya sudah pasti kita akan gagal, selamanya. Akhirnya hanya tinggal menunggu satu kata akhir “menyesal” di kemudian hari.
Memang berat di awal. Tapi yakinlah akan terasa ringan setelah beberapa langkah kita tempuh. Bahkan lama-lama tidak akan terasa lagi membebani. Tulisan kita akan terasa mengalir seperti air, dari hulu menuju ke hilir. Kita akan dapat menghasilkan karya tulis berkualitas dan bermanfaat bagi banyak orang. Jika kita sudah bisa sampai pada tahap ini barulah kita akan bisa tersenyum dan merasakan manisnya buah perjuangan kita tempo dulu.
Masih Suka Berdalih Sibuk?
Seringkali kita menjadikan kesibukan sebagai ketidaksungguhan kita untuk menulis. Jika kita mau sedikit jujur, mestinya kita akan merasa malu mengatakan hal itu. seberapa sibukkah kita jika dibandingkan dengan Gus Dur dan Kuntowijoyo. Padahal tanpa kita sadari waktu senggang kita di sela-sela kesibukan hanya kita habiskan untuk mengobrolkan hal-hal yang tidak ada ujung pangkalnya. Jika kita seorang guru misalnya, bisa saja di sela-sela jam mengajar kita sempatkan waktu untuk menulis satu kalimat hingga satu paragraf. Jika saja kita bisa memaksimalkan waktu “receh” seperti ini, maka kita akan bisa menghasilkan lusinan karya tulis yang akan membuat waktu kita lebih bermakna.
Nah, sepertinya kita harus mulai membangun kesadaran dalam diri kita bahwa sesibuk apapun, kita masih punya cukup waktu untuk menulis. Marilah kita rubah mindset dalam otak kita untuk tidak menjadikan rutinitas keseharian kita sebagai dalih untuk tidak menulis. Marilah kita motivasi diri kita untuk bisa menghasilkan karya tulis. Menulis tidak akan menganggu rutinitas keseharian kita. Menulis tidak akan mengurangi keasyikan kita dalam menikmati waktu istirahat. Menulis juga tidak akan mengurangi kehappyan kita bercengkerama bersama keluarga. Justru dengan menulis semua rutinitas keseharian, keasyikan dan kehappyan itu akan terabadikan dalam tulisan. Kita tinggal mengolahnya sesuai dengan selera kita. Mau dikemas menjadi artikel, tips dan trik, cerpen, puisi atau yang lainnya, semua tinggal meracik bumbunya agar terasa lezat ketika dihidangkan. Dan tibalah saatnya kini Anda menjadi penulis buku.
Harus Ada Deadline
Level menulis paling tinggi adalah menulis buku. Dalam menulis buku perlu ditetapkan deadline, sebab jika tidak ada deadline bisa jadi buku yang direncakan tidak akan pernah terbit. Deadline merupakan waktu yang ditargetkan untuk bisa menyelesaikan penulisan buku.
Noralia Purwa Yunita (Nara Sumber hari ke-tujuh pada “Pelatihan Belajar Menulis PGRI”) memberikan trik agar dapat menghasilkan buku dalam waktu singkat, sebagai berikut:
1. Ikutilah program menulis antologi atau kolaborasi. Menulis antologi atau kolaborasi tidak menuntut menulis terlalu banyak bab untuk dijadikan sebuah buku. Bisa saja satu penulis hanya dituntut menyelesaikan satu buah tullisan sepanjang kurang lebih 1500 kata saja.
2. Menulislah setiap hari di blog. Setelah tulisan kita di blog cukup banyak, kita tinggal memilah dan memilih tulisan setema untuk kita bukukan.
3. Maksimalkan hobi menulis di media sosial. Hobi menulis di medsos bisa diarahkan untuk menulis sesuatu yang lebih bermakna dan lebih bermanfaat. Menulislah secara konsisten dan jangan asal menulis. Mengingat keterbatasan ruang di medsos maka akan lebih baik jika tulisan kita di medsos tersebut kita uraikan lebih lengkap di blog. Nah, jika tulisan tersebut sudah cukup banyak kita bisa menjadikannya sebuah buku.
4. Menulis di buku harian (diary). Diary merupakan teman curhat yang paling setia dan bisa dipercaya. Cerita kita ketika sedang sedih, happy atau apapun, bisa kita tuangkan ke dalam diary. Curhatan kita itu kemudian kita ubah menjadi puisi, fiksi atau bisa juga dalam bentuk biografi. Setelah dirasa cukup kita tinggal mencetaknya menjadi sebuah buku keren yang aduhai.
5. Bagi seorang guru bisa saja mengajak siswa untuk berkolaborasi. Ajaklah siswa kita untuk menulis. Agar lebih sungguh-sungguh, karya itu bisa dijadikan tugas misalnya tugas menulis cerpen atau puisi dengan tema tertentu. Kemudian kumpulan karya siswa tersebut kita seleksi. Tulisan-tulisan yang bagus bisa kita jadikan satu untuk diterbitkan menjadi sebuah buku juga. Cara ini akan memberikan manfaat ganda baik bagi Anda sebagai guru maupun bagi siswa sebagai penulisnya. Pasti siswa kita akan merasa bangga ketika karya mereka terabadikan dalam sebuah buku. Ini bisa menjadi motivasi dahsyat untuk melahirkan penulis-penulis hebat.
Buku adalah bukti sejarah jejak pemikiran kita semasa hidup. Buku adalah warisan berharga kepada anak cucu kita yang tidak akan pernah habis ditelan masa. Buku adalah saksi yang dapat menceritakan segala peristiwa pada masanya. Minimal buku yang kita tulis akan menjadi kenangan bagi anak cucu kita bahwa eyang mereka ternyata adalah seorang penulis. Dan pasti mereka akan merasa bangga memiliki eyang yang meninggalkan warisan sangat berharga itu kepada mereka. Buku adalah pengikat ilmu pengetahuan. Buku adalah jendela dunia. Buku adalah cermin tentang cara berfikir, cara pandang, dan cara seseorang dalam menyikapi kehidupan. Seorang penulis buku tidak diragukan lagi adalah seorang intelek. Menulis (apalagi menulis buku) membutuhkan skill atau keterampilan tersendiri. Banyak orang yang pandai bicara tapi ketika diminta untuk menulis jadi diam seribu bahasa. Namun sebaliknya kebanyakan orang yang bisa menulis dengan sendirinya bisa bicara, sebab lewat tulisan-tulisannya itupun sebenarnya dia sudah bicara.
Bukan saatnya lagi bagi Anda untuk tetap diam di tempat. Ambil bagian Anda untuk ikut menularkan virus literasi. Ayo! Mulailah menulis buku. Bunuhlah ketakutan Anda tentang sulitnya menulis buku. MEREKA BISA, SAYA BISA, ANDAPUN PASTI BISA!
Mantaaap...semangat menulis..semangat menginspirasi.
BalasHapusWaaah keren bnget, menginspirasi sekali. Rapih dan indah dipandang tulisannya. Good Job deh
BalasHapusSangat menginspirasi betul tulisannya bung, jadi semangat lagi nih kayak pak Nanang keren2
BalasHapusSemoga yg membaca tulisan p. Nanang akan terinspirasi dan bisa mengikuti jejaknya
BalasHapus