S E M B O N Y O
Cerpen: Nanang M. Safa'
“Upacara Sembonyo harus segera diselenggarakan. Murka Kanjeng Ratu Kidul harus segera direda!” Begitu sebagian orang bilang.
Sebagian yang lain menentang habis-habisan. “Alasan itu mengada-ada! Masyarakat tidak boleh diracuni dengan tahayul!”
Rembug hampir deadlock.
“Memang harus segera diadakan biar tidak lagi jatuh korban yang dikersakke Kanjeng Ratu Kidul. Ini sudah sangat terlambat. Bulannya sudah lewat. Makanya Kanjeng Ratu Kidul murka!” komentar seseorang berkulit legam, berbadan kekar bersemangat.
“Alaaah… dasar otak tahayul!” yang lain menimpali.
“Alasan itu bersifat pribadi. Tidak perlu diperdebatkan!” begitu Bapak Camat menengahi, “Beda pendapat boleh-boleh saja, yang pasti budaya harus dilestarikan. Terserah apa menyebutnya; labuh laut, sedekah laut, sembonyo atau apa sajalah.”
Akhirnya dicapai kata sepakat. Upacara labuh laut atau lebih popular orang-orang kampung nelayan menyebutnya Sembonyo itu akan diadakan bulan depan, tepat hari Minggu.
Pemerintah daerah jelas sangat diuntungkan dengan dipilihnya hari libur itu. Pemasukan yang didapat dari penjualan tiket masuk lokasi wisata akan berlipat ganda. Bagi sebagian pengunjung, selain dapat menikmati liburan, juga sekalian ngalap berkah dari prosesi ritual ini. Begitulah arti Sembonyo yang rutin diadakan setiap bulan Selo dalam penagnggalan Jawa itu, bagi sebagian orang yang percaya dengan mitos tentang Ratu Kidul.
Biarpun menimbulkan pro kontra, kesepakatan tetap kesepakatan. Semua harus ikut berperan. Para nelayan, para juragan klerek, juga para penguras, para tenaga kapal, dan kuli pikul yang masuk komunitas kampung nelayan bahu-membahu demi suksesnya upacara Sembonyo.
Sabtu sore menjelang hari pelaksanaan, orang kota sudah banyak yang berdatangan, ada yang mendirikan tenda-tenda untuk bermalam, ada yang sekedar menggelar tikar di atas hamparan pasir pantai sambil ngobrol sana-sini, ada pula yang menginap di losmen atau hotel di sekitar pantai. Tak ketinggalan muda-mudi berkelompok-kelompok ikut lek-lekan semalaman, main gitar atau sekedar memandangi indahnya pantai.
“Nah, ini baru masuk akal dan nyata,” komentar Kang Diman.
”Pendapatan dari tiket masuk tentu berlipat,” sambung Paimo.
Kalian sudah siapkan rakitnya?” Pak Bako menghampiri mereka.
Pak Bako adalah salah seorang yang sangat menyakralkan Kanjeng Ratu Kidul itu. Berseberangan dengan Diman, Paimo, dan kawan-kawan.
“Beres Pak, sebentar lagi rampung.”
Pak Bako manggut-manggut lalu meninggalkan Kang Diman dan Paimo.
Minggu pagi semua ubarampe telah siap. Bapak Camat melepas keberangkatan rombongan. Lalu seorang tua memimpin prosesi upacara. Sebuah rakit bambu, di atasnya gunungan nasi kuning, lodho ayam, aneka jajan pasar, dan bunga setaman diarak. Mengiring di belakangnya, perempuan-perempuan muda dengan pakaian adat Jawa. Berjalan pelan mengikuti alunan gamelan. Jalannya endut-endutan seperti pengantin yang akan dipertemukan.
Sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan, orang-orang bersorak-sorai. Hampir satu jam perjalanan dari pendapa kecamatan ke lokasi pelarungan. Orang-orang berdesakan dengan ipad, hp, dan kamera-kamera di tangan. Sebagian bergelantungan di bangkai-bangkai perahu tua yang mangkrak di bibir pantai.
Orang tua pemimpin prosesi upacara mulai komat-kamit, entah membaca apa, mungkin semacam mantera atau do’a-do’a. Ubarampe sesaji siap dilarung ke tengah lautan. Sepasang perahu mesin yang sudah didandani dan dirias, diberangkatkan. Gemuruh sorak-sorai mengiringi. Perahu itu berputar tiga kali, lalu ubarampe dilarung ke tengah lautan, bergoyang-goyang diterjang ombak. Usai sudah upacara Sembonyo itu.
Esoknya, para nelayan mulai bekerja seperti biasa. Para juragan klerek mulai teriak-teriak kepada para buruh nelayan, dan ketika perahu mereka kembali tanpa hasil memuaskan, para juragan klerek itu mengumpat-umpat tidak karuan. Begitulah selalu seperti sudah menjadi kelaziman.
Para nelayan pancing, sore-sore sudah berangkat melaut. Mereka bergerombol tiga atau empat orang. Ada juga yang suka menyendiri, dengan harapan hasil tangkapannya lebih banyak, biarpun resikonya juga tentu lebih besar. Seperti telah menjadi kesepakatan, wilayah para pemancing tidak boleh dijelajah perahu mesin. Dengan begitu tidak pernah terjadi konflik perebutan wilayah.
Pagi itu ada berita tentang tidak pulangnya Molang. Nelayan perantau itu sudah dua hari tidak pulang. Istrinya kalang kabut mencari berita tentang Molang, suaminya, tapi sia-sia. Molang termasuk nelayan individualis, tidak suka bergerombol-gerombol bila melaut. Molang juga dikenal nelayan pemberani, menjelajah daerah baru yang belum pernah dirambah nelayan lain.
“Alaaah…, paling dia sedang keasyikan dengan tangkapannya.” Komentar Paimo enteng tentang ketidakpulangan Molang.
Tapi hingga seminggu Molang tidak juga pulang. Ada yang pernah melihat sampan kecilnya terhempas lereng sebelah barat gunung Kumbakarna. Sampan kecil itu tanpa penghuni. Hilangnya Molang memunculkan selentingan, Molang dikersakke Kanjeng Ratu Kidul. Konon Molang mengambil sebagian ubarampe sesaji sembonyo tempo hari.
“Itulah sebabnya. Kanjeng Ratu Kidul tidak berkenan didahului.”
Pak Bako tersenyum penuh kemenangan, sambil melirik Paimo yang sedang memperbaiki kait pancingnya. Sementara kang Diman yang tak jauh dari tempat Paimo hanya nyengir.
“Dasar otak tahayul!” komentar Paimo pendek setelah Pak Bako pergi.
Hilangnya Molang segera dilupakan orang. Kejadian semacam itu sudah terlalu biasa. Tidak merisaukan. Juga tidak mempengaruhi semangat kerja para nelayan lain.
Namun belum genap seminggu berselang, Kejadian serupa terulang. Kali ini giliran Sapar. Nelayan muda itu mayatnya terjepit batu karang. Kang Diman yang menemukan. Setelah itu, korban-korban lain berjatuhan. Satu bulan itu ada enam orang. Terakhir Pak Kepro, teman dekat Pak Bako.
“Apalagi yang akan dikatakan si otak tahayul itu.”
Pak Bako mendekat ke tempat Diman dan Paimo yang sedang bersiap melaut.
“Pak Bako tidak melaut?”
“Aku agak tak enak badan. Hati-hatilah kalian. Sepertinya Kanjeng Ratu Kidul benar-benar murka. Akibat ulah si Molang sialan itu, kita semua harus menanggung semua akibatnya!”
“Tidak baik lo Pak menyumpahi orang yang sudah mati”
“Sudah nasib mereka, Pak” Paimo menimpali.
“Terserah kalianlah, yang penting hati-hati saja.”
Hari berikutnya jatuh korban lagi. Hari ini tiga serangkai: Bino, Topi, dan Jais. Mayat Topi dan Jais menepi dibawa ombak, sedang mayat Bino tidak diketahui rimbanya. Kematian tiga serangkai ini benar-benar membuat sebagian besar nelayan enggan melaut. Issue kemarahan sang penguasa laut selatan semakin meluas dan menghebat, seperti hantu gentayangan sedang menyebar teror mengerikan di kampung nelayan.
Mau tak mau pihak pemerintah harus turun tangan. Tim investigasi segera diterjunkan untuk mencari dan menemukan sebab-sebab kecelakaan itu. Delapan hari penuh mereka bekerja. Akhirnya diketahui bahwa penyebab kematian berantai itu karena mereka menghisap gas beracun yang keluar dari salah satu goa di gunung Kumbakarna.
“Ooo …” Orang-orang saling berpandangan.
“Maka berhati-hatilah Saudara-Saudara! Bapak Camat mengakhiri penjelasannya.
Prigi, Agustus 2016
*Diterbitkan dalam antologi cerpen “Lelaki Pengagum Hujan”, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...