PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: fiksi
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

10/07/2020

Marsham

M A R S H A M

Cerpen: Nanang M. Safa'

 

Bendera dan umbul-umbul telah dipasang di mana-mana: di pinggir-pinggir jalan, di pojok-pojok gedung bahkan di warung-warung dan toko pracangan, warna-warni. Juga berbagai kendaraan, tak lupa dipasangi slogan-slogan dan tulisan. Seperti lazimnya menjelang perayaan tujuh-belasan di kampung-kampung, begitu semarak. Deru mesin kendaraan meraung, menderu-deru berbaur dengan teriakan lantang dan yel-yel peserta konvoi, memekakkan telinga. Sebagian bergaya ala penari balet, meliuk-liuk sambil mengacung-acungkan jari ke arah barisan penonton di pinggir jalan. Sebagian lagi ada yang beraksi ala pemain sirkus jalanan. Dan sebagian yang lain teriak-teriak tidak karuan seperti orang kesurupan.

Marsham bersandaran di atas jok bentornya sambil mengawasi hiruk-pikuknya jalan raya. Tangannya mengipas-ngipas badannya yang bercucuran keringat, sementara pikirannya melayang jauh dan akhirnya terantuk pada anak istrinya di rumah.

"Tolong Pak! antar kami ke hotel Bahtera ya," suara seorang lelaki sambil menunjukkkan alamat yang dimaksudkan.

Marsham tergagap, lamunannya buyar.

"Iya…Pak…mari!" Marsham mempersilahkan laki-laki tegap yang berdiri di hadapannya naik.

"Ayo! Anda duluan" si lelaki tegap mempersilahkan temannya, seorang lelaki parlente dengan perut gendut, naik duluan ke bentor Marsham, kemudian laki-laki tegap itu duduk di sebelahnya.

"Kemana Pak?!" Marsham mengayuh becaknya pelan.

"Hotel Bahtera yang dekat pantai sana, Pak"

Bentor berjalan pelan menyusuri sepanjang jalan raya, kemudian belok kanan melewati marka jalan menuju hotel Bahtera.

Kedua lelaki penumpang Marsham berbincang serius tentang hal-hal yang kurang dimengerti oleh Marsham, dan memang Marsham sendiri tak mau tahu apa yang dibicarakan kedua lelaki itu. Bagi Marsham, yang penting cepat sampai ke tempat tujuan  dan mendapat bayaran. Habis perkara.

Terdengar deru motor mendekat. Marsham cepat-cepat meminggirkan bentornya. Tak berselang lama, serombongan muda-mudi berseragam lewat sambil mengacungkan jarinya ke arah Marsham. Marsham membalas acungan jari mereka dengan format sama.

"Bapak ikut mereka ya?!" Tanya lelaki bertubuh tegap pada Marsham penuh selidik.

"Yaaa, sekedar mencari aman Pak,"

"Oooo, begitu rupanya"

Marsham menarik nafas panjang.

"Orang kecil seperti saya ini tidak mau tahu yang begituan Pak, yang penting kerja, dapat duit, bisa ngasih makan anak istri, habis perkara. Lagi pula untuk apa susah-susah ikut-ikutan mikir politik tetek-bengek, toch tak ada yang kasih duit. Biar saja itu diurus sama orang-orang yang di atas" Marsham memperlambat laju becaknya. Kemudian mengeremnya tepat di depan hotel Bahtera.

"Sudah sampai, Pak!" Marsham mempersilahkan kedua laki-laki itu turun.

"Ini Pak," lelaki parlente berperut buncit mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.

"Cukup, Pak?"

"Waduuuuh, tidak ada kembaliannya Pak!"

"Ambil saja semuanya"

"Tapi ini terlalu banyak Pak,"

"Sudahlah Pak, anggap saja itu rezeki dari Tuhan" lelaki tegap tadi menegaskan sambil menepuk-nepuk pundak Marsham.

"Waaaaah, kalau begitu terima kasih banyak, Pak" ucap Marsham penuh hormat.

"Oya Pak, Bapak mau kalau saya tawari rezeki yang banyak?"

Marsham mengerutkan keningnya.

"Maksud Bapak?"

Lelaki itu menjelaskan kepada Marsham dengan suara dipelankan. Mula-mula Marsham ragu, namun setelah dijelaskan lebih lanjut akhirnya Marsham menganggukkan kepala tanda setuju.

Tepat pada hari yang disepakati, dengan berseragam lengkap, Marsham ikut arak-arakan. Marsham duduk berdampingan dengan laki-laki gendut yang jadi penumpangnya kemarin. Marsham yang seorang penarik bentor hari itu sudah tak ada, yang ada sekarang adalah Marsham yang berseragam. Penampilannya sudah tidak dekil seperti hari-hari lalu. Marsham hari itu benar-benar berubah total. Marsham begitu bersemangat meneriakkan yel-yel sambil mengacung-acungkan jarinya. Marsham meneriakkan kemenangan.

Kehidupan keluarganya juga mulai berubah. Keinginan-keinginan yang dulu cuma menjadi impian, kini satu persatu mulai jadi kenyataan. Ya, Marsham memang telah mendapat rezeki dari Tuhan seperti yang telah dikatakan lelaki penumpang bentornya tempo hari yang kini menjadi atasannya.

Para penarik bentor dan para nelayan yang pernah dikenal dan mengenal Marsham sebagian ada yang mengikuti jejak Marsham. Itu memang menjadi tugas Marsham. Jadi jelasnya Marsham menjadi juru ajak mereka. Mereka juga mengenakan seragam seperti Marsham. Meneriakkan yel-yel seperti Marsham. Mengacungkan jari seperti Marsham.  Namun sebagian yang lain tetap tidak tergiur oleh ajakan Marsham. Mereka memiliki pengertian sendiri tentang seragam yang dikenakan Marsham, tentang yel-yel yang diteriakkan Marsham, tentang rezeki yang diperoleh Marsham. Mereka memang tidak ingin seperti Marsham. Mereka belum ingin menang seperti Marsham memperoleh kemenangan. Mereka memang tidak ingin  seumur hidup menjadi penarik bentor. Mereka juga ingin makan enak tidur nyenyak. Tapi bukan seperti jalan yang ditempuh Marsham. Namun mereka juga tidak menyalahkan Marsham. Marsham punya hak untuk berbuat begitu seperti mereka juga punya hak untuk tidak berbuat begitu.

Hari ha pelaksanaan pesta demokrasi –begitu para elit menyebut- semakin dekat. Suhu politik semakin memanas. Kekacauan terjadi di mana-mana. Pesta demokrasi berubah menjadi pesta demonstrasi. Tak jelas lagi mana kawan dan mana lawan. Setiap sudut kota bahkan hingga ke kampung-kampung dipenuhi preman berseragam. Orang kota dilanda keresahan dan ketidaktenangan. Orang desa dibodohi dan dihantui teror berkepanjangan. Berita koran dan teve tidak henti-hentinya mengulas berbagai pelanggaran hak dan penyelewengan demokrasi. Di mana-mana muncul orang-orang bodoh berlagak pintar, orang-orang krisis berlagak kritis. Janji-janji diobral seperti kacang godog. Marsham juga mendapat bagian untuk itu, dan itu tidak terlalu sulit dilakukan Marsham karena terdorong oleh ambisinya untuk menjadi orang kaya. Marsham bisa melakukan semuanya dengan baik, terbukti dengan pujian yang diterima dari atasannya, laki-laki gendut yang tempo hari pernah menjadi penumpang bentornya.

Marsham semakin lupa diri. Kejujurannya telah tertutup oleh fasilitas yang terpampang di depannya. Kesederhanaanya telah tertutup oleh kemewahan yang dinikmatinya. Memang Marsham tetap menjadi orang sibuk, namun sibuknya Marsham bukan lagi tentang anak istrinya dengan berbagai kebutuhan rumah yang memusingkan kepala. Sibuknya Marsham sekarang berhubungan dengan instruksi-instruksi orang yang telah memberikan fasilitas kepadanya. Marsham jarang di rumah. Khabarnya dia sibuk dengan kegiatan luar. Teman-teman Marsham sekarang adalah orang-orang yang menamakan diri pejuang aspirasi rakyat. Marsham sekarang tidak cuma menjadi pengantar tamu hotel namun Marsham sekarang menjadi tamu hotel.

"Maaf Pak, kartu pengenalnya" resepsionis itu mengamati selembar kartu kecil yang diberikan Marsham. "Bapak ditunggu di kamar nomor 16" ucap wanita cantik itu seraya mempersilahkan Marsham.

"Terim kasih...”

Marsham melangkah mantap menuju kamar nomor enam belas seperti yang ditunjukkan resepsionis cantik itu. Dan ternyata di kamar nomor enam belas, telah ada tiga orang laki-laki berpakaian rapi. Ketiga laki-laki itu masih muda-muda. Mereka memperkenalkan diri sebagai orang-orang dekat atasannya, seperti Marsham juga.

"Mari Pak, tak usah sungkan-sungkan. Kita khan satu keluarga" basa-basi seorang di antara mereka.

"Iya" jawab Marsham mantap. Marsham mengamati satu persatu ketiga pria tersebut.

"Beliau sedang keluar Pak. Katanya mau cari angin segar, Bapak tadi sudah terlalu lama ditunggu" lelaki yang lain menjelaskan seperti tanggap apa yang sedang difikirkan Marsham. "Sebentar juga beliau kembali"

"Mari Pak, minumnya" laki-laki yang lain lagi menyodorkan gelas mungil kepada Marsham.

Marsham ragu, namun demi menjaga agar tidak mengecewakan rekan-rekannya, Marsham menerimanya dengan seulas senyum. Itulah yang selalu dipesankan oleh atasannya, bersikap ramah pada siapapun untuk menarik simpati. Sambil tersenyum pula Marsham mulai minum sedikit demi-sedikit. Baru habis satu gelas kecil, kepala Marsham sudah mulai pusing, tapi ketiga laki-laki itu terus menambah minuman di gelas Marsham. Marsham tidak berdaya menolaknya. Dan sekarang Marsham benar-benar tak sadarkan diri.

Pagi harinya tertulis khabar di koran-koran lokal: "Seorang laki-laki ditemukan tewas mengenaskan di sebuah kamar salah satu hotel berbintang. Pihak berwajib kini sedang menginterogasi petugas hotel yang dituduh telah melakukan kelalaian dalam menjalankan tugas sehingga mengakibatkan matinya laki-laki tersebut"

Demikian kata berita.

 

Trenggalek, Maret 2019

 

*Dibukukan dalam antologi cerpen “Matinya Golput”, 2019.

 

Pulung

P U L U N G

Cerpen: Nanang M. Safa'

 

Pulung memang sedang populer, melebihi popularitas bintang sinetron di teve. Hampir tiap orang memperbincangkannya. Nyonya-nyonya juragan klerek yang biasanya suka nggosip kanan kiri, sekarang ikut-ikutan merubah materi, juga tentang pulung itu.

Para pedagang eceran di pasar-pasar subuh juga tak mau ketinggalan. Pembicaraannya mengenai pulung itu lebih meriah ketimbang tawar-menawar ikan teri atau sayur kangkung. Orang-orang yang dikenal pendiam pun, sekarang jadi pintar pidato seperti bakul jamu yang suka keliling kampung tempo dulu. Gilanya lagi, forum-forum resmi ikut-ikutan jadi ajang diskusi mengenai pulung itu, apalagi yang setengah resmi seperti acara hajatan, atau yang tidak resmi seperti obrolan di gardu-gardu musiman yang banyak muncul pada musim-musim menjelang pemilu dengan atribut dan gambar-gambar para calon penguasa.

Pulung...pulung...pulung...

Di mana-mana dipenuhi pulung. Pulung berceceran di jalan-jalan, di kantor-kantor, di rumah-rumah dan tempat-tempat ibadah. Orang berjalan kesandung pulung, orang tidur berbantal pulung, orang makan berlauk pulung.

Aku jadi penasaran apa sich sebenarnya pulung itu?

Jika pulung itu ibarat sebuah kue tentu kue yang sangat istimewa. Rasanya juga sudah pasti begitu lezat sehingga banyak orang ingin ikut merasakan kelezatannya. Dan hanya sang calon rajalah satu-satunya orang yang akan menikmati kelezatan pulung itu. Sedangkan yang lain terserah Sang Raja. Maka wajarlah jika mereka berlomba-lomba mencari posisi sedekat mungkin dengan para calon raja itu.

Mereka seperti semut, bergerombol-gerombol, ikut mengendus-endus manisnya pulung itu. Atau seperti lalat-lalat yang sedang mengerubungi onggokan tahi di sungai kering. Mereka berupaya dengan segala daya dan kekuatannya, menyikut, menggigit, mendorong, menendang dan menjegal untuk mencari dan mendapatkan posisi yang strategis agar bisa dekat sang calon raja. Mereka tidak perduli dengan peluh yang telah membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan mereka tidak perduli lagi dengan darah dan air mata yang membanjir di sekelilingnya. Keserakahan benar-benar telah menguasai jiwa-jiwa mereka, hingga kepekaan dan rasa empati tak lagi mereka miliki.

Para dukun dan tukang klenik ikut-ikutan mengerahkan ilmu-ilmu simpanannya, jampi-jampi dan segala mantera untuk membantu para calon raja mereka masing-masing. Para pembela kebenaran –kebenaran yang mana?-, para penegak keadilan –keadilan untuk siapa?-, para pembela rakyat –rakyat yang mana?-, semua ingin tampil di depan, berkoar-koar seperti pahlawan kesiangan. Jargon-jargon yang mereka teriakkan, menyilaukan pandangan orang awam. Kritik-kritik yang mereka lontarkan, mampu menggoyahkan pendirian. Janji-janji yang mereka teriakkan seperti sabu-sabu yang memabukkan.

Sementara para calon raja itu duduk manis di kursi empuk sambil mengolak-alik tumpukan surat kabar yang memberitakan tentang pelanggaran HAM, tentang demonstrasi mahasiswa, tentang tuntutan para buruh, tentang PHK besar-besaran, tentang penjarahan dan amuk massa akibat benturan sara. Lalu mereka tersenyum sinis ketika membaca berita tentang para provokator yang bergentayangan seperti drakula-drakula haus darah yang sedang mencari mangsa. Dan pada keesokan harinya ketika wawancara mereka ditayangkan di teve, mereka menepuk dada dengan bangga sambil berkata: akulah tokoh demokrasi sejati, akulah figure pemimpin masa depan yang akan membawa perubahan negeri ini.

Tidak sedikit pula orang-orang yang disebut para pakar atau para pengamat ikut-ikutan mengobral komentar, analisa dan argumen yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Lembaga survey juga ikut-ikutan berlomba mempublikasikan hasil surveynya sesuai pesan sponsor. Gara-gara pulung itu, banyak hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal, hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan ketika pulung itu semakin mendekati saat-saat turun, mereka semakin gila beraksi. Segala cara ditempuh dengan angkuh.

Para preman jalanan dikerahkan untuk mengobral teror dan ketakutan-ketakutan di kalangan rakyat kecil. Para preman berdasi dan bersepatu licin mengkili-kili ketiak para bankir, para konglomerat dan para milyader dengan janji-janji menggiurkan tentang bagian mereka dari pulung itu. Lembaran-lembaran berangka bersliweran dari satu kantong ke kantong lain, dari satu rekening ke rekening lain. Orang-orang berdasi lain dengan kepala-kepala botak sibuk menguping tuyul-tuyul dalam genggamannya yang senantiasa berdering, mengabarkan pada mereka tentang tawaran-tawaran menggiurkan dari antek-antek calon raja. Setelah harga tertinggi disepakati, terjadilah transaksi. Tak ada bedanya dengan sebuah tender esek-esek yang sempat heboh di negeri ini.

Saat menjelang turunnya pulung itu benar-benar mencekam. Muncul issu akan terjadi kerusuhan massal dan chaos di seluruh belahan negeri bila pulung itu tidak mereka dapatkan. Para pasukan berani mati dari masing-masing calon raja itu tidak segan-segan menumpahkan darah dan air mata. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka akan melakukan revolusi. Sungguh ancaman yang mendirikan bulu kuduk. Haruskah peristiwa masa lalu itu terulang lagi?! Belum cukupkah siraman darah anak negeri ini membasahi bumi pertiwi?!

Tubuhku membeku, membayangkan apa yang akan terjadi di negeriku ini. Akankah negeriku yang digadang-gadang menjadi matahari dunia ini hancur luluh seperti banyak negeri di luar sana?!

 

Prigi, Maret 2019

 

*Dibukukan dalam antologi cerpen “Matinya Golput”, 2019.