KANG SU
Cerpen: Nanang M. Safa'
Hari ini hari Senin. Saatnya upacara bendera. Waktu sudah menunjukkan jam enam lebih lima puluh menit. Berarti tersisa waktu sepuluh menit bagiku jika tidak ingin terlambat. Kukayuh sepedaku lebih cepat.
Sampai di jalan perempatan yang merupakan pusat lalu lintas kecamatan, terlihat orang-orang berderet hampir sepanjang lima belas meter. Aku hentikan kayuhan sepedaku dan ikut berjejer mengantre untuk bisa lewat. Jalan ini memang merupakan jalan utama, tepat melintas di depan pasar kecamatan, dan hari ini adalah hari pasaran paling ditunggu masyarakat, yakni pasaran Pon. Tak heran jika hari ini penuh sesak. Jalan ini memang bukan jalan satu-satunya menuju sekolahku, namun jika ingin melewati jalan satunya lagi harus memutar hampir dua kilo meter di sisi Timur, sedangkan jika melewati jalan ini hanya tinggal setengah kilo meter sudah sampai. Jadi aku pikir sia-sia juga jika aku harus memutar arah. Lagian jalan alternatif ke sekolahku itu juga banyak yang becek ketika musim penghujan seperti bulan ini.
Antrean semakin panjang. Aku lirik jam tangan yang menempel di lengan kiriku, jam enam lebih lima puluh lima menit. Tinggal lima menit lagi pasti aku terlambat. Suara orang-orang mulai gaduh. Seorang bapak muda yang memboncengkan anaknya berseragam SD nyelonong masuk ke lajur kanan, disusul bentor dan beberapa pengendara sepeda motor para nelayan yang barusan pulang melaut. Tepat di sampingku sebuah sepeda motor dengan knalpot brong. Pengemudinya seorang remaja tanggung dengan rambut sedikit diwarna merah. Sisa pembakaran yang keluar dari knalpot motornya begitu mengganggu, belum lagi suaranya yang memekakkan telinga. Aku buru-buru menutup hidung dengan ujung jilbab yang aku kenakan. Suasannya benar-benar kacau.
Aku galau. Aku pasti terlambat sampai di sekolah, alamat kena sanksi.
Dua orang polisi yang ada di lokasi juga kelihatan kebingungan harus mulai dari mana menertibkannya agar kemacetan bisa segera terurai. Pada saat-saat seperti itu, tiba-tiba aku teringat Kang Su –demikian orang-orang menyebutnya-. Nama lengkapnya tidak ada orang yang tahu. Riwayat keluarganya juga tidak banyak yang tahu. Yang pasti hampir semua orang tahu adalah kebiasaan Kang Su pada setiap hari pasaran.
Dengan berbaju coklat ala polisi yang sudah pasti kebesaran, bersepatu brok ala polisi juga, lengkap dengan peluit beserta tali slempangnya di pundak, Kang Su dengan penuh semangat mengatur lalu lintas di depan pasar kecamatan. Ketika itu tidak pernah sekalipun semacet seperti sekarang ini, paling-paling sedikit lambat karena para pedagang musiman suka menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan yang tidak lebar itu. Atau karena bentor dan pick-up yang menurunkan barang semau-maunya. Jika sudah demikian, Kang Su dengan wajah dingin, dengan suara keras mengomeli mereka hingga mereka mau pergi ke tempat yang lebih lapang. Lalu kami anak-anak sekolah mendapat prioritas untuk jalan. Tidak ada seorangpun yang berani menentang perkataan Kang Su, paling hanya ngomel sambil berlalu. Kami anak-anak sekolah justru sangat terbantu dengan kehadiran Kang Su.
Makanya kami juga tidak perduli dengan perkataan orang, “Hati-hati lo jika bertemu Si Su, dia itu tidak waras!”
Toch kami tidak pernah diganggu oleh Kang Su. Hingga kami dengar khabar bahwa Kang Su tertabrak angkudes ketika hendak menunaikan tugasnya mengatur lalu lintas di depan pasar kecamatan.
“Doonn!”
Aku tersadar, ternyata kemacetan telah mulai bisa diurai. Aku kayuh sepedaku pelan. Syukurlah aku tidak sendirian. Beberapa temanku dan dua orang guruku juga pasti terlambat.
Dimuat di majalah MPA Surabaya, edisi Pebruari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...