P U L U N G
Cerpen: Nanang M. Safa'
Pulung memang sedang populer, melebihi popularitas bintang sinetron di teve. Hampir tiap orang memperbincangkannya. Nyonya-nyonya juragan klerek yang biasanya suka nggosip kanan kiri, sekarang ikut-ikutan merubah materi, juga tentang pulung itu.
Para pedagang eceran di pasar-pasar subuh juga tak mau ketinggalan. Pembicaraannya mengenai pulung itu lebih meriah ketimbang tawar-menawar ikan teri atau sayur kangkung. Orang-orang yang dikenal pendiam pun, sekarang jadi pintar pidato seperti bakul jamu yang suka keliling kampung tempo dulu. Gilanya lagi, forum-forum resmi ikut-ikutan jadi ajang diskusi mengenai pulung itu, apalagi yang setengah resmi seperti acara hajatan, atau yang tidak resmi seperti obrolan di gardu-gardu musiman yang banyak muncul pada musim-musim menjelang pemilu dengan atribut dan gambar-gambar para calon penguasa.
Pulung...pulung...pulung...
Di mana-mana dipenuhi pulung. Pulung berceceran di jalan-jalan, di kantor-kantor, di rumah-rumah dan tempat-tempat ibadah. Orang berjalan kesandung pulung, orang tidur berbantal pulung, orang makan berlauk pulung.
Aku jadi penasaran apa sich sebenarnya pulung itu?
Jika pulung itu ibarat sebuah kue tentu kue yang sangat istimewa. Rasanya juga sudah pasti begitu lezat sehingga banyak orang ingin ikut merasakan kelezatannya. Dan hanya sang calon rajalah satu-satunya orang yang akan menikmati kelezatan pulung itu. Sedangkan yang lain terserah Sang Raja. Maka wajarlah jika mereka berlomba-lomba mencari posisi sedekat mungkin dengan para calon raja itu.
Mereka seperti semut, bergerombol-gerombol, ikut mengendus-endus manisnya pulung itu. Atau seperti lalat-lalat yang sedang mengerubungi onggokan tahi di sungai kering. Mereka berupaya dengan segala daya dan kekuatannya, menyikut, menggigit, mendorong, menendang dan menjegal untuk mencari dan mendapatkan posisi yang strategis agar bisa dekat sang calon raja. Mereka tidak perduli dengan peluh yang telah membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan mereka tidak perduli lagi dengan darah dan air mata yang membanjir di sekelilingnya. Keserakahan benar-benar telah menguasai jiwa-jiwa mereka, hingga kepekaan dan rasa empati tak lagi mereka miliki.
Para dukun dan tukang klenik ikut-ikutan mengerahkan ilmu-ilmu simpanannya, jampi-jampi dan segala mantera untuk membantu para calon raja mereka masing-masing. Para pembela kebenaran –kebenaran yang mana?-, para penegak keadilan –keadilan untuk siapa?-, para pembela rakyat –rakyat yang mana?-, semua ingin tampil di depan, berkoar-koar seperti pahlawan kesiangan. Jargon-jargon yang mereka teriakkan, menyilaukan pandangan orang awam. Kritik-kritik yang mereka lontarkan, mampu menggoyahkan pendirian. Janji-janji yang mereka teriakkan seperti sabu-sabu yang memabukkan.
Sementara para calon raja itu duduk manis di kursi empuk sambil mengolak-alik tumpukan surat kabar yang memberitakan tentang pelanggaran HAM, tentang demonstrasi mahasiswa, tentang tuntutan para buruh, tentang PHK besar-besaran, tentang penjarahan dan amuk massa akibat benturan sara. Lalu mereka tersenyum sinis ketika membaca berita tentang para provokator yang bergentayangan seperti drakula-drakula haus darah yang sedang mencari mangsa. Dan pada keesokan harinya ketika wawancara mereka ditayangkan di teve, mereka menepuk dada dengan bangga sambil berkata: akulah tokoh demokrasi sejati, akulah figure pemimpin masa depan yang akan membawa perubahan negeri ini.
Tidak sedikit pula orang-orang yang disebut para pakar atau para pengamat ikut-ikutan mengobral komentar, analisa dan argumen yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Lembaga survey juga ikut-ikutan berlomba mempublikasikan hasil surveynya sesuai pesan sponsor. Gara-gara pulung itu, banyak hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal, hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan ketika pulung itu semakin mendekati saat-saat turun, mereka semakin gila beraksi. Segala cara ditempuh dengan angkuh.
Para preman jalanan dikerahkan untuk mengobral teror dan ketakutan-ketakutan di kalangan rakyat kecil. Para preman berdasi dan bersepatu licin mengkili-kili ketiak para bankir, para konglomerat dan para milyader dengan janji-janji menggiurkan tentang bagian mereka dari pulung itu. Lembaran-lembaran berangka bersliweran dari satu kantong ke kantong lain, dari satu rekening ke rekening lain. Orang-orang berdasi lain dengan kepala-kepala botak sibuk menguping tuyul-tuyul dalam genggamannya yang senantiasa berdering, mengabarkan pada mereka tentang tawaran-tawaran menggiurkan dari antek-antek calon raja. Setelah harga tertinggi disepakati, terjadilah transaksi. Tak ada bedanya dengan sebuah tender esek-esek yang sempat heboh di negeri ini.
Saat menjelang turunnya pulung itu benar-benar mencekam. Muncul issu akan terjadi kerusuhan massal dan chaos di seluruh belahan negeri bila pulung itu tidak mereka dapatkan. Para pasukan berani mati dari masing-masing calon raja itu tidak segan-segan menumpahkan darah dan air mata. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka akan melakukan revolusi. Sungguh ancaman yang mendirikan bulu kuduk. Haruskah peristiwa masa lalu itu terulang lagi?! Belum cukupkah siraman darah anak negeri ini membasahi bumi pertiwi?!
Tubuhku membeku, membayangkan apa yang akan terjadi di negeriku ini. Akankah negeriku yang digadang-gadang menjadi matahari dunia ini hancur luluh seperti banyak negeri di luar sana?!
Prigi, Maret 2019
*Dibukukan dalam antologi cerpen “Matinya Golput”, 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...