SANG PEMBANTAI
Cerpen: Nanang M. Safa'
Kucing hitam itu sedang mendekam di atas tumpukan rumput kering. Matanya tajam dan liar mengawasi sekeliling. Dari balik jeruji besi kamarku, aku mengawasi dia. Kepalanya nampak lebih besar dari badannya. Mukanya kotor dan terkesan sangar.
Akhir-akhir ini orang-orang di kampungku sedang ramai membicarakan kucing hitam itu. Mereka menyebutnya Gandik. Gandik dituduh telah membantai ayam-ayam peliharaan warga kampung. Memang belum ada saksi mata yang bisa dipercaya untuk melegalkan tuduhan warga kampung tersebut. Namun Gandik telah divonis mati oleh warga kampungku. Bagi siapapun yang bisa menangkapnya, hidup atau mati, dia pasti dianggap sebagai pahlawan. Malah ada yang berani menghargai kepala Gandik seratus ribu rupiah. Hebat bukan?! Tidak aneh bila Gandik menjadi buah bibir di kalangan warga kampung Watulawang, melebihi popularitas sang presiden yang sedang menunggu dilantik. Sialnya, Gandik si pembantai kelas kakap itu belum juga tertangkap.
Berbagai cara telah dilakukan orang-orang kampung Watu Lawang. Memberi umpan beracun berupa kepala ikan pindang dikasih pastax, malah tambah lagi ayam mati berserakan, tikus-tikus dapur bermulut panjang juga ikut menjadi korban.
Pernah suatu ketika Gandik kedapatan sedang rebahan di tumpukan kayu bakar di samping dapur Kang Diman, tetangga sebelah rumah. Kang Diman yang kebetulan memergokinya, spontan mengambil batu segedhe kepalan tangan dan menimpuknya. Eee yang kena timpuk malah tumpukan genting di sebelahnya. Tumpukan genting itu kontan berantakan dan pecah sebagian, sedangkan Gandik lari tunggang-langgang seperti maling kesiangan. Kang Diman kena damprat istrinya.
“Sialan!” umpat Kang Diman dongkol.
Selama sekian waktu tadi aku mengawasi Gandik. Kucing hitam itu rupanya masih tetap mendekam di tempatnya. Aku harus menghabisinya. Inilah kesempatanku. Orang-orang akan memujiku sebagai seorang yang telah berjasa mengamankan kampung kami dari gangguan teroris yang meresahkan. Bukankah konon pujian memang mahal harganya dan tidak setiap orang punya kesempatan untuk mendapatkannya. Hingga ada saja orang yang mau melakukan segala cara untuk mendapatkan pujian itu.
Aku bergegas mengambil senapan angin di langit-langit kamarku. Senapan itu biasa aku gunakan untuk berburu ayam hutan atau tupai-tupai nakal yang sering membuat jengkel orang-orang di kampungku karena melobangi kelapa-kelapa muda hingga berguguran sebelum tiba masa petik. Senapan aku kokang, moncongnya aku arahkan ke kepala Gandik. Ah, rupa-rupanya kucing itu tidak menyadari adanya bahaya yang sedang mengintainya. Dengan sekali “dor!” di kepalanya dia pasti akan menggelepar, pasti! Lalu dengan penuh rasa bangga, aku tenteng bangkai kucing pembantai itu keliling kampung sambil meneriakkan kemenanganku; “Lihat! teroris ini telah mampus!” dan orang-orang akan memperbincangkan keberhasilanku. Ah, sungguh membanggakan!
Aku raba picu senapan. Aku hendak membidiknya, namun... tiba-tiba saja rasa iba menyergapku. Aku terhempas pada ketidaktegaan. Rasa kemanusiaanku tersentuh, menghujatku dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan aku pada sisi ketidakadilan, pelanggaran hak hidup dan kezaliman; apa hakku hingga aku harus menghabisi makhluk Tuhan itu, bukankah kucing hitam itu belum terbukti sebagai pelakunya, atau barangkali saja dia melakukan pembunuhan itu karena didera satu keterpaksaan? Bukankah kelaparan bisa membuat seseorang nekad untuk melakukan pembunuhan? Apalagi bagi seekor binatang yang memang tidak mengenal perikemanusiaan? Sedangkan manusia saja bisa melakukan pembantaian dengan dalih didera kelaparan. Kalau saja Gandik tidak ditelantarkan, barangkali Gandik tidak akan menjadi liar dan seganas itu. Bukankah warga kampung kami yang seharusnya disalahkan karena mereka tidak perduli terhadap makhluk Tuhan yang sedang kelaparan? Bukankah Umar bin Khatab dulupun tidak memotong tangan si pencuri lantaran ia melakukan pencurian karena didera kelaparan yang menyiksa, malah akhirnya sang khalifah memberi hadiah sekarung gandum pada pencuri itu?
“Dor!”
Aku alihkan sasaran bidik ke buah pepaya di pojok halaman.
Gandik terkejut bukan kepalang, lalu ia lari tunggang-langgang meninggalkan jejak-jejak ketakutannya. Hari-hari berikutnya aku tak pernah lagi melihat Gandik. Persangkaanku Gandik telah mati.
Orang-orang bergerombol. Mereka membicarakan rencana operasi besar-besaran untuk mencari dan menemukan tempat persembunyian Gandik si pembantai.
Kemarin sore, beberapa anak ayam Pak Jahil hilang. Juga kemarin lusa, ayam milik Mak Yah tinggal tiga ekor, dan pagi tadi giliran Kang Diman yang harus uring-uringan karena ayam yang dipersiapkan kelak menjadi ayam aduan mati dengan bulu morat-marit tak karuan.
“Ini sudah benar-benar keterlaluan!” ucap Kang Diman penuh amarah.
“Teroris sial itu harus segera dihabisi!” dukung Pak Jahil.
“Ya! Jika tidak, ayam di kampung kita ini bisa habis tak tersisa!” sahut Mak Yah.
“Ya! habisi dia!”
Sesuai kesepakatan, hari itu operasi besar-besaran dilakukan. Sebagai warga yang ikut perduli dengan keamanan kampung, aku turut serta biarpun dengan setengah hati. Aku bawa sepotong kayu kering sebagai pentungan. Orang-orang menyebar, aku ikut berpencar, blusukan di tiap sudut tempat yang dimungkinkan menjadi tempat persembunyian Gandik.
Di balik sebuah papan kayu yang tersandar di kandang ayam Mbok Semi, kutangkap sesosok hitam sedang menekur diri. Aku mendekat dengan hati-hati. Ahaa… benar rupanya, Gandik sedang merenungi nasibnya.
Hampir aku memanggil orang-orang. Gandik menatapku tajam dan menggeram. Namun selanjutnya Gandik menunduk pasrah di bawah pengadilanku. Kalau mau, aku bisa mengatasinya sendiri, tidak perlu main keroyok ala preman jalanan.
Tapi, lagi-lagi aneh, kepasrahan Gandik malah membuat aku terjebak pada satu kebimbangan; membunuhnya atau membiarkannya hidup lebih lama. Dan kebimbangan itu pada akhirnya lebih mampu menyentuh sifat kemanusiaanku, rasa welas asih telah menempatkan Gandik sebagai si lemah yang harus dibela dan dilindungi. Aneh memang, tiba-tiba saja aku memihak kepada musuh besar orang-orang di kampung kami.
Sejak kejadian di dekat kandang ayam Mbok Semi itu, aku sering mengkhawatirkan Gandik, terkadang aku merindukan kehadirannya.
“Meooong…”
Aku bergegas menengoknya. Selamat datang makhluk malang. Gandik sepertinya juga mengenaliku. Barangkali kucing hitam itu juga telah menganggap aku sebagai sahabatnya. Tatapan matanya sayu menyentuh perasaan, tidak seperti waktu aku kenal pertama dulu.
“Kau tidak perlu khawatir mahkluk kecil”
Aku bergegas ke dapur, mengambil nasi dan kepala ikan asap, aku campur dan aku hidangkan pada Gandik. Untung saja aksiku ini tidak diketahui orang-orang. Gandik makan dengan lahapnya, aku begitu lega melihatnya.
“Ya, habiskan sahabatku”
Gandik mengeong lirih.
Hari-hari selanjutnya telah menjadi rutinitas bagiku, menyediakan makan untuk sahabatku itu. Kadang bila persediaan nasi dan lauk pas-pasan, aku dengan rela menyisihkan sebagian jatah makanku untuk dia. Itupun aku lakukan secara sembunyi-sembunyi agar orang lain tidak mengetahuinya. Biarlah hanya aku dan Gandik yang merasakan persahabatan kami. Dan, sejak rutinitasku itu, aku tidak lagi mendengar berita tentang hilangnya ayam-ayam di kampung kami. Barangkali orang-orang juga telah melupakan Gandik, dan memang itulah yang aku harapkan.
Pak Jahil tergopoh-gopoh menemui Kang Diman yang sedang menyiangi rumput di ladang sebelah. Kebetulan Fadil sedang nimbrung di sana juga. Kemudian kedua orang itu bergegas mengikuti Pak Jahil. Kang Diman dengan cangkulnya, Fadil menyambar potongan kayu Lamtoro. Aku tidak curiga dengan apa yang akan mereka lakukan. Lalu sekonyong-konyong Pak Jahil menimpakan sebuah batu sebesar kepala manusia ke atas tumpukan ilalang kering, disusul pentungan Fadil.
“Meooong…” sebuah lolongan panjang mengiris kalbu.
Aku sangat terkejut mendengarnya. Aku berlari menuju ke ladang pembantaian itu. Masih sempat aku saksikan Gandik sahabatku menggelepar, meregang nyawa. Orang-orang itu tertawa puas dan bersorak. Aku dekapkan kedua tanganku ke wajah; “selamat jalan sahabatku”. Terbersit pertanyaan di benakku; siapa sebenarnya yang pantas disebut sebagai sang pembantai?!
Watulimo, September 2014
*Dimuat di majalah MPA Surabaya, Pebruari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...