AKIBAT KETAMAKANKU
Cerpen: Nanang M. Safa'
Kelas kami baru selesai olahraga. Hari ini Pak Hanik Anwari, guru Penjaskes di sekolah kami memberikan materi atletik. Kami diberi tugas lari mengitari lingkar jalan Prigi – Sumber yang jaraknya lebih dari 2 km. Sialnya, hari ini aku belum sempat sarapan. Tadi pagi aku bangun kesiangan. Semalam aku begadang, nonton pertandingan sepak bola team kesayanganku. Takut telat, tak sempat lagi aku nimbrung di meja makan. Dengan penuh perjuangan, akhirnya aku sampai juga di garis finish. Catatan waktu yang kutorehkan hari ini jauh dibawah target. Aku tak terlalu perduli dengan sindiran Pak Hanik tentang rekor burukku itu. Biasanya aku memang selalu masuk tiga besar untuk urusan lari.
Tak menunggu lama, aku langsung tancap gas ke kantin. Kebetulan ada kelebihan uang saku hasil menyisihkan beberapa hari sebelumnya. Jadi memang keuanganku agak longgar hari ini. Dua bungkus nasi bantingan plus sebotol teh kemasan. Biasanya satu bungkus nasi telah cukup mengenyangkan perutku yang tergolong kecil. Tapi kali ini, rasa-rasanya dua bungkuspun bisa aku sikat habis.
Selanjutnya aku cari tempat aman di pojok kantin.
“Tumben dua sekaligus, Ris” sapa Imron menghampiriku.
“Heeh,” jawabku pendek dengan mulut komat-kamit.
“Biasanya juga satu bungkus sudah kekenyangan,”
“Heeh,” jawabku lagi sambil terus mengunyah.
“Makanmu kok seperti orang kelaparan begitu Ris,”
“Heeh,”
“Waduuh, bener-bener nich anak, barusan keluar dari hutan belantara kali”
“Heeh,” jawabku cuek sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutku.
Setelah itu aku reguk setengah gelas air mineral. Lega. Ternyata perutku memang terlalu kecil untuk dapat menampung dua bungkus nasi bantingan sekaligus. Padahal masih satu bungkus. Tapi, jika aku paksakan menghabiskannya sekaligus, pasti aku kekenyangan, atau malah tidak habis.
“Lo, ke mana Ris? Khan masih ada satu bungkus,” teriak Imron sambil menikmati snack kesukaannya. Aku tidak memperdulikannya. Aku beranjak pergi. Sebungkus nasi bantingan kutenteng dalam plastik hitam. Lalu aku masukkan ke dalam laci mejaku. Nanti sehabis istirahat bisa aku makan kembali.
Hingga tiba waktu istirahatpun, perutku masih terasa penuh. Jadi tak mungkin aku makan nasi bungkusku. Ah, biar sajalah, nanti bisa ku bawa pulang.
“Ris, lihat tuch Roni!” tunjuk Imron ke arah Roni di bangku deretan kanan belakang dari tempat duduk kami.
“Kenapa?”
“Dari tadi kelihatan gelisah, sesekali wajahnya nyengir, sepertinya dia sedang menahan sakit”
“Acting...” jawabku datar.
“Coba dong kamu perhatikan sebentar”
“Aris! Imron!” suara Pak Malik mengagetkan kami.
“Nah tuch khan,” ucapku pada Imron sambil memberi isyarat pada Imron untuk diam, dari pada harus kena damprat lagi dari Pak Malik.
Sejenak kami kembali menyimak penjelasan Pak Malik tentang kandungan isi surat al Kautsar.
“Islam sangat menganjurkan sikap kepedulian sosial. Coba simak dan renungkan isi ayat dari surat al Kautsar. Pada ayat kedua secara tegas disebutkan tentang ajaran berkurban. Itu artinya kita sebagai umat Islam harus selalu punya sikap kepedulian sosial...” penjelasan panjang dari Pak Malik.
“Ris, dengar itu khan, kasihan Roni, dia kayaknya sedang kelaparan! Andai saja aku masih punya sebungkus nasi...”
Aku pura-pura tak mendengar sindiran Imron. Aku tak berniat memberikan nasi bungkus simpananku kepada Roni, si anak bengal yang pandai akting itu. Biar saja dia kelaparan, atau apalah.
Bel pulang berbunyi. Seperti adatnya, para siswa berebut berhamburan pulang kecuali beberapa anak yang kebagian jatah piket membersihkan kelas. Aku langsung tancap gas pulang. Ada tugas lain yang telah menungguku di rumah.
“Astaga!” pekikku spontan. Nasi bungkus dalam laci meja itu ketinggalan.
Besok Imron pasti akan mengolokku habis-habisan tentang ketololanku ini. Semua ini memang akibat dari ketamakanku.
Prigi, Mei 2014
*Dimuat di majalah MPA edisi Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...