ANAK BANGSA
Cerpen: Nanang M. Safa'
Seorang laki-laki muda duduk menekur diri. Matanya menerawang jauh, menembus perbukitan yang mengitari kampungnya. Gemericik air kali Lawang seakan ikut menghujatnya.
“Apa yang bisa kau perbuat dengan ijazah sarjanamu itu?!”
“Apa yang bisa aku lakukan di sini, ahhh….” Dulah, nama laki-laki muda itu, mendesah, “Sudah hampir tujuh bulan aku kembali ke kampung ini, masih tetap begini-begini juga”
Orang-orang kampung Watulawang kebanyakan memang punya pola pikir praktis. Tidak terlalu pusing dengan pendidikan anak-anaknya. Bisa baca tulis, sudah lebih dari cukup. Mereka lebih memandang kemampuan bekerja untuk mengumpulkan uang. Memang tidak bisa dipungkiri, biar bagaimanapun, uang adalah pemegang utama dalam kehidupan manusia. Siapa yang tidak butuh dengan yang namanya uang. Kalau ada uang, rasanya hidup ini sudah tenang, ingin apapun bisa terpenuhi. Anggapan semacam inilah yang mendasari pola pikir mayoritas orang-orang kampung Watulawang. Lama kelamaan seperti menjadi tuntutan, seorang anak apalagi laki-laki, bila sudah dianggap cukup umur, harus bisa cari uang sendiri. Maka jadilah mereka perantau antar pulau bahkan sudah banyak yang merambah ke negeri orang. Hanya ada satu kata “Uang!”
Memang cara berfikirmacam itupun tidak salah. Dengan begitu mereka tidak pernah mengenal kata pengangguran yang sudah bikin pusing pemerintah. Namun kalau semua warga kampung Watulawang memiliki pola pikir macam itu, lantas bagaimana nanti nasib kampung Watulawang. Bila semua orang menganut pola hidup praktis yang mengarah pada hidup individualis macam begini, kapan kampung ini bisa maju. Apakah kemajuan hanya diukur dari munculnya rumah-rumah mentereng model kota, atau kendaraan-kendaraan bagus keluaran terbaru. Sementara pendidikan hanya cukup untuk sekedar memenuhi tuntutan tidak buta aksara! Tidak lebih.
“Ahhhh….” Dulah kembali mendesah.
Itu juga dulu yang menguatkan tekadnyauntuk mencoba menempuh jalan lain, jalan yang tidak lazim bagi orang-orang di kampungnya. Hampir tujuh tahun ia tinggalkan kampung halamannya. Berangkat ke kota dengan satu tekad; meraih gelar sarjana, menimba ilmu dan pengalaman di kota. Bergelut dengan buku, berpacu dengan waktu, akhirnya dapat ia capai juga apa yang menjadi tekadnya ketika itu. Pulang kampung dengan mengantongi selembar ijasah sarjana. Dan nyatanya dalam waktu hampir lima tahun itu, ketika dia kembali, tidak banyak perubahan yang terjadi di kampungnyaitu.
Memang, rumah-rumah tetangga kanan kirinya sudah banyak yang hampir tidak bisa dikenali, sementara rumah orang tuanya masih tetap begitu-begitu saja. Juga teman-teman kecilnya dulu, sekarang sudah hampir semuanya berkendaraan bagus produk terbaru.
“Ahhh….” Dulah lagi-lagi mendesah.
Kalau saja dulu ia ikut mereka, pasti ia sudah bisa seperti mereka, bahkan mungkin lebih dari meeka. Kawin, bikin rumah, hidup tenang di kampung. Ah, ringan sekali kedengarannya. Makanya anak-anak yang usianya jauh di bawahnya tidak perlu pusing tujuh keliling ketika mendapat tawaran kawin. Ladang uang menunggu, tidak bakalan habis. Berangkat bulan ini, tiga atau empat bulan berikutnya sudah bisa mentransfer uang sekian juta. Menggiurkan! Dan itu nyata. Tidak butuh surat lamaran berlembar-lembar. Tidak perlu ijasah tinggi-tinggi. Tidak harus menunggu lowongan sekian tahun yang belum tentu kepastiannya. Juga tidak perlu belajar mati-matian untuk bisa lulus. Gampang sekali.
Sementara ia sendiri, sekian tahun belajar mati-matian, apa kesudahannya. Menunggu angkatan pegawai negeri, antrean sudah semakin panjang. Lalu ia dapat urutan yang keberapa ribu. Belum lagi munculnya orang-orang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, kemudian menyerobot hak sesamanya dengan lembaran rupiah menggunung. Sementara usia makin bertambah, kebutuhan semakin mendesak, tuntutan hidup semakin banyak. Lalu bagaimana dengan cita-citanya dulu untuk memajukan kampung Watulawang yang dicintainya.
“Ahhh…” Dulah kembali mendesah.
Pernah mendapat tawaran nyukwan, mengajar dibeberapa sekolah swasta yang jaraknya agak jauh dari rumahnya. Upah?! Jika ditanya tentang upah, barangkali untuk beli bensin saja tak cukup. Lalu apa yang didapat?! Belum lagi kasak kusukyang didengarnya tentang gaji guru honorer yang dipangkas sana sini, atau malah tidak dibayarkan hingga sekian bulan.
"Ah, sungguh tragis nasib sarjana seperti aku ini. Tidak ada harganya sama sekali" keluh Dulah.
Pada hal konon menurut cerita bapaknya, setelah terjadi huru-hura G30S/PKI, seorang guru, apalagi guru agama sangat dihormati dan disegani. Sampai-sampai jika ada seorang guru sedang lewat, semua orang menundukkan kepala, hormat. Juga konon, jika ada seorang yang hendak mencarikan jodoh untuk anak perempuannya, gurulah yang pertama kali diincarnya. Bisa punya menantu seorang guru, adalah sebuah anugerah yang tak terhingga, juga merupakan kebanggaan tersendiri. Dan sekarang?! Jangankan ingin punya menantu guru, mendengarnyapun sudah alergi, apa yang bisa diharapkan dari seorang guru. Kata lagu, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
“Pengabdian Dul!” begitu temannya berkomentar.
“Ya, barangkali, tapi meragukan. Orang hidup butuh duit. Siapa berani bilang duit tidak penting!.
“Uang bukan yang utama! Ah kau ini Dul, kau tentu sudah lebih mengerti dari aku!”
“Barangkali juga, uang bukan yang utama. Tapi aku ragu kata pengabdian itu. Aku khawatir pengabdian itu hanya akan dijadikan alasan orang untuk tidak bersungguh-sungguh dalam bekerja, malah kata pengabdian itu mungkin akan dijadikan alasan untuk melakukan penyelewengan. Orang yang sudah jelas dibayar mahal saja masih merasa kurang, terus melakukan penyelewengan, korupsi, manipulasi dan semacamnya, apalagi yang tanpa gaji.”
“Terserah kaulah Dul!”
Pernah juga punya rencana buka usaha mandiri, dan ide-ide semacam itu. Kandas. Masalahnya sama, terbentur modal. Belum lagi kondisi geografis kampung Watulawang yang berbukit-bukit, hampir tertutup kemungkinan untuk buka usaha, paling-paling hanya buka warung kecil untuk mencukupi kebutuhan warga sehari-hari yang tak seberapa. Ada yang bilang, dengan modal dengkul bisa juga bikin usaha dengan merangkul orang-orang berduit untuk dikelola. Barangkali kalau di kota besar bisa. Namun untuk ukuran kampung Watulawang, bagai mencoba masuk ke lubang semut. Memang tidak sedikit orang berduit, tapi untuk usaha semacam itu, menurut mereka tingkat keberhasilannya kecil, bisa-bisa duitnya nyasar tidak karuan. Ada uang, beli barang, jelas kelihatan. Habis, cari lagi ke tanah rantau. Gampang dan praktis.
“Kapan kau kawin Dul?!” suara bapaknya membuyarkan lamunan Dulah.
“Ah Bapak ini, kerja saja belum, sudah ditanya kawin”
Dulah agak kikuk ketika ditanya bapaknyatentang kawin.
“Tapi teman-teman sebayamu, hampir semua sudah kawin lo Dul. Malah ada yang anaknya hampir dua”
“Mereka itu lain dari aku, Pak.”
“Yang lain itu apanya Dul?!”
“Yaaa…mereka khan pinter nyari duit untuk menghidupi anak istri. Sedangkan aku….” Agak ragu laki-laki muda itu mengucapkannya, terasa getir.
“Orang kalau sudah kawin, pintu rezekinya terbuka. Coba saja lihat si Danu, dulu juga dia lontang lantung. Eh, setelah kawin, malah bisa beli motor baru. Juga si Sabir sudah bisa bikin rumah sendiri sekarang”
Hati kecil laki-laki muda itu membenarkan kata-kata bapaknya. Belum pernah ia temui orang punya anak istri lantas tidak bisa memberi makan. Mungkin juga, Tuhan membukakan pintu rezeki orang yang mau menikah.
“Soal menikah itu gampangPak. Besokpun kalau mau bisa kok, yang penting kerja dulu”
Dulahmencoba menghibur bapaknya. Orang tua itu manggut-manggut sambil menghisap rokok lintingannya dalam-dalam. Dulah menatap bapaknya lekat, keriput-keriput di wajahnyamenampakkan garis-garis kelelahan. Sekian tahun bekerja banting tulang demi cita-cita anak lelaki satu-satunya.
Memang, orang tua ini dulunya dikenal sebagai orang cukup kaya di kampung Watulawang. Tanahnya cukup luas. Pikirannya juga cukup maju, lain dari kebanyakan orang kampungWatulawang. Maka ketika Dulah menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke kota, orang tua itu malah mendorongnya, biarpun akhirnya tanahnya hampir habis terjual untuk membiayai sekolah anaknya.
Ingat itu, Dullah merasa sangat berhutang budi, dan itu semakin memperkuat keyakinannya bahwa suatu hari nanti ia akan bisa memenuhi harapan orang tuanya, yang juga harapannya.
“Aku harus bangkit! Aku tidak boleh putus asa! Bukankah Tuhan telah memaklumatkan kepada manusia bahwa nasib manusia ada di tangannya sendiri! Mungkin Tuhan masih ingin menguji kesabaran dan kesungguhanku dalam berusaha” tekadnya.
Beberapa tahun kemudian, kampung Watulawang menjadi desa percontohan Agro Wisata. Dampaknya luar biasa. Kemajuan tampak nyata. Suasananya semarak. Tiap pagi dan siang banyak anak berseragam, menenteng tas dengan wajah ceria, melintas di atas jembatan Kalilawang.
Seorang anak bangsa tersenyum. Dialah Kades Dulah yang telah mampu membawa kecerahan kampung Watulawang.
Watulimo, Maret 2011
*Diterbitkan dalam antologi cerpen “Senja Temaran di Pantai Blado”, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...