PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Puasa Sunah

10/07/2020

Puasa Sunah

PUASA SUNAH

Cerpen: Nanang M. Safa'

     

      Ikan itu lenyap. Ikan Kakap goreng yang aku simpan rapi  dalam laci almari kayu di ruang tengah itu telah hilang. Bungkusnya acak-acakan. Pasti si Gandik yang mencuri. Sial! pasti aku tadi lupa tidak merapatkan kembali laci almari itu.

Aku bergegas mencari Gandik. Kebetulan, dia sedang mendengkur di tumpukan  jerami kering di bawah pohon rambutan.

      “Kurang ajar! Dasar pencuri sial! Rasakan ini!” aku  lempar Gandik dengan potongan sepet.

      “Meong..........!” kucing tetangga tak terurus itupun lari tunggang langgang.

      Puas! Terlampiaskan sudah sakit hatiku.

Azan Magrib tiba. Di meja dapur hanya ada dua potong tempe goreng. Andai saja ikan Kakap goreng itu ada di sini, pasti buka puasaku akan terasa nikmat. Tapi, hanya dengan tempe goreng dua potong begini apa nikmatnya. Dasar kucing sialan!

“Puas-puasin lo Kik buka puasanya”

“Puas apanya, lauknya saja cuma begini”

Puasa Senin pertamaku terasa hambar. Tak ada kesan hati jadi bersih jiwa jadi tenang, pikiran jadi terang. Padahal guru agamaku bilang, puasa Senin Kamis dapat membersihkan hati, menenangkan jiwa dan membuat pikiran jadi terang sehingga belajar jadi gampang masuk otak. Ah, boro-boro. Tapi, barangkali saja aku belum menghayati makna puasa itu karena ini baru puasa hari pertama.

Kamis tiba. Pagi-pagi ibuku sudah membuat nasi goreng. Bau sedapnya sangat menggoda selera. Kakakku langsung main santap begitu nasi diangkat dari penggorengan. Satu piring penuh. Aku melirik dengan liur yang hampir meleleh.

“Sarapan dulu Kik”

“Ah kamu, Kiki kan lagi puasa, iya kan Ki?”

Ibuku sudah mendahului. Padahal belum mantap niatku untuk melanjutkan program “pembersihan hati dan otak” lewat puasa  Senin dan Kamis itu.

“Iya Kak, habiskan saja sendiri, lagian aku sudah harus buru-buru berangkat” jawabku sekenanya.

“Jangan khawatir. Soal bersih-bersih, itu memang keahlianku, tenang saja Kik”  kakak seperti sengaja ingin menggodaku.

Ibu juga sama. Mesthinya tak usahlah membuat menu sarapan kesukaanku itu. Toch biasanya juga cuma seadanya saja. Nasi semalam plus kerupuk uyel, cukup.

“Puasa sunat memang godaannya lebih berat dibanding puasa fardlu bulan Ramadlan. Sebab kalau puasa Ramadlan semua orang Islam berpuasa, jadi lingkungannya kondusif, semua mendukung. Bahkan kantinpun tak jualan. Tapi kalau puasa sunat...” keterangan panjang lebar dari guru agamaku.

“Tapi biar bagaimanapun, kalian harus ingat, jika kalian ingin bisa menyerap pelajaran dengan gampang jangan lupa puasa Senin – Kamis. Insya Allah kalian tidak akan kesulitan memahami dan menghafal pelajaran”

Mungkin juga ya...

“Ingat lo ya, orang harus berani bersusah-susah dulu jika ingin merasakan kesenangan pada akhir perjalanannya...”

Benar juga ya...

Aku mantapkan lagi niatku untuk tetap meneruskan program “pembersihan hati dan otak”  itu, apapun godaannya.

“Kik, ke kantin yuk!”

“Tidak Ron, kamu saja sendiri”

“Wah, lagi puasa nich!”

“Ya, itu khan salah satu dari cara ikhtiar to?”

“Waduh, sejak kapan kamu jadi kayak Ustaz Jefri begini Kik. Tapi aku ikut acungi dua jempol untuk langkah kamu yang ini. Salut Kik, salut!”

Iya, ya, sejak kapan si badung Kiki  bisa ngomong begini. Ah masa bodohlah. Yang pasti perubahan itu memang sudah terjadi.

Sepulang sekolah aku berencana untuk mancing ikan di sungai yang berjarak beberapa puluh meter dari  rumahku. Itung-itung menunggu beduk Magrib. Tak lupa buku Bahasa Indonesia dan LKS-nya aku bawa serta.

Hampir dua jam setengah aku menyepi di tepi sungai itu. Lumayan juga. Dua ekor Lele gemuk dan beberapa ikan Wader sudah cukup menghibur.  Paling tidak bisa untuk tambah lauk berbuka sore nanti. Digoreng kering, disantap bareng sambal tomat terasi, nggak kebayang lezatnya. Aku bisa makan besar sore nanti.

“Dapat Kik?!”

“Siapa dulu dong...”

Apaan? Wah, digoreng saja Kik. Terus dibikinin sambal tomat dan terasi. Kebetulan hari ini ibu belanja tomat dan terasi. Jadi klop dech!”

Tanpa menunggu persetujuan dariku, kakak langsung membawa ikan-ikan itu ke belakang. Katanya mau dibersihkan. Aku tidak berusaha mencegahnya, justru sebuah keuntungan bagiku, aku tidak usah bersusah payah membersihkannya, tinggal tunggu bedug magrib, langsung santap, sedapnya...

Jam setengah empat sore, masih cukup lama waktu berbuka tiba. Mandi, shalat Asar terus bergegas ke rumah Safi’i. Ada PR yang harus diselesaikan.  Safi’i cukup bisa diandalkan untuk urusan hitung-menghitung dan rumus matematika.

Jam Enam tepat aku balik. Azan Magrib dikumandangkan bersahutan. Kakak sedang menyimak liputan berita TeVe di ruang depan –kakak memang paling suka pada liputan berita dan pertandingan sepak bola-. Kalau sudah memelototi dua acara favoritnya itu, kakak kelihatan seriusnya, padahal kakak itu orangnya paling sulit diajak serius. Bahkan untuk urusan kuliahpun kakak terkesan main-main. Tapi anehnya, tak ada urusan yang tak beres di tangan kakak. Ini yang membuat aku heran.

Aku segera ke meja makan. Terbayang nikmatnya makan Lele goreng hasil tangkapan sendiri. Orang bilang, paling nikmat kalau bisa merasakan hasil jerih payah sendiri. Pasti! Apalagi ini ikan alami, tidak tercemari rekayasa teknologi yang serba instan. Konon zaman sekarang untuk mendapatkan makanan yang alami saja sulitnya minta ampun. Semuanya, tak terkecuali ikanpun sudah menggunakan bahan kimiawi yang sudah pasti berbahaya bagi kesehatan.  Katanya sich demi kepraktisan. Makanya tidak heran lagi sekarang muncul berbagai penyakit aneh yang dari namanya saja sudah cukup merindingkan bulu kuduk.

Astaga! Apa ini?! Mana itu Lele gemuk yang aku impi-impikan. Pasti kakak!

“Aduh Kik, maapin kakak ya, tadi pas kakak  goreng ikannya, Didi, teman kakak ke sini. Dan Didi itu orangnya kan paling gemar sama yang namanya Lele. Jadi kakak nggak bisa nolak ketika Didi pengin ngicipi Lele kamu itu. Maapin kakak ya Kik. Kapan-kapan kakak ganti dech

“Ya... mau apa lagi, biar diapakan juga nggak bakalan balik”  jawabku kesal. Rasa mangkal di dada cukup membuat aku kehilangan selera makan. Baru beberapa suapan, aku tinggal begitu saja.

Puasaku hari ini lagi-lagi berbuah sial.

“Kalian harus ingat, menurut ketentuan, standard kelulusan dari tahun ke tahun terus dinaikkan, artinya kalian tidak bisa bersantai-santai jika tidak ingin gagal dalam ujian nanti"

“Apa yang harus kami lakukan untuk bisa mendapatkan nilai lebih itu Pak?!” Aris angkat bicara dari tempat duduk pojok belakang.

“Ya sudah pasti belajar to” jawab Pak Puguh tegas.

“Selain belajar, apa lagi Pak?!” sambung Dinar dari deretan depan.

Pak Puguh tidak segera menjawab. Pak Puguh menyapukan pandangan ke seluruh ruangan, seakan ingin mengenali kembali anak-anak didiknya lebih dalam.

“Begini, biar bagaimanapun manusia itu tidak bisa lepas dari campur tangan Tuhan. Apapun yang bakal terjadi dan dialami manusia itu, semuanya ada dalam catatan Tuhan. Pasti Bu Mardliyah, guru agama kalian sudah sering menjelaskan tentang itu”

Suasana kelas hening.

 “Perbanyak do’a, sebab pada hakekatnya do’a itu adalah cerminan dari sikap optimis kita terhadap apa yang kita inginkan. Dan jangan lupa, untuk dapat menciptakan harmonisasi atau keseimbangan antara ikhtiar dan do’a itu ada satu cara jitu yaitu dengan gemar melakukan puasa, sebab puasa itu pada hakekatnya adalah untuk pembersihan hati dan pikiran dari segala hal yang menodai sehingga membuat kita sulit menangkap ilmu pengetahuan dan kebenaran”

Aku terhipnotis.

“Hati dan pikiran itu ibarat cermin. Jika lama tak dibersihkan akan semakin tebal debu menempel, akibatnya semakin kabur pula gambar yang dipantulkan. Dan salah satu cara untuk membersihkan hati dan pikiran adalah dengan berpuasa, termasuk puasa Senin dan Kamis yang juga sangat dianjurkan Rasululloh Muhammad SAW. Ingat lo ya, syaratnya harus iklash”

Nah ini dia, iklash!. Selama ini pasti aku belum berpuasa secara iklash! Makanya puasaku selalu saja berbuah sial.

 

Watulimo, Januari 2012

 

 

*Dimuat di majalah MPA Surabaya edisi April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...