“KIDS JAMAN NOW”
POTRET
GENERASI ERA DIGITAL
Oleh: Nanang M. Safa'
Perkembangan iptek
telah merambah ke seluruh belahan bumi. Hasil temuan manusia-manusia jenius
telah malahirkan teknologi mutakhir yang disebut dengan alat-alat digital. Kita
tak bisa lagi menghindar dari arus digitalisasi. Fasilitas internet yang
begitu mudah didapat tentunya juga ikut mempengaruhi pola pikir dan perilaku
anak-anak kita. Akhir-akhir ini di media sosial (medsos) muncul istilah yang
sangat viral yakni “Kids Jaman Now”. Ada apa di balik viralnya istilah
tersebut?
Dari
susunan kalimatnya saja sebenarnya sudah tak sesuai aturan. Coba baca
baik-baik, kalimat “kids jaman now”
itu tersusun dari tiga kata yang campur aduk antara bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Itupun dalam penulisannya juga ada yang salah yakni pada kata
“jaman” –tulisan yang benar mesthinya “zaman”-.
Kids
jaman now diartikan
sebagai “anak-anak jaman sekarang” atau “anak-anak masa kini” sesuai rangkaian
tiga kata yang tersusun di dalamnya. Apakah yang salah dengan anak zaman
sekarang? Dan apa hubungannya dengan perkembangan dunia digital?
Ketika
kita ketikkan kalimat “kids jaman now” di search angine, maka
akan muncul uraian, gambar meme, foto, dan video hasil kreasi banyak
orang (dan kebanyakan para abg sebagai subyek utama kids jaman now).
Kebanyakan dari hasil pencarian itu menggambarkan gaya, ulah, dan ungkapan kata
yang kadang bikin miris, terutama orang tua –dalam istilah anak zaman sekarang
disebut “kids jaman old”-. Padahal mestinya tidak demikian. Sebab makna
dari kids jaman now itu sendiri tidak selamanya negatif. Ada sisi-sisi
positif yang sangat mendukung perkembangan remaja sebagai subyek utama kids
jaman now. Banyak istilah dan meme bersliweran sebagai gambaran terhadap
kids jaman now; generasi micin, generasi karbitan, anak nyleneh, anak
tak mengenal etika, anak tak tahu malu, dan semacamnya. Hal-hal semacam inilah yang menjadikan kids
jaman now akhirnya lebih cenderung dimaknai negatif. Padahal kids jaman
now itu sejatinya tidak melulu berbau negatif namun banyak pula yang
bermuatan postif.
Banyak dari
anak zaman sekarang yang bisa mengukir prestasi mengagumkan di berbagai bidang.
Tengok saja misalnya, Sri Izzati atau Erisca Febriani yang bisa
menjadi penulis novel best seller di usia remajanya. Atau Joey
Alexander Sila, seorang pianis cilik
berbakat yang mampu mempesona seniman musik internasional dengan permainan
pianonya. Juga Perdana Putra Minang yang di usia remajanya telah mampu
menjuarai berbagai kejuaraan balap kelas dunia. Jadi
ternyata kids jaman now itu generasi yang hebat khan?
Paling Utama adalah Belajar
Kunci
utama kesuksesan adalah ilmu pengetahuan. Dan untuk orang-orang sekelas kita yang
tidak jenius ini, cara paling mungkin untuk mendapatkan ilmu pengetahuan adalah
dengan belajar. Jaman now (baca: zaman sekarang) yang
sudah dikuasai teknologi tentunya membuka peluang tak terbatas bagi anak dan
para remaja khususnya, untuk menggali dan menyerap ilmu pengetahuan itu
sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Dunia sekarang adalah dunia tak terbatas.
Jika dulu untuk mengetahui benua Amerika saja harus tekun memelototi atlas
atau globe, maka sekarang tinggal klik internet, semuanya akan langsung
hadir di depan mata, lengkap dengan segala hal yang kita butuhkan. Itulah
hebatnya zaman sekarang.
Namun
sepertinya kemudahan-kemudahan ini tidak banyak yang mau memanfaatkannya.
Justru yang terjadi adalah membuat anak zaman sekarang terserang uforia bahkan
ada yang terbuai dengan fasilitas internet yang melenakan. Akhirnya yang
dikedepankan adalah gaya urakan, sikap slengekan, perilaku menyimpang, dan
tutur kata keblablasan. Kebebasan dan kemudahan berekspresi dijadikan dalil
untuk melanggar batas-batas etika. Makanya akhirnya yang mengemuka bukan ukiran
prestasi yang membanggakan sebagai cerminan anak zaman sekarang yang smart,
namun justru ungkapan ekspresif yang berlebihan dan tak kenal batas
kesopanan.
Orang Tua Jangan Sampai
Gagap Teknologi
Menjadi
orang tua di era digital tentu sangat beda jauh dengan orang tua jaman dulu. Zamannya
memang sudah berbeda. Sekarang sudah bukan zamannya lampu ublik.
Sekarang juga bukan lagi zamannya bajak sawah dengan tenaga kerbau. Jika kita
sebagai orang tua masih tetap kukuh dengan prinsip-prinsip lama yang memang
sebagian sudah ketinggalan zaman, maka dengan sendirinya kita tidak akan mampu
menjadi orang tua yang survive. Anak-anak kita akan semakin menjauh dari
kita, dan akibatnya kita seakan tidak lagi memiliki mereka. Hal yang
mengkhawatirkan adalah ketika mereka lepas bebas dari pengawasan kita karena
menganggap kita ini kuno, maka jangan lantas terkejut ketika mereka melakukan
hal-hal di luar dugaan kita. Ada anak yang ketika di rumah tampil sebagai anak pendiam
dan penurut, namun ternyata di luar menjelma menjadi anak-anak yang bikin
kening berkerut.
Orang tua
memang tidak harus menguasai teknologi setara dengan kemampuan anak. Namun
setidaknya orang tua juga tidak boleh gagap teknologi. Melarang anak-anak
menjauh dari teknologi tentu hal yang mustahil. Namun membiarkan mereka terlalu
larut dalam balutan teknologi juga bukan hal yang bijaksana. Orang tua tentu
punya seribu cara untuk bisa menjadi orang tua yang bijaksana tanpa kehilangan
wibawa di mata anak-anaknya. Orang tua tetap bisa menjadi figur ideal untuk anak-anaknya
sekaligus menjadi sahabat paling dirindukan oleh anak-anaknya. Hal ini tentu
tidak semudah menulis kata di selembar kertas. Butuh usaha dan tindakan nyata
dengan terus belajar dari kejadian dan pengalaman yang ada. Marilah
berikhtiar!
*Dimuat di majalah Sketsa, Vol.
002/Maret/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...