BACALAH DAN MARI SALING MENGINGATKAN
Oleh: Nanang M.
Safa'
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia.
Yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al Alaq: 1-5)
Perintah pertama yang diserukan Allah kepada manusia adalah perintah membaca. Dalam lima ayat yang diturunkan pertama kali yang menandai kerasulan Muhammad SAW yaitu surat al 'Alaq ayat 1-5, lafal iqra' yang bermakna "bacalah" diulang hingga dua kali. Ini mengindikasikan bahwa membaca memiliki arti sangat penting bagi kehidupan manusia.
Perintah membaca pada peristiwa tersebut memang lebih ditekankan pada makna tekstual bahwasanya Muhammad yang ummi (tidak mampu baca tulis) disuruh (baca: dipaksa) Jibril untuk membaca kalimat-kalimat suci firman Allah SWT (ayat-ayat qauliyah). Maka atas kehendak Allah jualah pada akhirnya Nabi Muhammad dapat membaca dengan fasih dan lancar. Bahkan tidak hanya sekedar membacanya melainkan Muhammad dapat menyelami makna terdalam dari bacaan tersebut.
Membaca dalam konteks kehidupan yang lebih luas adalah membaca segala hal yang bisa dibaca (ayat-ayat qauniyah), termasuk membaca musim, membaca kondisi sosial masyarakat juga membaca fenomena alam yang akhir-akhir ini sering tidak bersahabat. Tentu saja membaca yang dimaksudkan di sini bukanlah sekedar membaca tanpa pemahaman namun lebih ditekankan pada membaca secara kritis sehingga dari kegiatan membaca tersebut dapat memahamkan seseorang pada apa yang tersurat dan pada akhirnya dapat menangkap makna yang tersirat.
Pada aktifitas membaca, sebagian besar potensi manusia ikut dilibatkan baik aspek inderawi, pikiran maupun emosi. Dengan demikian, membaca dapat merubah posisi pasif (sekedar menerima) kepada posisi aktif (ikut terlibat sebagai subyek). Dengan kata lain, dengan membaca diharapkan potensi manusia dapat dipergunakan secara optimal sehingga pada akhirnya manusia terlatih untuk kritis dalam menyikapi segala problema hidup yang muncul baik dalam konteks pribadi maupun sosial kemasyarakatan.
Membaca Fenomena Alam
Sekarang marilah kita mencoba mengkritisi fenomena alam yang sering melanda tanah air tercinta Indonesia, mengapa akhir-akhir ini alam Indonesia tidak henti-hentinya dilanda musibah. Bagi seseorang yang enggan membaca fenomena alam tersebut, maka dengan enteng akan berkata "memang sudah nasib" atau ucapan sejenis yang bernada pasrah atau justru mengarah pada kesimpulan tentang ketidakadilan Sang Khaliq. Padahal bukankah Allah sendiri telah memaklumatkan kepada manusia bahwa bencana alam yang terjadi adalah akibat ulah manusia sendiri, sebagaimana firman Allah dalam surat ar Rum ayat 41 yang artinya:
“Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar Rum ayat 41).
Lihatlah betapa kerusakan alam Indonesia sudah sedemikian parahnya sedangkan kita hanya bisa melontarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat pembelaan diri dan cuci tangan dari kesalahan yang ada. Padahal secara sadar atau tidak, secara sengaja atau tidak, kita juga ikut andil membiarkan perusakan alam tersebut di depan mata kita, tanpa mau berbuat apa-apa atau sebenarnya kita mau namun merasa tidak mampu.
Tugas Manusia sebagai Khalifah
Manusia adalah khalifah fil ard (pemimpin di muka bumi). Tugas utama manusia sebagai khalifah adalah mengolah dan mengelola alam. Alam seisinya ini diciptakan Allah semata-mata untuk kepentingan manusia, bukan untuk yang lain. Dalam surat al Baqarah ayat 29, Allah SWT menyatakan: "Dialah Allah yang menciptakan sesuatu apa yang ada di bumi ini untukmu (untuk diambil manfaatnya)" (QS. Al Baqarah ayat 29).
Pada ayat tersebut jelas ditegaskan bahwa manusia diberi hak penuh oleh Allah untuk mengambil manfaat dari bumi dan seisinya. Namun demikian bukan berarti manusia bebas sesuka hati untuk berbuat semau-maunya. Perusakan hutan dan pembalakan liar adalah satu contoh paling nyata yang menggambarkan egoisme dan keserakahan manusia. Keuntungan yang diperoleh segelintir orang akibatnya harus ditanggung sekian juta orang. Bukankah ketika hendak menurunkan bencana, Allah tidak lantas memilih-milih dulu, namun semuanya harus ikut merasakan kedahsyatan bencana tersebut. Kebakaran hutan, banjir bandang, kekeringan dan kekurangan air yang melanda hampir seluruh wilayah nusantara, bencana lumpur di Sidoarjo, dan cukup banyak kasus lain yang membuat hati miris, merupakan musibah akibat keserakahan manusia. Dan justru seringkali pula orang-orang serakah yang berbuat kerusakan tersebut masih bisa tertawa-tawa dan melontarkan pernyataan-pernyataan sebagai seorang bijak. Na'udzubillah!
Marilah Saling Mengingatkan
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, tentunya kita tidak cukup hanya berpangku tangan atau justru hanya melontarkan hujatan yang tidak berujung pangkal. Tindakan demikian adalah tindakan yang kontra produktif dan tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah malah sebaliknya akan memunculkan masalah baru yakni permusuhan dan konflik berkepanjangan.
Nah di sinilah sebenarnya manusia mempunyai misi yang sama untuk saling mengingatkan. Namun untuk menjalankan misi itu rupanya tidak semudah mengucapkannya di ujung lidah. Seringkali kita merasa tidak mampu untuk melakukannya. Padahal sesungguhnya seseorang yang merasa tidak mampu belum tentu dia benar-benar tidak mampu. Tidak bijak kiranya jika kita terburu-buru memvonis diri kita selemah itu. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar sesuai tingkat kemampuan dan peran kita masing-masing. Bukankah Allah sendiripun menyuruh kita melakukan sesuatu semampu kita?
Memang benar, tugas untuk memberi peringatan bukanlah tugas yang mudah dan ringan sebab jika saja tugas ini masuk dalam kategori tugas ringan, tentu saja hanya memerlukan beberapa orang saja untuk mengembannya. Namun mengingat begitu beratnya tugas sebagai "pemberi peringatan" tersebut maka setiap manusia memiliki tugas dan tanggung jawab sama untuk menjalankannya. Bahkan tidak salah jika tugas mulia ini masuk dalam tugas jihad yang membutuhkan keberanian lebih untuk melakukannya. Sedangkan mengenai hasil akhir dari tugas ini bukanlah urusan kita melainkan adalah urusan Allah sendiri.
Bentuk peringatan yang dapat kita lakukan tentunya juga sangat beragam. Memberikan saran dan nasehat dengan cara-cara bijak atau bisa juga lewat buku-buku bacaan, atau dengan melakukan kampanye pelestarian lingkungan hidup, gerakan menanam sejuta pohon dan sejenisnya. Atau bisa juga dengan cara yang lebih keras dengan menangkap, mengadili dan menghukum berat si pembuat kerusakan, jika memang cara itulah yang bisa dilakukan. Atau barangkali saja kita cukup menjadi orang-orang yang memiliki iman yang lemah karena kita hanya mampu mendoakannya saja, tanpa melakukan aksi nyata dari do'a kita tersebut? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah Muhammad SAW menyatakan: “Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu maka dengan lisannya. Kemudian jika ia tidak mampu maka dengan hatinya. Sedangkan (mengubah dengan hati) itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
*Dimuat di majalah MPA Surabaya/17/392/2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...