UNBK
HARGA MATI
Oleh: Nanang M. Safa'
Simulasi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK)
sudah mulai digelar. Pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggara
pendidikan nasional sepertinya tidak akan melakukan langkah mundur dalam
pelaksanaan UNBK. UNBK merupakan harga mati. Dunia pendidikan tidak boleh
ketinggalan teknologi dan UNBK-lah jawabannya. Ini tentu sudah sangat tepat.
Selain bisa meminimalisir anggaran, UNBK tentu bisa meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan yang disinyalir selalu saja terjadi dalam pelaksanaan
Ujian Nasional Pensil dan Kertas (UNPK) yang selama ini dilaksanakan. Biarpun untuk
Tahun Pelajaran 2016/2017 yang lalu tidak semua sekolah/madrasah bisa
melaksanakan UNBK, namun Tahun Pelajaran 2017/2018 ini pemerintah sepertinya
bertekad bulat untuk melaksanakan UNBK pada semua sekolah/madrasah di seluruh
wilayah Indonesia. UNBK sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas Ujian Nasional
dari segala sisi. Selain itu hasil dari UNBK akan dijadikan rujukan untuk
melakukan pemetaan terhadap capaian pendidikan secara nasional.
Tulisan ini bermaksud menyampaikan temuan riil di
lapangan terutama berkenaan dengan pelaksanaan UNBK. Penulis sebagai guru yang
diberi tugas sebagai pengawas UNBK yang secara langsung berada di ruang ujian, tentu
punya banyak kesempatan untuk mengadakan pengamatan pada pelaksanaan UNBK.
Tulisan ini tentu bermanfaat bagi para pengambil kebijakan sebagai bahan masukan
untuk perbaikan pelaksanaan UNBK, terutama untuk sekolah/madrasah penyelenggara
UNBK yang berada di wilayah “pinggiran”.
Temuan
di Lapangan
Beberapa temuan yang sempat penulis catat antara
lain menyangkut penataan ruang UNBK. Ini menjadi temuan paling menyolok. Persyaratan
ruang UNBK yang layak sebagaimana diatur dalam Pedoman Teknis penyelenggaraan
UNBK adalah jarak antar meja peserta minimal 1 meter. Maksud dari pengaturan
ini sudah pasti untuk mengondisikan siswa peserta UNBK agar lebih mandiri
(meminimalisir kecurangan) dan memudahkan kepengawasan. Kenyataan yang penulis
temui di ruang UNBK yang penulis awasi (dan berdasar informasi dari beberapa
teman pengawas, juga banyak terjadi di sekolah/madrasah lain), jarak antar peserta
tidak lebih setengah meter. Alasan yang mengemuka adalah karena keterbatasan
ruangan di sekolah/madrasah bersangkutan. Satu ruang yang idealnya hanya bisa digunakan
untuk 20 peserta, harus dihuni 34 – 40 peserta. Tentu ini sebuah hal yang
bertolak belakang dengan tujuan penyelenggaraan UNBK yang diinginkan
pemerintah.
Penataan tempat duduk peserta yang terlalu dekat ini
tentulah sangat berpengaruh terhadap obyektifitas hasil UNBK. Antar peserta
dengan leluasa bisa saling berkomunikasi. Pengawas UNBK yang sebenarnya
memiliki tanggung jawab besar terhadap “ketenangan” ruang ujian, juga tidak bisa
berbuat banyak untuk bisa menjaga ketenangan ruang ujian tersebut, yang ada
justru harus berupaya keras untuk menjaga stabilitas emosinya agar tidak lepas
kontrol melihat sikap tidak tenang dari peserta ujian yang diawasinya. Akhirnya
suasana ujian tidak menggambarkan suasana ujian yang sebenarnya, sesuai pesan
yang tertulis pada spanduk ketika memasuki lokasi ujian “Harap Tenang, Ada
Ujian”.
Temuan yang lain berkenaan dengan kesiapan teknis yakni
padamnya aliran listrik. Kejadian ini tentu membuat pihak sekolah penyelenggara
panik. Genset yang disiapkan, yang sebelumnya sudah diuji coba dan tidak
ada masalah, ternyata ketika benar-benar dibutuhkan, justru ngadat. Petugas PLN
yang dihubungi juga tidak bertindak cepat ketika dilapori pihak sekolah. Akibatnya
penyelenggaraan UNBK sesi I harus mundur hingga hampir satu jam. Dampak dari
penundaan ini terutama pada psikis para peserta UNBK. Mereka yang sebelumnya
begitu bersemangat, akhirnya mengalami anti klimaks sebelum ujian dimulai. Dan akibat
gangguan ini tentu juga berimbas pada penyelenggaraan sesi berikutnya (UNBK
dilaksanakan 3 sesi setiap harinya pada masing-masing mata pelajaran).
Hal teknis lain yang juga sempat mengganggu
kelancaran UNBK adalah terjadinya down jaringan yang mengakibatkan
komputer error sehingga mengganggu kerja proktor sebagai pemegang
kunci utama kesuksesan penyelenggaraan UNBK.
Perlu
Upaya Keras dari Sekolah Penyelenggara
Upaya pemerintah untuk bisa menyelenggarakan UNBK
pada Tahun Pelajaran 2017/2018 sepertinya sudah cukup baik, semisal adanya
jaminan tidak terjadinya kebocoran soal atau pembajakan sistem oleh peretas.
Pemerintah pusat telah mengantisipasinya sedemikian rupa, sehingga data-data
sudah tersinkronkan. Soal UNBK tidak bisa dibuka tanpa password
yang hanya bisa dimunculkan ketika sudah masuk jam UNBK dimulai.
Namun upaya ini tentu akan bertepuk sebelah tangan
jika pihak sekolah/madrasah sebagai penyelenggara UNBK tidak berupaya keras
untuk bisa melaksanakannya sesuai Prosedur Operasional Standar (POS) yang telah
digariskan. Memang, sejak awal banyak sekolah/madrasah “pinggiran” yang merasa
“dipaksa” untuk menyelenggarakan UNBK. Jika demikian adanya, kesimpulannya
selaras dengan yang dilontarkan Ki Supriyoko (Jawa Pos, Selasa, 2 Mei 2017)
bahwa UNBK belum bisa dijadikan acuan untuk pemetaan mutu sebuah
sekolah/madrasah, apalagi untuk lingkup nasional.
*)Dimuat
di majalah “Suara PGRI Trenggalek, bulan Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...