PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA

30/05/2015

Remaja Smart = Remaja Taat Aturan

REMAJA SMART = REMAJA TAAT ATURAN

Oleh: Nanang M. Safa'

 

Kita tentu sudah tidak asing lagi mendengar kata aturan, peraturan, norma, tata tertib, dan undang-undang. Secara umum semua kata itu memiliki inti makna yang sama yakni sesuatu yang menuntut untuk ditaati, dan bagi pelanggarnya akan mendapatkan sanksi. Undang-undang lalu lintas, norma sosial, hukum agama, hingga tata tertib di sekolah, semua bersifat mengikat dan bersanksi. Aturan atau hukum tersebut dibuat dimaksudkan untuk membentuk kondisi agar bisa tertib dan kondusif sehingga tujuan yang diinginkan bisa tercapai sesuai target “maksimal”. Namun seringkali fakta di lapangan bertolak belakang dengan konsep yang “indah” di atas kertas. Dengan berbagai dalih untuk melegitimasi tindakan yang dilakukan, warga yang terikat peraturan melakukan pelanggaran.

Kesadaran untuk menaati tata tertib atau aturan hukum bermula dari suatu keyakinan yang ditimbul dalam diri individu maupun masyarakat bahwa aturan yang dibuat bertujuan menciptakan kondisi yang baik. Dengan munculnya kesadaran seperti ini maka dengan sendirinya akan tercipta moral individu dan masyarakat yang taat hukum.

Contoh paling sederhana adalah ketika di sekolah ditetapkan larangan bagi siswa membawa sepeda motor ke sekolah. Ketika ada siswa yang melanggar maka dengan enteng mereka beralasan bahwa mereka telah direstui orang tuanya untuk membawa sepeda motor ke sekolah karena orang tua mereka sibuk dengan pekerjaannnya. Dan ternyata ini seringkali juga klop dengan alasan yang dikemukakan orang tua mereka; tidak punya waktu, tidak sempat, dan alasan-alasan senada. Kemudian ketika secara tidak sengaja terjadi “musibah” (baca: kecelakaan) dan harus melibatkan orang tua, barulah mereka mengungkapkan penyesalannya atas apa yang dilakukan.

Padahal peraturan tidak boleh membawa sepeda motor ke sekolah bagi siswa SLTP ini selaras dengan undang-undang lalu lintas. Prasyarat untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM) adalah usia 17 tahun. Sedangkan para siswa SLTP paling banter baru 14 atau 15 tahun. Fakta lain yang sering ditemui adalah para siswa yang membawa sepeda motor ke sekolah tidak lantas masuk sekolah pada awal waktu bel pelajaran pertama, namun justru mereka terlambat. Ini adalah gejala negatif yang membahayakan. Maka bagi sekolah-sekolah (tingkat SLTP) yang membolehkan siswanya membawa sepeda motor ke sekolah kiranya perlu juga meninjau ulang aturan yang telah terlanjur digulirkan. Demikian juga pihak berwajib (dalam hal ini pihak kepolisian) perlu juga memberikan tindakan tegas terhadap para siswa yang nekad membawa sepeda motor ke sekolah. Minimal sebagai schock terapy terhadap siswa lain agar tidak ikut-ikutan. Orang tua semestinya juga bisa mengerti bahwa aturan ini diberikan dengan satu tujuan demi anak-anak mereka, dan pada akhirnya demi mereka juga. Jika aturan ini ditegakkan sudah pasti angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya akibat pelanggaran lalu lintas yang ditengarahi lebih dari 6o% dilakukan oleh para remaja bisa ditekan seminimal mungkin.

Remaja adalah kata yang mengandung beragam konotasi tergantung dari mana dan siapa yang memandangnya. Para remaja adalah harapan orang tua. Bahkan dalam lingkup yang lebih luas para remaja adalah harapan bangsa dan negara. Hal ini bisa dipahami sebab pada tangan merekalah nasib sebuah negara ditentukan. Remaja yang nota bene generasi akan datang adalah harapan sekaligus kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri mereka dengan karakter yang baik agar mereka pada saatnya benar-benar siap mengemban amanat yang dipikulkan di pundaknya.

Kritik dan kekhawatiran bukan jalan pemecahan yang baik, justru itu akan membentuk persepsi pada diri remaja sehingga mereka akan menjelma menjadi remaja-remaja apatis dan serba salah. Apalagi dengan munculnya berbagai anggapan miring dari sebagian kelompok masyarakat yang selalu dijejalkan ke telinga remaja tiap hari, bahwa remaja adalah biangnya sikap pemberontakan, tidak punya sopan santun, semau-maunya, tidak taat peraturan dan sejenisnya yang bermuara pada kesimpulan bahwa mereka adalah “anak-anak nakal”. Orang-orang dalam kelompok ini akan menjaga jarak dengan remaja-remaja karena berhubungan dengan mereka hanya akan menimbulkan masalah. Anggapan dan tindakan semacam ini justru akan membuat remaja semakin asyik dengan peer-group (kelompok sebayanya), dan semakin jauh dengan lingkungan sosialnya. Dan pada akhirnya mereka akan menciptakan dunia mereka sendiri dengan melakukan “aksi-aksi tidak lazim” untuk menunjukkan eksistensi diri dan kelompoknya, seperti pelanggaran tata tertib, bahkan tidak jarang pula melakukan tindakan kriminalitas.

Beda dengan kelompok masyarakat yang memiliki pandangan positif terhadap keberadaan remaja. Justru mereka berupaya keras untuk memaksimalkan peran remaja yang memang merupakan masa produktif karena mereka memiliki semangat dan energi luar biasa untuk berkreasi dan menghasilkan karya luar biasa pula, sesuai bakat dan minat mereka masing-masing. Pada prinsipnya mereka menganggap remaja adalah batu permata yang hanya memerlukan polesan agar kelihatan berkilau dan memiliki nilai jual yang tinggi pula. Memang butuh pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, ketekunan, kepiawaian, keahlian dan kesabaran yang tinggi untuk dapat memolesnya menjadi permata yang jadi incaran setiap orang.

Memang, ada remaja yang mengabaikan aturan untuk melihat sampai sejauh mana mereka bisa lolos. Misalnya, jika orang tua mengatakan bahwa akan ada sanksi untuk suatu perbuatan salah, seorang remaja mungkin mencoba-coba melanggar batas itu untuk melihat apakah orang tuanya akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakan. Apakah remaja seperti itu adalah pemberontak yang keras kepala? Belum tentu. Faktanya, remaja lebih besar kemungkinannya melanggar aturan jika orang tua tidak konsisten dalam menegakkannya atau sewaktu batas tidak dibuat jelas. Remaja adalah masa berpetualang yang suka tantangan. Petualangan itu tidak jarang pula dirupakan dalam bentuk ‘mencoba-coba’ melanggar tata tertib. Siswa di sekolah misalnya, suka melakukan aksi pelanggaran untuk menunjukkan “inilah aku! berani mendobrak aturan!”. Remaja akan sangat takut dikatakan pengecut atau cemen oleh teman sebayanya ketika menjadi remaja baik-baik. Maka sering ditemui seorang remaja yang dulunya merupakan anak baik dan penurut, setelah mulai berkumpul dengan teman-teman dalam peer-groupnya, akhirnya menjelma menjadi remaja bandel, suka menentang, sulit diatur, berani terhadap guru, dan seabrek status negatif lainnya. Dan remaja seperti ini akan jauh lebih sulit dikendalikan dibanding remaja yang memang dari awalnya sudah memiliki ‘bakat’ sok pemberani.

Namun demikian, kita harus tetap positif thinking terhadap keberadaan remaja. Masih lebih banyak remaja smart yang memiliki kepedulian terhadap diri dan lingkungannya. Salah satu indikasi remaja smart adalah ketaatan mereka terhadap peraturan. Mereka tahu dan paham betul bahwa peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan, ketertiban, kedisiplinan, dan kebaikan.  Dengan kondisi yang serba teratur, tertib, disiplin, dan baik inilah mereka bisa menikmati hidup dalam damai. Dan dalam kondisi damai inilah mereka bisa belajar dengan tenang, bisa kompetisi secara sehat untuk meraih prestasi, serta bisa bereksplorasi, berkreasi dan berinovasi. SUKSES REMAJA SMART!@

 

16/04/2015

Ibu, Satu Kata Sejuta Makna

IBU, SATU KATA SEJUTA MAKNA

Oleh: Nanang M. Safa'

Ribuan kilo, jarak yang kau tempuh
Lewati rintangan demi aku anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…
Ibu…ibu…

Cuplikan syair lagu yang pernah ditulis dan dipopulerkan oleh Iwan Fals, seorang penyanyi lagu-lagu balada di era 80-an tersebut benar-benar sangat menyentuh perasaan. Syair tersebut cukup mampu menggambarkan betapa besarnya arti seorang ibu bagi kita. Iwan sendiri ketika menciptakan lagu itu tentu sadar betul betapa berjuta sanjunganpun tak akan pernah mampu menggambarkan besarnya jasa seorang ibu.

Betapa tidak? Ibu kitalah yang telah bersusah payah selama sembilan bulan lebih mengandung kita dalam rahimnya. Semakin hari kandungan itu semakin besar hingga tidurpun tak bisa nyaman karena harus menanggung beban berat yang terus menggelayutinya. Seringkali selera makan pun jadi hilang gara-gara rasa mual yang sering mendera, namun betapapun lantaran kasih sayangnya kepada janin di kandungannya, sang ibu rela memaksa diri untuk tetap makan. Lalu tibalah detik-detik perjuangan bertaruh nyawa di medan persalinan yang melelahkan. Tetesan keringat, darah dan air mata berbaur dengan jeritan dan nafas memburu, harap-harap cemas antara hidup dan mati. 

Sudah cukupkah perjuangan ibu sampai di situ?

Ternyata belum.

Dari balita hingga remaja, kehadiran seorang ibu tidak bisa tergantikan. Menyusui, menyuapi, merawat, membimbing, menina-bobokkan, dan hampir semua pekerjaan berkenaan dengan si kecil, ibulah yang mengambil porsi paling besar. Ibu pulalah yang dengan telaten dan tekun mengajari si kecil mulai belajar tertawa, menyapa, berjalan hingga bisa berlari. Ibu tak pernah mengeluh ketika si kecil ngompol di tengah malam. Ibu juga tak pernah marah ketika si kecil rewel padahal mestinya tubuhnya juga sangat penat karena harus mencuci, memasak, dan seabrek urusan rumah yang melelahkan. Maka sangat tepat kiranya penghargaan tertinggi diberikan kepada seorang ibu. 

Rasulullah Muhammad SAW juga sangat menghargai keberadaan seorang ibu. “Sorga di bawah telapak kaki Ibu” adalah sebuah ungkapan nan indah yang menggambarkan betapa sangat beruntungnya si anak jika saja ia bisa menghargai dan berbakti pada ibunya. Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya seorang sahabatnya tentang kepada siapa kita pertama kali harus berbakti? Rasulullah SAW dengan tegas menjawab “Ibumu” dan jawaban itu diulang hingga tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW baru mengatakan “Bapakmu”. Subhanallah. Betapa tingginya penghargaan Rasulullah SAW atas keberadaan seorang ibu. 

Pada sisi lain, jika seorang anak membuat sang ibu tidak ridla (baca: marah), tentu laknat Allah akan mengancamnya. Ingat kisah nyata Al Qamah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang cukup taat dalam beribadah kepada Allah. Namun di saat-saat menghadapi sakaratul maut, Al Qamah begitu tersiksanya dan seakan nyawa itu enggan meninggalkan raganya gara-gara Al Qamah masih memiliki "hutang" kesalahan di masa lalu yang belum terbayarkan kepada ibunya akibat bujuk rayu istrinya. Baru setelah melalui negosiasi yang cukup alot, restu itu diperolehnya juga, dan akhirnya Al Qamah bisa meninggal dengan mudah.

 

Selintas Sejarah Hari Ibu

Gema Sumpah Pemuda dan lantunan lagu Indonesia Raya yang digelorakan dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, menggugah semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri. Maka pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta yang salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI). Melalui PPPI inilah akhirnya terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang dinamis. Selanjutnya pada tahun 1929 Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII), yang pada tahun 1935 mengadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.

Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkansebagai Hari Ibu. Dan selanjutnya dikukuhkan oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, yang menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan salah satu hari nasional dan bukan hari libur. Tahun 1946 Badan ini berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia di singkat KOWANI, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.

Semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia tersebut sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu berupa setangkai bunga melati dengan kuntumnya, yang menggambarkan: Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak; Kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak; Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara.

Jadi jelaslah bahwa ditilik dari latar sejarahnya, peringatan hari ibu di Indonesia tidak mengacu pada Mother’s Day yang digemakan negara-negara Barat, biarpun ada kesamaan dalam kemasan penghargaan kepada wanita (ibu).

18/03/2015

Go Green! Hijau Bumiku, Damai Jiwaku


GO GREEN!

HIJAU BUMIKU, DAMAI JIWAKU

Oleh: Nanang M. Safa'


 “ZAMRUD KHATULISTIWA”, inilah julukan membanggakan yang disematkan pada negeri kita Indonesia tercinta. Penyematan ini bukan tanpa alasan. Konon ketika dilihat dari angkasa,  gugusan kepulauan Indonesia terlihat nan hijau menyejukan mata bak batu Zamrud. Hal inilah yang kemudian membuat Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa. Faktanya juga selaras, tanaman apa saja yang ditanam di tanah Indonesia bisa tumbuh. Bahkan tongkat kayupun bisa tumbuh di tanah Indonesia –demikian kata Koes Plus- Maka tak heran bila banyak negara tetangga yang iri akan kekayaan alam Indonesia, banyak dari mereka ingin menjajah Indonesia untuk mengambil hasil kekayaan alam Indonesia. Namun akankah sebutan membanggakan ini akan terus kita sandang?! Tentu jawabannya bisa iya bisa tidak! Tergantung kita, manusia Indonesia semua.

Jika hutan yang melingkupi Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah banyak yang gundul dan bopeng-bopeng, maka sudah pasti sebutan itu tak kan lagi pernah didengar anak cucu kita. Kepentingan segelintir orang yang suka mengeksploitasi alam Indonesia, dampak paling besar justru akan ditanggung warga sekitar yang tak tahu apa-apa. Hidup ini memang sangat bergantung pada alam, jika kondisi alamnya baik, maka kehidupan yang ada di dalamnya juga akan baik. Jika kondisi lingkungan alam sekitarnya asri, maka akan terasa nyaman dalam melakukan berbagai aktivitas. Sebaliknya, kondisi alam yang rusak selalu memberikan dampak negatif terhadap semua makhluk hidup di muka bumi ini. Telah banyak kita dengar dan kita baca tentang betapa mengerikannya musibah yang harus ditanggung manusia sebagai akibat dari rusaknya alam tempat bernaung.  Maka tidak bisa ditunda lagi, semuanya harus menggelorakan semangat menjaga dan melestarikan alam. Para guru dan siswa harus punya itikad baik untuk menjaga lingkungan sekolahnya. Warga masyarakat juga harus perduli terhadap kelestarian lingkungan sekitarnya.

           Menjaga dan memelihara keasrian dan keindahan alam memang bukanlah hal yang mudah. Namun ikhtiar nyata tetap harus dilakukan oleh siapapun. Menggunggah kesadaran diri sendiri, lalu menularkannya kepada orang-orang terdekat dan orang-orang sekitar, tanpa boleh merasa bosan. Ini juga merupakan bentuk nyata dakwah amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan). Upaya dalam menciptakan kondisi lingkungan yang asri nan hijau, merupakan suatu dukungan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Biar pun hanya hal kecil yang dapat dilakukan, tetapi bisa memberikan andil besar untuk sebuah perubahan. Alam ini membutuhkan tangan-tangan yang bertanggung jawab yang dapat menjaga dan memanfaatkannya dengan baik, bukan mengeksploitasinya demi materi. Dengan adanya pohon di lingkungan sekitar kita memang rasanya bisa menyejukkan jiwa. Mata juga terasa sejuk, nafas serasa segar. Beda ketika kita berada di lingkungan yang gersang dan kotor. Jiwa rasanya ikut meradang, tinggalpun rasanya seperti terpenjara, membuat tidak nyaman.

Pencemaran tanah, air dan udara akibat teknologi ciptaan manusia faktanya memang sudah tidak bisa lagi dihindari. Maka dampak negatif dari itu semua akan ditanggung manusia sendiri. Al Qur’an juga telah menegaskan bahwa kerusakan alam adalah akibat perbuatan manusia sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ar Rum ayat 41 yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).

Maka tak ada lagi dalih untuk menghindar dari kesalahan itu. Manusia jualah yang juga harus berupaya maksimal meminimalisir atau kalau bisa menghambat cepatnya kerusakan alam. Bukankah Allah SWT juga telah memaklumatkan bahwa Allah telah memberikan mandat sepenuhnya kepada manusia atas pengolahan dan pengelolaan alam ini. Gelar “Khalifah” yang disematkan langsung oleh Allah SWT kepada manusia adalah sebagai bukti dari tugas dan tanggung jawab untuk mengolah dan mengelola alam ini. Dan tentunya tugas dan tanggung jawab tersebut kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Go green! Mari hijaukan bumi kita!

Slogan ini bukanlah slogan kosong yang hanya untuk diteriakkan atau ditulis di banner, lalu ditayang di mana-mana. Yang lebih penting dari itu adalah action (aksi nyata). Tidak perlu menunggu program menanam sejuta pohon dari pejabat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mari kita mulai saja dari lingkungan sekitar kita. Lingkungan rumah kita, lingkungan sekolah kita, lingkungan masyarakat kita, adalah lingkungan yang paling butuh perhatian. Banyak bunga yang bisa ditanam, atau pohon-pohon buah yang jika dikelola justru bisa memberikan hasil ganda; kesejukan dan nilai jual. Bukankah ini juga berarti menabung untuk generasi mendatang?!

Tak perlu tempat mahal. Kaleng bekas atau plastik bekas juga bisa dijadikan media tanam. Pemupukan juga bisa menggunakan kompos bikinan sendiri, kotoran ayam atau kotoran kambing, semuanya bisa jadi pupuk yang bagus untuk tanaman.

Nabi Muhammad SAW telah menyatakan dalam salah satu haditsnya: “Barang siapa menghidupkan bumi yang mati, maka bumi itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi)”. Makna mendalam dari hadits ini tentunya tidak harus diartikan secara tekstual namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa Islam sangat menghargai orang-orang yang perduli terhadap kelestarian alam (lingkungan hidup). Maka apa lagi yang kita tunggu. GO GREEN! MARI HIJAUKAN BUMI KITA! Dan ayo kita senandungkan syair lagunya Crisye berikut:

 

Aku bahagia hidup sejahtera di khatulistiwa
Alam berseri-seri bunga beraneka
Mahligai rama-rama, bertajuk cahya jingga
Surya di cakrawala

S'lalu berseri alam indah permai di khatulistiwa
Persada senyum tawa, hawa sejuk nyaman
Wajah pagi rupawan burung berkicau ria
Bermandi embun surga

Reff:
Syukur ke hadirat yang maha pencipta
Atas anugerah-nya tanah nirmala
Bersuka cita, insan di persada yang aman sentosa
Damai makmur merdeka di setiap masa
Bersyukurlah kita semua
( bersatulah kita semua)

S'lalu berseri, alam indah permai di indonesia
Negeri tali jiwa hawa sejuk nyaman
Wajah pagi rupawan burung berkicau ria
Bermandi embun surga

Syukur ke hadirat yang maha kuasa
Atas anugerah-nya tanah bijana