PEMBELAJARAN DARING TIDAK TERKESAN GARING
Oleh: Nanang M. Safa
Pandemi Corona (Covid-19) telah berlalu. Dampak dari sepak terjang virus mematikan tersebut telah mampu merubah hampir seluruh tatanan kehidupan yang selama ini telah mapan, termasuk di dunia pendidikan. Jika sebelum merebaknya Covid-19 pembelajaran dilakukan di kelas konvensional secara luring (di luar jaringan) atau dengan tatap muka, setelah merebaknya Covid-19 kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan) atau secara online. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, setelah keadaan dianggap sudah kondusif –biarpun menurut keterangan beberapa pihak belum benar-benar kondusif terbukti dengan munculnya beberapa virus varian baru yang merupakan turunan dari Covid-19, termasuk yang terakhir adalah Omicron– pola pembelajaran juga harus menyesuaikan diri.
Sekarang kita hidup di era new normal. Era new normal merupakan pola kehidupan baru sebagai konsep kehidupan yang adaptif pasca pandemi. Ada hal-hal baru yang harus diperhatikan dan diikuti dalam pola hidup new normal.
Wiku Adisasmita, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menegaskan, new normal adalah perubahan perilaku untuk menjalankan aktifitas normal namun harus memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 (campus.com; Mengenal Apa itu New Normal di Tengah Pandemi Corona). Prinsipnya, kita harus beradaptasi dengan pola hidup baru, baik dalam bersikap maupun berperilaku, semisal mengurangi kontak fisik dengan orang lain jika tidak benar-benar penting, menghindari kerumunan massa, menjaga jarak, dan sebagainya.
Bagaimana dengan Anak Sekolah?
Sekolah menjadi salah satu titik kumpul massa yang memungkinkan menjadi sarana penyebaran Covid-19 dan turunannya. Dalam satu sekolah jenjang SLTP, rata-rata memiliki 500 siswa. Maka untuk menghindari kemungkinan tersebut, sekolah mau tidak mau harus mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di masa new normal ini, lazimnya sekolah menjalankan pola tatap muka (luring) dipadu dengan pola online (daring). Pola inilah yang lazim disebut blended learning.
Jauh hari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), sudah mencanangkan program merdeka belajar yang salah satu intinya adalah bahwa pembelajaran dilaksanakan tidak harus berada dalam satu tempat dengan cara tatap muka, melainkan bisa dilaksanakan di manapun tempatnya secara online. Masalah yang seringkali mengemuka dari pola pembelajaran daring adalah minimnya sarana prasarana serta terbatasnya kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran daring itu sendiri. Kegiatan pembelajaran sebagaimana lazimnya adalah kegiatan yang melibatkan guru dan siswa untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi secara aktif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Kegiatan pembelajaran tidak sekedar memberikan materi pelajaran atau bahkan hanya sekedar memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan dalam waktu tertentu.
Jika diamati dari berbagai informasi yang mengemuka, akar permasalahan dari pembelajaran daring adalah tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh siswa di rumah dalam waktu tertentu tanpa adanya penjelasan dari materi tersebut. Dalam hal ini jika ditelaah lebih dalam lagi tentu berkaitan erat dengan kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran daring. Pembelajaran daring (online) menuntut penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang baik.
Menurut Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Gatot Suhartowo, saat ini dari total guru yang ada di Indonesia, baru 40% yang melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Jika total guru di Indonesia mencapai tiga juta orang, berarti baru 1,2 juta guru saja yang melek TIK. Sisanya sebanyak 1,8 juta guru masih gagap teknologi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dilihat dari sisi usia, guru yang berusia 45 tahun ke atas merupakan penyumbang terbanyak guru yang gagap TIK (https://jejakrekam.com/2019/03/19/hasil-survei-pustekkom-60-persen-guru-di-indonesia-gagap-teknologi-informasi/).
Perubahan pola pembelajaran dari luring ke daring memaksa guru harus siap dengan perubahan tersebut, Maka mau tidak mau, siap tidak siap, guru juga harus mengikutinya. Nah, di sinilah awal munculnya permasalahan dalam pembelajaran daring. Ditambah lagi kesiapan sarana prasarananya berupa jaringan internet, paket data, fasilitas smartphone yang memadai, juga penguasaan beberapa program aplikasi berbasis web yang mendukung kegiatan pembelajaran secara online juga harus dikuasai guru.
Sebagai guru, saya sendiri juga bukan termasuk pada kelompok guru yang canggih teknologi, biarpun juga bukan termasuk guru yang gagap teknologi (gaptek) –mudah-mudahan– Namun biar bagaimanapun, saya tidak mau kalah dengan yang muda-muda untuk bisa memahami dan menguasai beberapa aplikasi berbasis web yang dimungkinkan bisa digunakan sebagai media pembelajaran secara online.
Konsep pembelajaran daring juga tetap harus mengacu pada konsep pembelajaran happy seperti yang dicanangkan Mendikbud. Pembelajaran daring bukan semata terletak pada cakupan materinya melainkan terletak pada konten atau isinya. Namun kebanyakan guru ketika melaksanakan pembelajaran daring, tiada beda dengan pembelajaran tatap muka (secara langsung) yakni hanya untuk menghabiskan materi dalam waktu tertentu dengan menihilkan berbagai kendala yang dihadapi siswa. Akhirnya yang terjadi adalah memberikan “tumpukan” tugas yang harus diselesaikan siswa secara online dalam waktu tertentu pula tanpa penjelasan memadai. Inilah yang pada akhirnya menjadi beban berlebihan pada diri siswa serta orang tuanya.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah agar pembelajaran daring bisa menarik?
Para guru sebenarnya memiliki konsep dan trik sendiri tentang kegiatan pembelajaran yang menarik. Menurut saya, ada tiga kata kunci yang harus dijadikan pertimbangan mendasar agar pembelajaran daring dapat berlangsung sesuai yang diharapkan yakni isi, variasi, dan komunikasi.
Pembelajaran daring tentu sangat berbeda dengan pembelajaran luring. Pembelajaran daring tentu bukan untuk mengejar target materi sesuai dengan tuntutan kurikulum yang memang diperuntukkan pada kondisi normal. Seorang guru harus pandai dalam menangkap inti dari materi yang dicantumkan pada Kompetensi Dasar (KD) pada Kurikulum 2013 atau Tujuan pembelajaran (TP) pada Kurikulum Merdeka. Dengan demikian guru tidak hanya sekedar memberikan tugas dengan batasan waktu tertentu, apalagi hanya sebatas mengerjakan soal-soal dalam Lembar Kerja Siswa (LKS), melainkan juga memberikan ruang berfikir dan berkreasi pada siswa sesuai potensi dan minat mereka.
Misalnya ketika sebuah KD menyebutkan materi tentang “jujur dalam muamalah” maka tentu isi dari materi dalam KD tersebut adalah bagaimana siswa dapat menghayati, memahami, dan mengamalkan atau mempraktikkan sifat jujur dalam kehidupannya. Kegiatan pembelajaran daring bisa saja dengan menonton video pendek tentang cerminan sifat jujur baik dari youtube, facebook, google, atau jalur lain. Selanjutnya siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyampaikan hasil dari kegiatan menonton video pendek tersebut dalam beberapa pilihan semisal membuat video dalam versi lain, menulis cerita pendek, cerita pengalaman, atau bisa juga membuat peta konsep tentang sifat jujur sesui hasil daya tangkapnya terhadap video yang telah ditontonnya.
Kegiatan pembelajaran daring semacam ini tentu bisa membuat anak merasa enjoy dan happy karena mereka diberikan pilihan tentang cara menyampaikan tanggapan hasil belajar sesuai dengan minat dan kemampuannya. Di sisi lain guru juga lebih enjoy dan happy karena tidak harus mengejar-ngejar siswa agar segera mengumpulkan tugas. Dalam hal ini whatsApp bisa digunakan sebagai sarana untuk menjembatani komunikasi antara guru dengan siswa dan dengan wali siswa, bukan menjadi jalur andalan satu-satunya dalam pelaksanaan pembelajaran daring. Dengan demikian pembelajaran daring tidak terkesan garing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...