PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Menjadi Guru ABG

28/12/2022

Menjadi Guru ABG

MENJADI GURU ABG

Oleh: Nanang M. Safa

 

Judul yang saya buat untuk tulisan ini barangkali akan membuat  Anda geleng-geleng kepala. Namun setelah membaca keseluruhan tulisan ini, saya yakin keheranan Anda itu akan hilang dengan sendirinya. Dalam tulisan ini saya hanya ingin bercerita sedikit kepada Anda tentang asyiknya menjadi guru para remaja awal atau yang sering disebut dengan istilah Anak Baru Gede (ABG).

Sebenarnya menjadi guru tidak pernah sedikitpun terlintas pada benak saya ketika masih usia kanak-kanak dulu. Sewaktu di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), ketika ditanya tentang “Apa cita-citamu?”, saya tidak pernah menyebut “Guru” sebagai jawaban untuk cita-cita saya. Jawaban ini barangkali saja disebabkan saya belum menemukan sosok guru yang bisa menyentuh jiwa ke-guru-an saya. Bukan berarti guru-guru saya dulu tidak hebat sehingga tidak mampu memicu hasrat saya untuk menjadi guru juga. Pola pengajaran beberapa guru yang kadang terlalu keras dan seringkali mengarah ke kekerasan fisik membuat saya tidak terinspirasi untuk menjadi guru. Atau barangkali ketika itu saya masih terlalu kecil untuk bisa mengerti tentang apa makna dari “guru” itu sesungguhnya.

Ketika duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), ketika ditanya tentang “apa cita-cita saya”, barulah saya berani menjawab “menjadi guru”. Alasannya sederhana saja, menurut saya guru itu adalah sebuah profesi yang baik dan mulia. Mengapa? Segala profesi yang ada di muka bumi ini semua bermula dari guru. Tanpa adanya guru maka tidak akan pernah lahir profesi-profesi baru. Dan cita-cita saya ini semakin tertancap kuat dalam diri saya seiring dengan kelanjutan sekolah saya. Dan pada akhirnya saya memang bisa menjadi guru di salah satu sekolah di bawah naungan Kementerian Agama yakni Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Trenggalek.

 

Beberapa Catatan Seputar ABG

Menjadi guru Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) ternyata memang benar-benar harus bermental baja. Tingkat kesabaran juga level tinggi. Anak-anak SLTP adalah para ABG atau anak-anak usia pra remaja yang sedang mengalami gejolak –begitu menurut buku-buku psikologi yang saya baca-. Anda bisa membayangkan bagaimana pola hidup mereka. Atau Anda juga memiliki anak usia remaja awal? Anda juga pasti tahu dan merasakan sendiri bagaimana sikap dan perilaku keseharian mereka.

Anda yang menjadi guru PAUD, TK, atau SD boleh saja protes atau tidak setuju dengan pendapat saya ini, lalu bertutur, “Menjadi guru PAUD/TK/SD itu jauh lebih menguras energi dan mengaduk-aduk emosi”. Silahkan saja. Silahkan Anda tulis curhatan Anda. Saya hanya ingin mengajak Anda mengintip sedikit dunia saya khususnya berkaitan dengan kebiasaan dan karakteristik para ABG.

Pertama: Mereka suka meluapkan emosi. Maka Anda tidak usah heran jika mereka gampang terpicu pertengkaran dan tawuran. Kadang saya juga menemui antar remaja yang bahkan sesama teman satu sekolahpun bertengkar atau berkelahi cuma gara-gara bercanda yang kebablasan hingga akhirnya memancing amarah.

Kedua: Mereka suka menentang. Maka jangan heran jika Anda menemui remaja yang suka menentang gurunya, menentang orangtuanya, atau melanggar peraturan/tata tertib sekolah. Butuh pendekatan personal untuk meredakan hobi remaja yang satu ini. Tidak bisa dipukul rata. Ada remaja yang sekali dinasehati sadar diri. Namun ada juga remaja yang butuh perhatian ekstra. Ada juga remaja yang perlu gertakan dan aksi, misalnya mereka baru akan menjadi remaja penurut ketika ditunjukkan kemampuan bela diri yang kita miliki, atau yang lainnya.

Keempat: Mereka suka membully. Remaja-remaja yang lemah secara fisik dan mental seringkali menjadi sasaran pembullyan teman-teman remajanya. Muara terjadinya pembullyan ini adalah rasa superioritas remaja tertentu yang merasa memiliki kelebihan lebih dibanding teman-temannya. Pembullyan seringkali dilakukan oleh remaja-remaja bersama kelompoknya. Maka solusinya tentu dengan memberdayakan kelompok remaja (peer-group) kepada kegiatan-kegiatan positif, semisal kegiatan olahraga, seni, keagamaan, sosial, pramuka, atau yang lainnya.

Kelima: Mereka suka berkelompok. Remaja lebih takut dikucilkan oleh teman-teman dalam kelompoknya daripada dimarahi oleh orangtuanya atau gurunya. Maka Anda tak perlu heran jika terkadang ada remaja yang berani menentang orangtua atau gurunya agar tetap diterima oleh teman-teman dalam peer-groupnya. Atau bahkan ada remaja yang sampai berani melakukan tindakan menyimpang, pelanggaran hukum, dan kriminalitas dengan dalih solidaritas yang tidak tepat.

Keenam: Mereka suka berpetualang. Masa remaja adalah fase petualangan. Remaja suka mencari pengakuan dari orang-orang di sekitarnya. Makanya ada remaja yang suka mencari sensasi dengan melakukan hal-hal berbahaya. Ada juga remaja yang suka menentang bahaya dengan melakukan aksi-aksi ekstrim bagi orang kebanyakan. Semuanya bermuara pada pengakuan eksistensi. Inilah celah positif untuk membangkitkan motivasi dan kreatifitas. Remaja yang mendapatkan pendampingan, bimbingan, dan pembinaan yang tepat akan menjelma menjadi remaja-remaja yang kreatif dan penuh ukiran prestasi.

Ketujuh: Mereka suka berkompetisi. Kompetisi adalah salah satu cara untuk meneguhkan eksistensi. Jika remaja bisa menang dalam sebuah kompetisi maka tak perlu gembar-gembor lagi untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari orang lain. Semakin banyak kompetisi yang bisa dimenangkan maka secara otomatis akan semakin besar pula pengakuan yang didapatkan. Dalam hal ini yang perlu diwaspadai justru hasil sebaliknya. Bagi remaja-remaja yang gagal dalam sebuah kompetisi bisa saja berakibat fatal. Bagi remaja-remaja dalam kelompok ini dukungan moral dan suntikan motivasi adalah hal utama. Dengan kedua hal tersebut mereka akan terhindar dari rasa depresi, rendah diri, dan frustrasi akibat tekanan berat dari kekalahan dan kegagalan yang dialaminya.

Kedelapan: Mereka suka menghakimi. Remaja suka berfikir kini dan di sini. Remaja tidak suka bertele-tele dan berfikir ulang. Sikap ini akan memunculkan sikap lain sebagai akibat lanjutannya yaitu suka menghakimi. Ketika muncul konflik atau sekedar beda pendapat sekalipun, remaja dalam kelompok ini akan serta-merta menyalahkan remaja lain yang tidak sependapat dengannya, tidak perduli salah atau benar, baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, dan seterusnya.

Itulah beberapa aspek keseharian remaja yang menjadi argumen saya berani menyimpulkan bahwa menjadi guru anak-anak pada usia remaja itu dalam posisi paling sulit dan paling besar menguras energi.

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...