RINDU KICAU BURUNG DI RANTING POHON
Ketika kecil dulu, setiap bangun tidur selalu riuh terdengar kicau burung di sekitar rumah saya. Banyak sekali jenis burung dengan beragam suara, seperti sedang menikmati konser orkestra. Kutilang, jalak, perkutut, derkuku, prenjak, pipit, ciit, dan beberapa jenis burung lain tak henti berkicau, sahut-menyahut, membawa khabar bahwa hari telah menjelang pagi. Mengajak orang-orang untuk segera bersiap diri memulai aktifitas di pagi hari.
Saya sering mengamati burung-burung itu dari balik jendela kamar saya. Begitu cerianya mereka. Berpindah dari satu ranting ke ranting lain. Terbang dari satu pohon ke pohon lain sambil bercanda menyambut hadirnya matahari. Mereka tak terbebani dengan rasa takut terkena perangkap atau terkena trik penipuan berkedok memberi makanan. Sungguh kehadiran burung-burung itu menambah indahnya hari berpadu dengan segarnya udara pagi.
Namun entah sejak kapan suara orkestra burung-burung itu tak pernah terdengar lagi. Kemana gerangan burung-burung itu menghilang dari sekitar rumah saya. Saya tak bisa lagi mengingat. Satu tahun, dua tahun, lima tahun atau barangkali sudah sepuluh tahun? Sungguh saya benar-benar tak bisa memastikannya.
Pagi hari saya sekarang sudah jauh berbeda dengan pagi hari saya yang dulu. Jangankan suara-suara burung di ranting pohon, kokok ayam jantan pun sudah tak seramai dulu. Habis subuh yang terdengar deru motor. Paling sesekali masih bisa saya dengar suara burung hantu di malam hari. Atau suara burung kelik (elang) di siang hari. Atau kicau burung tetangga yang ada di dalam sangkarnya. Merdunya mungkin masih sama, namun kesannya di jiwa sudah jauh berbeda.
Beberapa minggu lalu saya masih menemui beberapa burung belibis berwarna putih di persawahan beberapa puluh meter dari rumah saya. Dulu pun burung-burung itu hampir tiap pagi saya temui. Ketika saya dan teman-teman saya berangkat ke sekolah, kami sering mengendap-endap di antara pematang lalu meneriakinya. Tentu burung-burung belibis itu kaget dan beterbangun seperti parade pesawat, lalu kembali turun dan hinggap di pematang beberapa meter dari jarak kami. Itu adalah keasyikan tersendiri bagi kami.
Siang hari setelah lelah bermain bola plastik di persawahan yang baru dipanen, kami berburu burung pipit. Burung-burung itu seakan tak akan pernah habis. Satu koloni bisa ratusan bahkan ribuan ekor. Para petani harus memasang geprek dari bambu untuk menakutinya agar padi yang sudah mulai menguning tak habis dimakan burung-burung pipit itu. Namun burung kecil itu sekarang jumlahnya berkurang jauh. Sesekali saya masih melihatnya di pekarangan sekitar rumah saya. Saya seringkali harus cerewet melarang anak-anak di sekitar rumah saya yang hendak mengusili burung pipit yang hendak membuat sarang. Saya tak ingin burung kecil itu ikut hilang ditelan keserakahan.
Seringkali saya merindukan masa-masa dimana burung-burung itu seperti tidak takut dengan manusia. Terbang rendah berseliweran di ranting pohon sementara para petani sedang giat bercocok tanam di sekitranya. Saya rindu dengan suara kicau burung yang hinggap di ranting pohon di sekitar rumah saya di pagi hari. Namun kerinduan saya sepertinya tinggal hanya kerinduan. Tak kan pernah lagi waktu diputar kembali ke masa lalu. Sekarang saya hanya bisa berikhtiar mempertahankan yang masih ada, tentu dengan cara saya. Salah satunya dengan memberikan nasehat dan penjelasan kepada anak-anak agar tidak mengganggu burung yang akan membuat sarang, agar mereka juga tidak mengambili telur-telur burung yang ada di sarangnya.
Pernah suatu kali ada orang yang hendak menjebak burung prenjak yang sedang nyantai di pohon jambu di pekarangan rumah saya. Sangkar yang sudah dipasangi makanan ditaruh sedemikian rupa sehingga ketika burung itu mengambil makanan, pintu sangkar akan menutup secara otomatis. Di dekat sangkar itu sengaja ditaruh burung sejenis di sangkar berbeda untuk memancing kehadiran si burung prenjak. Saya sebenarnya sangat tidak sepakat dengan tindakan orang tersebut namun rasanya tidak mungkin juga saya bersikap frontal, melarang atau menghalangi apa yang akan dilakukannya biarpun itu di pekarangan rumah saya. Akhirnya saya mencari cara agar burung itu tidak sampai masuk sangkar jebakan. Sambil menyelesaikan beberapa tulisan saya, saya takut-takuti burung prenjak itu agar tidak mendekat ke sangkar jebakan. Ketika si empunya menengoknya tentu saja saya bersikap seolah-olah tidak tertarik dengan apa yang dia lakukan dan tetap asyik dengan laptop saya. Istri saya yang tahu trik saya itu hanya senyum-senyum kecil di balik pintu dapur.
Satu lagi cerita tentang perburungan. Ketika itu seekor burung kutilang masuk ke rumah saya. Tentu saja burung kutilang itu tertangkap setelah sempat menabrak kaca jendela. Jika saja saya memberitahukan hasil tangkapan saya kepada tetangga-tetangga saya, sudah pasti mereka akan berebut untuk mengadopsinya. Baru setelah burung itu saya lepaskan, saya ceritakan kepada mereka. Saya memang sengaja ingin memancing reaksi mereka. Dan benar, semuanya bilang “Kok dilepas sich?”
Ternyata benar kan? Pantas saja saya tidak pernah lagi bisa mendengarkan kicau burung di ranting pohon. Rupanya burung-burung itu telah berpindah ke dalam sangkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...