MERASAKAN BUAH PERTAMA
SEPERTI MERASAKAN CINTA PERTAMA
Kali ini saya ingin mengajak Anda memanfaatkan tanah pekarangan. Ya, barangkali saja tanah di sekitar rumah Anda masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Apalagi Anda yang rumahnya di daerah pedesaan, pastilah di sekitar rumah Anda ada sisa tanah yang cukup luas. Sayang kan jika tanah pekarangan tersebut Anda biarkan ditumbuhi rumput liar atau tanaman seadanya yang tidak produktif.
Kebetulan saja rumah saya juga di daerah pedesaan. Ada sisa tanah yang cukup bisa saya manfaatkan untuk menanam beragam tanaman produktif. Ada beberapa jenis tanaman yang ada di sekitar rumah saya. Tanaman itu sebagian merupakan peninggalan dari orang tua saya dan sebagian lagi saya tanam ketika saya mulai menempatinya, sepuluh tahun silam.
Tanaman yang ada di pekarangan rumah saya cukup banyak juga. Di pekarangan sekitar rumah saya ada rumpun bambu gading (bambu kuning), pohon durian, pohon kelapa, pohon manggis, pohon pisang, pohon sawo, pohon alpukat, pohon jambu bangkok, pohon jambu air, pohon jambu jamaika, pohon kelengkeng, pohon mangga, pohon kopi, pohon cengkih, pohon rambutan, pohon kates, pohon anggur, dan beberapa jenis empon-empon (kunir, jahe, laos, dan serai). Semua jenis tanaman tersebut tentu membuat pekarangan di sekitar rumah saya penuh sesak. Namun itupun belum membuat saya berhenti untuk tidak menambah tanaman baru.
Beberapa waktu lalu misalnya, saya masih menambah beberapa kelapa wulung dan pohon anggur batang. Entahlah, seringkali saya tidak bisa menahan diri untuk tidak tergoda memesan secara online maupun membeli langsung ke penjual bibit tanaman ketika saya lihat bibit tanaman baru. Bibit tanaman ibarat seorang gadis cantik dengan senyum menawan bagi saya. Padahal beberapa kali pula bibit yang saya beli (terutama yang saya beli secara online) kering dan mati karena lamanya waktu pengiriman. Namun demikian tetap saja tidak membuat saya jera.
Pernah saya membeli beberapa bibit kelapa genjah entok. Harganya juga cukup mahal. Bibit kelapa itu satu butirnya dihargai dua puluh ribu rupiah. Dari dua puluh bibit kelapa, beberapa mati setelah ditanam. Pernah juga saya membeli bibit nangka super secara online. Harganya juga lumayan mahal, satu bibit nangka plus ongkos kirimnya 150 ribu rupiah. Namun bibit nangka itu kering, daunnya rontok lalu mati. Pernah juga saya membeli bibit durian, sempat tumbuh tapi beberapa minggu berikutnya juga mati. Itulah beberapa bibit tanaman yang tidak berhasil hidup namun tidak membuat saya kapok.
Ayah ibu saya adalah sepasang petani tulen. Ayah ibu memiliki beberapa petak kebun yang lokasinya menyebar di wilayah dua dusun. Ada yang jaraknya hanya beberapa puluh meter saja dari rumah, ada juga yang beberapa ratus meter. Mereka begitu telaten menyambangi kebun-kebun tersebut secara bergantian. Kadang-kadang pulang dari kebun mereka membawa kayu kering, kadang juga pisang, kelapa, atau bahan mentah lain dari hasil kebun mereka.
Secara iseng saya pernah bertanya kepada ibu saya, “Apakah mereka tidak lelah?” Dan jawabannya sungguh di luar dugaan saya, “Melihat tanaman yang mereka tanam tumbuh subur dan berbuah, rasanya terhapuskan rasa lelah itu.”
Ketika itu tentu saya tidak menganggapnya serius. Dan baru sekaranglah saya bisa membuktikan ucapan ibu saya tersebut. Ketika melihat tanaman yang saya tanam di pekarangan rumah saya tumbuh subur, sungguh bisa menyegarkan kembali fikiran saya. Rasa lelah akibat rutinitas kerja menguap begitu saja terhapuskan hijau daun dan wanginya aroma bunga dari aneka tanaman tersebut. Apalagi ketika bisa menikmati buah pertama, sungguh seperti merasakan cinta pertama saya dulu.
Anda yang belum pernah merasakannya barangkali akan mengatakan saya mengada-ada, atau saya membual. Tidak masalah. Saya dulu juga menganggap apa yang dikatakan ibu saya tak lebih hanyalah ungkapan pengalihan. Bukankah orang tua kita lebih suka menyembunyikan rasa lelah dan tangisnya di hadapan anak-anaknya? Bukankah ayah ibu kita lebih suka melihat anak-anaknya bahagia biarpun mereka harus bermandikan keringat dan air mata?
Namun sekarang barulah saya benar-benar bisa merasakan sendiri apa yang diucapkan ibu saya lima belas tahun lalu itu. Dan ketika buah hasil tanaman saya bisa dinikmati oleh anak-anak saya dengan begitu cerianya, rasa bahagia yang saya rasakan menjadi berlipat ganda.
Masing-masing buah yang saya tanam tentu memiliki cerita sendiri. Saya pernah menceritakan salah satu tanaman yang ada di pekarangan rumah saya yakni “jambu jamaika”. Setidaknya cerita saya tentang jambu jamaika tersebut bisa meyakinkan Anda bahwa masing-masing tanaman yang saya tanam memiliki ceritanya sendiri.
Apakah Anda juga memiliki cerita tentang tanaman di pekarangan rumah Anda? Apakah Anda tidak tertarik untuk berbagi cerita dengan saya, dan anak cucu Anda kelak?
Semuanya terserah Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...