KERBAU DI KAMPUNGKU KINI
MENJADI SI AVANSA DAN SI SENIA
Oleh: Nanang M. Safa
Sekitar tahun 80-an, saya bersama teman-teman sepermainan di kampung, sering ikut para pangon (penggembala) menggembalakan kerbau di sawah-sawah yang baru dipanen. Binatang yang lazimnya berwarna hitam kecoklatan mirip sapi tersebut, dulu menjadi binatang peliharaan banyak warga di kampung saya. Bahkan satu orang ada yang memiliki 30 ekor kerbau. Maka tak heran jika kerbau menjadi ukuran seberapa kaya seseorang di kampung saya ketika itu. Saya juga tidak pernah membayangkan jika sekarang untuk menjumpainya saja sangat sulit. Binatang bernama kerbau tersebut di kampung saya sepertinya hampir punah. Dan sangat mungkin pada lima atau tujuh tahun yang akan datang, binatang tersebut benar-benar akan hilang dari kampung saya. Maka sudah pasti pula, anak cucu saya tidak akan pernah lagi mengenal binatang bernama kerbau. Maka mumpung saya mengingatnya, saya akan menulisnya. Minimal tulisan ini sebagai jejak cerita yang bisa dibaca oleh anak cucu saya kelak.
Dulu, kami sangat suka naik ke punggung kerbau yang sedang asyik merumput. Namun sebelum menaikinya, tentu saja kami harus konsultasi dengan si pangon, sebab jika salah memilih kerbau, bisa-bisa kami jadi korban, jatuh terpelanting atau terinjak si kerbau.
Para pangon adalah anak-anak muda yang diserahi tugas oleh para majikan, tidak saja menggembalakan tapi juga memandikan, merawat, dan mengandangkan si kerbau. Pada akhir tahun atau sesuai perjanjian, si pangon akan mendapatkan upah seekor anakan kerbau. Para pangon ini dalam bekerja membentuk suatu komunitas. Mereka bekerjasama untuk mengamankan si kerbau dan saling memberi informasi tentang keberadaan si kerbau. Tak jarang ketika menjelang magrib, jika ada kerbau yang belum pulang ke kandang karena terpisah dari rombongannya, si pangon dengan dibantu teman-temannya akan mencarinya ke tengah hutan sampai si kerbau bisa ditemukan. Itulah pentingnya komunitas.
Keistimewaan para pangon ini salah satunya adalah mereka sangat hafal dengan ciri khas masing-masing kerbau yang ada di bawah tangungjawabnya. Untuk memudahkan pencarian kerbau-kerbau itu jika tidak pulang kandang, para pangon memasang “klonthong” yaitu lonceng yang terbuat dari kayu dikalungkan ke leher si kerbau (biasanya kerbau jantan yang menjadi maskot rombongan). Suara klonthong itulah yang akan memudahkan para pangon mendeteksi keberadaan si kerbau. Tidak main-main, suara klonthong yang bagus bisa terdengar dari jarak 2 km.
Seingat saya, orang tua saya dulu juga memiliki seekor kerbau betina. Kerbau itu adalah pemberian eyang (kakek) saya. Tentu saja ayah saya juga memperkerjakan seorang pangon untuk mengurus kerbau tersebut, biarpun hanya satu ekor. Itulah kesempatan saya untuk ikut menikmati dunia pangon bersama teman-teman saya. Namun pada tahun ke-tiga, ayah saya mengembalikan kerbau tersebut ke eyang saya lantaran merasa tidak memiliki bakat memelihara kerbau. Orang tua saya sebenarnya sejak awal memang sudah tidak terlalu greget ketika diserahi kerbau tersebut. Ayah saya lebih suka menekuni dunia pertaniannya. Namun untuk menolak pemberian eyang rasanya juga pamali (pantangan). Maka jadilah kerbau betina tersebut tetap saja dipeliharanya. Dan ternyata jarak empat bulan sejak pengembalian kerbau tersebut ke eyang saya, akhirnya kerbau tersebut beranak dua ekor. Namun demikian tidak ada sedikitpun rasa penyesalan pada diri ayah saya.
Namun kini binatang bernama kerbau ini benar-benar hampir hilang dari kampung saya. Dulu hampir setiap pagi dan sore ada beberapa rombongan kerbau digiring oleh para pangon. Dulu sepanjang malam terdengar lenguhan kerbau yang dikandangkan di sawah-sawah yang baru dipanen. Dulu sepanjang hari kami bisa bercengkerama dan naik ke punggung-punggung kerbau seperti pasukan perang di zaman kerajaan. Dulu ketika pagi-pagi berangkat sekolah, kami biasa menjumpai kerbau-kerbau yang digunakan oleh pemiliknya untuk membajak sawah. Namun sekarang tak pernah lagi semua itu saya jumpai. Jejaknyapun tidak, lenguhannyapun tidak, apalagi bentuk binatangnya. Punah sudah. Bahkan ketika mau bercerita kepada anak-anak tentang kerbau-kerbau ini, saya hanya bisa menunjukkan gambarnya di google.
Tak pernah dulu saya membayangkan binatang bernama kerbau ini akan hilang dari kampung saya. Ya, saking banyaknya. Ya, saking biasanya bertemu dan bergaul dengan kerbau. Namun ternyata … oh ternyata … dalam kurun 30 tahun, kerbau-kerbau tersebut benar-benar hilang.
Sekarang banyak orang di kampung saya yang telah menukar binatang berkaki empat ini dengan kendaraan beroda empat, dan inilah yang menjadi simbol kekayaan orang-orang di kampung saya sekarang, bukan lagi si kerbau. Zaman memang telah berubah. Tiba masanya kini si kerbau menjadi si “avansa” dan si “senia” –maaf, nama merk saya plesetkan- . Selamat tinggal kerbau. Kau telah menjadi bagian masa laluku ….
Mantab. Sy kecilnya Sampai SMP beternak sapi
BalasHapusPengalmn kecilku waktu kerbau di pangon aku bersama temenk naik di atas punggung kerbau sambil kerbau mkn rumput tiba2 kerbau kaget karena keusilan orang iseng kemudian kerbau lari dan aku bersama temenku jatuh dari punggung kerbau
BalasHapus