PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: personal
Tampilkan postingan dengan label personal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label personal. Tampilkan semua postingan

21/12/2021

Nanang M. Safa' (Semaikan Benih Literasi di Segala Lini)

 

NANANG M. SAFA'

(SEMAIKAN BENIH LITERASI DI SEGALA LINI)

 

 


 

 Bersahaja dan apa adanya. Itulah kesan pertama ketika mengenal profil Sketsa yang satu ini. Bapak Nanang Musafa’, biasa dipanggil Pak Nanang atau Pak Safa’ ini memang tidak suka mengada-ada, termasuk dalam berpenampilan. Jika dilihat dari tampilan fisiknya, Pak Safa’ ini berpostur sedang-sedang saja. “Ya, memang, berat dan tinggi saya ini termasuk belum ideal…,” demikian Pak Safa’ mengawali perbincangan dengan senyum khasnya.

Namun siapa sangka, di balik penampilan fisiknya yang sedang-sedang saja ini, ternyata Pak Safa’ memiliki kemampuan cukup andal. Cukup banyak prestasi yang beliau ukir di bidang kepenulisan. Di antaranya, Juara III, Lomba Mengarang Tingkat MA/PGA se-Jawa Timur (1991), Juara I, Lomba Menulis Kritik RRI Surabaya (1999), Juara I, Lomba Menulis Artikel Kategori Guru, Mahasiswa dan Umum, Tingkat Jawa Timur  (2011), dan yang terbaru Juara I, Lomba Menulis Artikel Ilmiah dalam rangka HAB Kemenag ke-75 Tingkat Kabupaten Trenggalek (2021).

Pak Safa’ lahir dan dibesarkan di Desa Margomulyo, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek dari pasangan petani tulen H. Muhtar dan Hj. Kaminem. Putra kedua dari lima bersaudara ini menempuh pendidikan dasarnya di MI Margomulyo (1987), kemudian melanjutkan ke MTsN Trenggalek Filial di Prigi (1989). Setelah itu melanjutkan ke PGAN Tulungagung (1991). Setamat dari PGAN Tulungagung, beliau melanjutkan studinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1998). Kemudian di sela-sela kesibukannya mengajar di MTsN 4 Trenggalek, beliau menyempatkan diri melanjutkan kuliah S.2 di STAI Diponegoro Tulungagung (2013).

 



Pemimpin Redaksi majalah Sketsa MTsN 4 Trenggalek ini menuturkan, “Banyak sekali rintangan yang saya hadapi di awal karier kepenulisan saya. Seorang penulis memang harus memiliki mental tahan ejekan apalagi untuk masa-masa awal kepenulisannya. Semasa kuliah, saya sering digojlok oleh teman-teman satu kos. Namun justru gojlokan itulah yang menjadi motivasi saya untuk terus menulis dan membuktikan bahwa saya bisa. Baru setelah tulisan pertama saya muncul di harian Surya Surabaya ketika itu, teman-teman kos saya tidak berani lagi menggojlok saya. Saya masih ingat betul, honor tulisan pertama saya itu, saya gunakan untuk mentraktir mie ayam teman-teman satu kos yang biasa menggojlok  saya tersebut,” cerita Pak Safa’ bernostalgia.

Lelaki sederhana yang sekarang masih menjabat Ketua MGMP Mapel Al Qur’an Hadits tingkat MTs Kabupaten Trenggalek ini juga menuturkan, “Seorang penulis itu sama dengan seorang perenang. Sebanyak apapun teori yang dimiliki jika tidak menceburkan diri ke air, maka sampai kapanpun tidak akan pernah bisa berenang. Demikian juga dengan menulis. Teori menulis penting sebagai bekal awal, namun praktek menulis jauh lebih penting agar kita benar-benar bisa menjadi seorang penulis. Dengan banyak menulis maka keterampilan menulis akan terkuasai dengan sendirinya”.

Tulisan-tulisan Pak Safa’ (artikel maupun cerpen) telah dimuat di media massa cetak seperti Harian Radar (Jawa Pos Grop), Majalah MPA Kemenag Jawa Timur, Majalah PGRI Trenggalek, Harian surya Surabaya, Majalah Rindang Semarang, dan Majalah Ampeldenta BDK Surabaya. Selain itu tulisan-tulisan beliau juga bisa dibaca di blog pribadinya https://kampus215.blogspot.com/. Untuk merawat semangat literasinya, lelaki yang memiliki motto «Semaikan Benih Literasi di Segala Lini» ini juga bergabung di website YPTD Jakarta, serta grup Guru Penggerak Indonesia, Guru Bloger Indonesia, dan Guru Penulis Indonesia. Jejak kepenulisan beliau juga telah terabadikan di beberapa buku ber-ISBN baik buku antologi bersama para pegiat literasi nusantara maupun buku tunggal.

Di akhir perbincangannya, suami dari Siti Khoriyah ini memberikan satu resep ampuh sebagai bekal agar bisa menjadi seorang penulis. “Jika ingin menjadi penulis jangan terburu-buru bermimpi menjadi penulis hebat. Jadilah penulis nekad saja dulu. Setelah Anda berani menjadi penulis nekad barulah Anda boleh berharap menjadi penulis hebat. Tapi ingat lo ya! buang jauh-jauh mental plagiasi sebab jika Anda masih terbelenggu pada mental plagiasi, selamanya Anda tidak akan merasakan nikmatnya menjadi seorang penulis.” Pesan yang sangat filosofis tentunya.

Terakhir ayah dari 3 putra (Ilham, Azzam, Ulwan), dan 1 putri (Ara) ini berharap madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis agama hendaknya mampu menjadi wadah gerakan literasi secara nyata. Para siswa dan guru madrasah sebagai kumpulan para intelektual muslim hendaknya terus menghidupkan semangat literasi dengan karya nyata bukan sekedar jargon. Bukankah perintah pertama dalam Islam adalah membaca dan menulis seperti yang disebutkan dalam surat al ‘Alaq ayat 1-5? Bukankah kata “iqra’” dan “al qalam” adalah bentuk nyata gerakan literasi dalam Islam? Maka marilah kita “Semaikan Benih Literasi di Segala Lini”.

Jika ingin berkomunikasi dengan Pak Safa’, bisa kontak di email: nanangmusafa215@gmail.com atau di nomor WA: 082228928897. Sebagai selingan menulisnya, Pak Safa’ juga belajar bikin konten video di channel youtube: portal215. “Jangan lupa like dan subscrib-nya ya….” Demikian Pak Safa’ mengakhiri perbincangannya, tetap dengan senyum khasya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

07/12/2021

Merasakan Sensasinya Jaring Tarik

 

MERASAKAN SENSASINYA JARING TARIK

Oleh: Nanang M. Safa

 



Masih tentang cerita masa lalu.

Sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an, jaring tarik menjadi salah satu alat penangkap ikan andalan di pantai Prigi dan sekitarnya. Jaring tarik adalah alat penangkap ikan terbuat dari benang dengan ukuran tertentu yang dirajut sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah jaring memanjang. Panjangnya tergantung selera sang juragan. Di ujung pertemuan kedua sisi jaring dipasang kantong (jaring dengan ukuran lobang cukup kecil yang berfungsi untuk menampung ikan yang terjebak di jaring). Saya tidak tahu pasti berapa ukuran dan apa nama resmi untuk jenis jaring ini. 

Ketika saya telusuri di search angine google, ternyata ada beberapa jenis jaring penangkap ikan di laut yakni surrounding net (jaring lingkar), seine net (pukat), trawl, dredge (penggaruk), lift net (jaring angkat), falling gear (alat yang dijatuhkan), gill net, entangling nets (jaring insang dan jaring puntal), trap (perangkap). Setelah saya baca uraiannya sekilas, menurut saya jaring tarik yang saya ceritakan ini masuk dalam kategori seine net atau pukat (https://suksesmina.wordpress.com/2016/03/23/jenis-jenis-alat-tangkap-ikan-menurut-klasifikasi-fao/).

Pukat adalah jaring yang cukup panjang dalam ukuran besar yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat di sisi bawahnya. Pukat ini membentuk semacam dinding yang melingkari kumpulan ikan sehingga ikan-ikan tersebut tidak bisa melarikan diri. (https://id.wikipedia.org/wiki/Pukat).

Jaring tarik dioperasikan dari pinggir pantai dengan cara ditarik oleh dua regu penarik. Masing-masing regu terdiri dari 10 sampai 20 orang. Satu regu di satu ujung dan satu regu lagi di ujung lainnya. Jaring ditebar ke tengah laut dalam jarak tertentu dengan posisi melengkung. Kedua ujung pluntur (tali) selanjutnya siap ditarik oleh masing-masing regu penarik.



Saya dulu juga sempat merasakan sensasinya menjadi anggota regu jaring tarik. Ketika itu tentu saya masih anak-anak, kelas 5 atau 6 Madrasah Ibtidaiyah (MI). Tentu hanya sebagai anggota regu tambahan saja karena tenaga anak-anak seusia saya tentu tidak seberapa. Istilahnya ikut “sambatan”. Saya ikut bersama dua teman saya yang ayahnya ikut menjadi anggota regu inti penarik jaring milik salah satu juragan besar ketika itu.

Lokasi yang menjadi obyek penebaran jaring ada di pantai Damas. Tentu dulu tidak seperti sekarang. Untuk menuju ke pantai Damas, kami harus berangkat pagi buta. Jalan kaki menyusuri jalan setapak, melewati hutan dan bukit (Tumpak Tileng dan Tumpak Ampo) dengan jarak tempuh sekitar 7 km. Sampai di Damas, kami sempatkan sarapan dengan bekal nasi bungkus dari rumah.

Aktifitas dimulai oleh tim perahu getek. Mereka bertugas menebar jaring ke tengah laut. Perahu getek adalah perahu sederhana yang dibuat dari rangkaian bambu betung (Dendrocalamus asper) yang dirakit sedemikian rupa sehingga cukup kuat dan tahan hempasan ombak. Pengoperasiannya dengan cara didayung oleh dua orang di kedua sisinya. Setelah jaring ditebar, pasukan penarik yang sudah siap di kedua ujung jaring siap melaksanakan tugasnya. Kedua ujung pluntur diikatkan kuat-kuat di sebuah pohon atau di sebuah patok kayu untuk mengunci dan menggulung pluntur agar tidak ruwet. Jarak kedua pasukan penarik diatur sedemikian rupa tergantung panjang jaring yang ditebar.



Menarik tali jaring ternyata juga tidak bisa sembarangan, harus tepat waktu dan kompak. Ketika ombak laut menepi, tali baru bisa ditarik sementara ketika ombak kembali ke pantai, tali harus diikatkan kuat-kuat agar tidak tertarik kembali ke tengah laut. Maka untuk menjaga kekompakan, setiap kali terdengar aba-aba “Yooo!” kami spontan menarik pluntur secara bersama-sama. Setelah 6-10 langkah dengan spontan juga kami menghentikan tarikan. Begitu terus yang kami lakukan secara pereodik. Jeda waktunya tetap, gerakannya tetap, aba-abanya juga tetap. Satu kali tarikan bisa menarik pluntur sepanjang 1,5 sampai 2 meter. Begitu seterusnya hingga jaring tarik sampai di bibir pantai. Jika dihitung, menurut perkiraan saya satu kali putaran butuh waktu 2,5 sampai 3 jam.


Ketika jaring sudah mendekati bibir pantai, jarak regu 1 dan regu 2 semakin mendekat atau lebih tepatnya menciut. Hingga ketika sudah sampai ke bagian jaring kantong (penampung ikan), jaring tarik disatukan agar ikan-ikan yang terjebak di kantong tidak lepas kembali. Tibalah saatnya ikan-ikan yang tertangkap siap dipindahkan ke keranjang-keranjang yang juga sudah disiapkan. Hiruk-pikuk mewarnai proses evakuasi ikan-ikan hasil tangkapan. Kami para anggota regu penarik sesekali ikut mengambili ikan-ikan yang tercecer di jaring luar kantong sebagai tambahan lawuhan (lauk) untuk dibawa pulang. Jumlahnya tentu tidak seberapa. Makanya untuk mendapatkannyapun harus berebut. Prinsipnya siapa cepat dia dapat. Tak jarang mandor (orang yang diserahi tugas oleh juragan jaring tarik sebagai pengawas) teriak-teriak seperti orang kesurupan untuk mengendalikan kegaduhan. Tapi memang begitulah kehidupan pantai. Bukan hal aneh bagi kami.

Setelah jaring dirapikan, tim perahu getek siap menjalankan kembali tugasnya menebar jaring ke tengah laut. Dalam satu hari bisa 3 sampai 4 kali putaran. Maka sepanjang hari itu kami harus berpanas-panas atau berhujan-hujan dan berlelah-lelah. Siang hari ada jeda istirahat untuk shalat zuhur dan makan siang dengan menu sederhana kiriman sang juragan. Biarpun begitu rasanya cukup nikmat. Mungkin karena faktor lelah dan lapar serta kebersamaan senasib hingga rasa nikmat itu benar-benar bisa kami rasakan.

Sore hari menjelang Asar, setelah mandi di belik (sumber air) di sekitar pantai Damas, kami mengantre untuk menerima upah dan jatah lawuhan. Kami yang masih anak-anak menerima upah setengah orang dewasa. Ya … lumayanlah.

Inilah kenangan masa lalu saya tentang jaring tarik.