SAMPAH DAUN RAMBUTAN
Oleh: Nanang M. Safa’
Sudah hampir satu minggu ini kami (saya dan isteri saya) harus bergiliran membersihkan daun rambutan di halaman depan rumah kami. Setiap pagi dan sore. Jika pada hari-hari sebelumnya cukup setengah angkong saja sampah daun rambutan yang kami kumpulkan, maka tindak tanggung-tanggung, setidaknya hampir tiga angkong penuh daun rambutan berwarna kuning kecoklatan selalu terkumpul setiap pagi dan sore. Maka jadilah selama hampir seminggu ini, di pinggir halaman depan rumah kami yang bersebelahan dengan sungai menggunung daun rambutan setengah kering.
Beberapa tetangga menyarankan untuk memotong saja pohon rambutan itu agar tidak membuat repot. Dan pernah juga muncul niat jahat di benak saya untuk menuruti saran beberapa tetangga saya itu. Namun setelah saya pikir-pikir lagi lebih mendalam, niat jahat itu saya buang jauh-jauh. Kalau cuma meremajakan beberapa rantingnya mungkin masih bisa saya terima. Namun jika harus memotongnya… ah, sungguh saya tidak akan melakukannya.
Pohon rambutan di depan rumah saya itu adalah salah satu peninggalan berharga ayah saya. Sejak saya masih kecil, pohon rambutan itu sudah mulai tumbuh. Seingat saya dulu, bibitnya didapat ayah saya dari kelompok tani Margo Rahayu di mana ayah saya bergabung di dalamnya. Jika dihitung-hitung, usianya sudah lebih dua puluh tahun. Sebenarnya pohon rambutan itu bukan satu-satunya pohon rambutan yang masih ada sampai sekarang. Di halaman depan rumah adik saya yang bersebelahan dengan rumah saya masih ada dua pohon rambutan, dan di halaman samping rumah adik saya yang bungsu masih ada empat pohon rambutan lagi. Juga di kebun yang letaknya beberapa ratus meter dari rumah saya, masih ada satu lagi pohon rambutan.
Dulu, ada banyak pohon rambutan yang ditanam oleh ayah saya, baik di pekarangan rumah atau di kebun. Namun setelah besar dan berbuah, ayah saya menebang beberapa pohon yang buahnya dianggap kurang sesuai harapan. Ternyata bibit pohon rambutan itu terdiri dari beberapa jenis, ada yang manis dan sangat mudah terkelupas, ada pula yang agak masam dan agak sulit terkelupas. Jenis kedua inilah yang ditebang oleh ayah saya.
Ketika musim buah tiba, pohon-pohon rambutan itu juga berbuah cukup lebat. Namun sebanyak apapun buah rambutan itu, tak pernah ayah dan ibu saya menjualnya. Buah-buah rambutan itu dipanen dan dibagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudara. Itulah salah satu kekaguman saya kepada ayah dan ibu saya. Maka ketika muncul niat untuk menebangnya, saya anggap itu adalah sebuah niat jahat, dan sedapat mungkin akan saya halau jauh-jauh dari benak saya.
Menurut saya, pohon-pohon peninggalan orang-orang terdahulu (orang tua dan nenek moyang kita) adalah salah satu bentuk amal jariyah mereka. Ketika pohon-pohon itu berbuah, dan memberikan manfaat bagi generasi berikutnya maka di situlah terkandung nilai amal jariyah bagi mereka. Ada sebuah ungkapan sederhana ala petani, “Tanamlah sebuah pohon selagi kita masih bisa menanamnya. Biarpun mungkin kita sudah tidak bisa lagi menikmati hasilnya”. Sungguh sebuah ungkapan yang inspiratif. Jika saja mereka hanya memikirkan diri sendiri maka tak akan mau mereka menanam beragam jenis pohon yang tentu cukup menguras energi dan kesungguhan; menanam, memupuk, menyirami, dan merawatnya hingga siap berbuah.
Coba bayangkan, di usia senjanya (usia 55 tahun ke atas) banyak tetangga saya yang masih begitu semangatnya menanam berbagai jenis pohon, baik pohon buah maupun pohon komoditas. Durian, manggis, alpukat, jengkol, petai, kelapa, cengkeh, dan sengon laut adalah beberapa jenis pohon yang menjadi pilihan para petani di daerah kami. Jika dikalkulasi maka sangat kecil kemungkinannya bagi mereka untuk bisa menikmati hasilnya. Bukankah pohon-pohon jenis tersebut butuh waktu tujuh hingga sepuluh tahun untuk bisa dinikmati hasilnya? Maka sekali lagi, tidak salah kiranya bahwa pohon-pohon peninggalan mereka akan menjadi amal jariyah bagi mereka.
Maka tentu sangat tak sebanding kiranya jika saya menebang pohon rambutan di halaman depan rumah saya hanya karena merasa direpotkan dengan sampah daun rambutan yang berguguran. Dan mestinya dari daun-daun rambutan tersebut, saya bisa memanfaatkannya menjadi pupuk kompos untuk beberapa jenis tanaman di belakang rumah.
Maafkan saya, ayah…ibu… atas niat jahat yang sempat terlintas di benak saya ini….
Di plementasi mas buat pakan ternak
BalasHapusSaran saya jangan di tebang ,tapi kalau sekedar di remajakan ,tidak apa2,toh bisa juga untuk penghijauan di depan rumah supaya tidak panas ,
BalasHapus