ISTIGHOSAH BUKAN SEKEDAR AGENDA RUTIN TAHUNAN
Oleh: Nanang M. Safa'
“Berdo'alah kepada Tuhan-mu dengan merendahkan diri
dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
malampui batas"
( QS Al a'rof : 55 )
Doa adalah gambaran nyata dari penghambaan kita
kepada Allah. Dengan do’a, seorang makhluk
berkomunikasi dengan Sang Khaliq. Lewat do’a pula, seorang hamba mengakui kelemahan
dan ketidak berdayaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kuasa.
Namun sepertinya ada anggapan yang kadang membuat
kita salah dalam menempatkan do’a itu sendiri. Bahwa kita berdo’a hanya pada
saat-saat kita sedang menghadapi sebuah peristiwa penting atau ketika sedang
mengalami musibah seperti sakit atau sedang berduka. Pada saat-saat seperti itu
seakan-akan kita begitu khusuk memanjatkan do’a, bermohon dan bermunajad kepada
Allah. Sedangkan pada saat-saat biasa –dan ini yang sering kita alami
sehari-hari- do’a yang kita panjatkan tidak lebih hanyalah rutinitas tanpa rasa
tawadlu’ atau bahkan hanya sebagai pelengkap ritual, atau juga sebagai penutup
acara.
Ada istilah lain yang sering kita dengar yang
sejenis dengan do’a yakni istighosah. Namun sebenarnya peruntukan dari
kedua istilah tersebut sedikit berbeda. Do’a lebih mengarah kepada hal yang
bersifat umum, sedangkan istighosah mengandung makna khusus menyangkut
permohonan agar dihindarkan dari musibah. Jadi antara keduanya terdapat makna umum dan makna khusus yang mutlak,
artinya setiap istighostah adalah do'a namun sebaliknya setiap do'a belum
tentu masuk kategori istighostah.
Menjelang ujian
nasional (UN) banyak sekolah yang menyelenggarakan “istighosah” massal
yang melibatkan seluruh siswa peserta ujian nasional, guru, bahkan orang tua
siswa.
Ada satu
pertanyaan yang perlu dikritisi dalam konsteks ini yakni apakah ujian nasional
itu memang telah dianggap sebagai musibah yang mengancam keselamatan siswa atau
bahkan lembaga pendidikan (baca: sekolah)? Padahal bukankah ujian
nasional atau apapun namanya itu tak lebih hanyalah sebuah alat ukur untuk
mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran yang telah diterima?
Jadi bukankah itu sebenarnya hal yang biasa saja?
Memang tak bisa
dipungkiri, dalam sistem pendidikan kita banyak kerancuan terjadi. Pendidikan
dipahami hanya sebatas peristiwa pengajaran, itu pun hanya yang paling dangkal.
Banyak guru yang masih menghayati peran hanya sebagai pengajar, belum sampai
pada tataran mendidik. Guru jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator,
apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid memiliki greget
untuk lebih rajin belajar agar kelak lebih dahsyat dari gurunya. Para
guru lupa mengingatkan kepada muridnya bahwa Allah hanya akan meninggikan
derajad orang yang berilmu pengetahuan.
Makanya yang dikejar murid dan dianjurkan oleh sistem pendidikan umumnya
hanya untuk mencari selembar ijazah dan bukan untuk mencari ilmu pengetahuan (thalabul
ilmi). Wajar jika Allah akhirnya tidak meninggikan derajad mereka. Dalam
konteks ini Istighosah —disadari maupun tidak— hanya difungsikan sebagai
kegiatan yang bersifat pragmatis belaka, dan bukan sebuah peristiwa religiusitas
atau hubungan kemesraan antara Allah dan hamba-Nya. Sungguh hal yang
menggelisahkan jika hal ini yang terjadi.
Kegiatan
religius yang mestinya sangat sakral ternyata tak lebih hanya menjadi ajang tawar-menawar
dalam hitungan untung rugi yang sangat berbau pragmatis dan kapitalis.
Naudzubillah!
Maka marilah
kita rubah mindset kita tentang makna pendidikan (termasuk Ujian
Nasional) itu terutama kepada para anak didik kita agar kelak terbentuk
pribadi-pribadi yang ahsani taqwim, makhluk yang hanya mencintai dan
meletakkan Allah dan Rasul-Nya di hati mereka. Jangan sampai istighosah
hanya menjadi kegiatan fenomenal setahun sekali yakni pada saat menjelang ujian
nasional, dan itupun dalam hitungan untung rugi. Kita hanya menjadi pihak yang
meminta saja dalam kemasan instan.
Marilah kita
selalu dan selalu mengingat Allah tidak saja pada saat-saat kita “berduka” dan ketika
sedang menghadapi “peristiwa” berat saja. Marilah kita patri Allah dalam hati kita
agar kita menjadi hamba-hamba Allah yang ahsani taqwim. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...