KEJUJURAN
vs KECURANGAN MASSAL
Oleh: Nanang M. Safa'
Sudah banyak konsep yang ditawarkan para ahli yang bermuara pada
penanaman kejujuran pada siswa, mulai dari kantin kejujuran, tray out
kejujuran, quiz kejujuran dan seterusnya, namun hasilnya ternyata masih jauh
dari harapan. Jika dicermati dari sejumlah kasus pelanggaran ketidakjujuran
yang terjadi, ternyata semuanya bermuara pada kepentingan sistem, artinya di
satu sisi sebenarnya siswa sudah mulai bisa berlaku jujur, tapi di sisi lain
ternyata justru ada pihak-pihak yang tidak rela jika siswa menjadi benar-benar
jujur.
Contoh paling sederhana adalah pada penentuan KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal). Pihak sekolah seringkali harus
jaga gengsi dengan menentukan nilai KKM tinggi untuk bisa mengikuti pangsa
pasar agar outputnya kelak laku di jenjang berikutnya atau di dunia kerja
hingga akhirnya guru terpaksa harus "ngaji" –ngarang biji- dengan mengatrol nilai siswa agar bisa mencapai KKM yang
tinggi tersebut. Dampak dari kebijakan yang tidak bijaksana ini adalah siswa
menjadi acuh, cuek dan malas, toch
untuk dapat mencapai nilai KKM, mereka tidak perlu bersusah payah belajar. Sebaliknya bagi siswa yang memiliki kemampuan
di atas rata-rata menjadi kurang termotivasi untuk terus berprestasi.
Dalam sebuah diskusi kecil pada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) ada sebuah ungkapan yang bernada sarkartis menyangkut penilaian terhadap
hasil evaluasi belajar siswa. Seorang guru muda yang dikenal cukup kritis
melontarkan uneg-unegnya bahwa sistem penilaian “tempoe doeloe” sepertinya lebih obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan.
Penentuan nilai siswa yang tidak dipatok KKM (ditulis apa adanya sesuai hasil
capaian siswa bersangkutan) justru memberikan efek positif bagi siswa dan dapat
memacu siswa untuk giat belajar. Di pihak lain guru juga harus berjuang lebih
giat untuk menghindari cap sebagai guru yang tidak becus mengajar lantaran
banyak siswa yang nilainya dibawah enam.
Ujian Nasional formulasi baru yang digagas Kementerian Pendidikan Nasional sebagai penyempurnaan dari sistem unas tahun-tahun
sebelumnya juga masih menyisakan sejumlah masalah. Sistem kelulusan yang
mensyaratkan 40 % kelulusan didasarkan pada nilai rapor siswa, sudah sejak awal
"diantisipasi" pihak sekolah. Banyak sekolah yang merekayasa nilai
rapor dengan membuat "rapor bayangan" yaitu rapor yang berisi nilai
hasil modifikasi untuk mengantisipasi banyaknya siswa yang mendapat nilai
rendah saat ujian nasional kelak. Belum lagi berbagai laporan kecurangan yang
terjadi selama pelaksanaan Ujian Nasional digelar, seperti praktik perjokian, penunjukan siswa pandai sebagai
“pemandu jawaban”, pengaturan formasi pembagian paket soal, masih adanya siswa peserta
ujian dan pengawas yang membawa hp ke dalam ruang ujian, hingga adanya
intimidasi terhadap para pengawas ruang oleh pihak sekolah penyelenggara.
Jauh-jauh hari sebelum Ujian Nasional digelar, Mendiknas Moh. Nuh sudah
mewanti-wanti agar pihak sekolah tidak bermain-main dengan Ujian Nasional,
sebab jika sampai ditemukan kecurangan yang dilakukan pihak sekolah, maka mendiknas tidak segan-segan
memberi sanksi berat.
Lain mendiknas lain pula Pengurus Besar Persatuan Guru Republik
Indonesia (PB-PGRI). Organisasi yang nota bene memayungi guru di Indonesia
tersebut justru bisa mentolerir para guru yang yang bertindak tidak sportif
dalam Ujian Nasional (Jawa
Pos, Jum'at 15 April 2011). Toleransi PB PGRI ini didasarkan pada beratnya tanggung
jawab sekolah sebagai pihak yang berada pada posisi terjepit yaitu bahwa
sekolah punya kewajiban "tidak tertulis" harus bisa meluluskan
seluruh siswanya. Tekanan itu tidak hanya datang dari masyarakat (wali murid)
namun tekanan lebih keras justru datang dari atasan. Seperti sebuah mata rantai,
guru ditekan oleh Kepala Sekolah, Kepala Sekolah ditekan habis-habisan oleh
Kepala Dinas (sebagai kepanjangan tangan) dari Kepala Daerah yang menuntut 90
hingga 97 persen kelulusan, padahal menurut itung-itungan PGRI sendiri yang
paham betul tentang kondisi sekolah-sekolah di Indonesia, jika saja Ujian
Nasional dilakukan secara sportif dan obyektif maka kelulusan siswa paling
banter hanya bisa mencapai 50 % saja. Maka dapat dimaklumi jika masih banyak
pihak yang tidak respek terhadap hasil capaian ujian nasional sebagai tolok
ukur keberhasilan pendidikan nasional.
Uraian
di atas hanya sebuah gambaran kecil tentang betapa sebuah kejujuran di dunia
pendidikan kita sudah menjadi barang antik yang sangat sulit dicari. Jika benar
demikian, sepertinya cita-cita untuk membangun negara ini menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi toto
titi tentrem atau baldatun thoyyibatun wa
roobun ghofur hanya
ada dalam kidungan. Mari kita renungkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...