PAHLAWAN BUKAN SEKEDAR SEBUAH SEBUTAN
Oleh: Nanang M. Safa
Tanggal 10 Nopember sudah sangat popular di kalangan bangsa Indonesia yang cinta tanah air sebagai hari Pahlawan. Pada tiap tahun pula, kita bangsa Indonesia selalu memperingatinya. Namun sejauh manakah peringatan tersebut mampu menggunggah kita untuk mewarisi jiwa patriotisme para pahlawan bangsa tersebut? Lalu apakah makna peringatan itu bagi kita? Sekedar acara seremonialkah atau sudah mampu membawa kita pada pemaknaan hakiki tentang arti kepahlawanan.
78 tahun silam Brigadir Jendral Mallaby tewas di Surabaya dalam sebuah bentrokan antara tentara Sekutu dengan arek-arek Surabaya. Atas peristiwa tewasnya Mallaby tersebut kemudian pada tanggal 9 Nopember 1945 pimpinan Sekutu mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan semua pimpinan dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang telah di tentukan dan selanjutnya menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas kepala. Ultimatum itu tidak dihiraukan rakyat Surabaya walaupun deadline yang diberikan hanya sampai pukul 06.00 tanggal 10 Nopember. Arek-arek Suroboyo dengan jiwa patriotisme yang pantang menyerah dengan senjata seadanya bertempur habis-habisan dengan semboyan "Merdeka ataoe Mati!!" melawan tentara Sekutu. Bung Tomo dengan suara menggeledek bak halilintar mengalunkan gema takbir "Allahu Akbar!" membangunkan arek-arek Suroboyo. Mereka akhirnya bangkit, bersatu padu, menyatukan tekad mengusir Sekutu yang ingin merampas kemerdekaan bangsa Indonesaia yang baru saja diproklamirkan oleh dwi-tungal Soekarno – Hatta. Sekutu ingin kembali menjajah dan menjarah kekayaan negeri kita ini dengan congkaknya. Pertempuran yang tidak seimbang itu akhirnya dimenangkan oleh arek-arek Suroboyo. Ketika itu tidak terhitung lagi berapa korban nyawa yang syahid di medan laga. Dan pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 Nopember sebagai “Hari Pahlawan“.
Para pejuang kemerdekaan dulu telah rela sepenuh hati meninggalkan keluarga dan orang-orang tercinta demi menggapai kemerdekaan yang sangat didambakan bangsa Indonesia. Mereka tidak lagi mengharap imbalan dan tidak perlu lagi perhitungan untung rugi maju ke medan laga, menghadapi desing peluru dan tembakan meriam tentara musuh biar pun maut datang menjemput. Mereka berjuang sebagai panggilan jiwa dan pengabdian diri terhadap bangsa dan negara Indonesia. Mereka telah menghayati arti kewajiban bela negara. Jiwa patriotis dan nasionalis telah terpatri dan tertanam dalam diri sehingga tidak lagi takut menghadapi ancaman dan teror senjata, apalagi iming-iming materi dan imbalan jasa serta pertimbangan untung rugi.
Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sepertinya sudah makin tidak menghayati makna hari pahlawan. Peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat seremonial. Atau bahkan kita tidak merasa perlu lagi memperingati hari pahlawan tersebut dan tidak perlu lagi mengenang jasa-jasa para pahlawan karena menganggap sudah bukan jamannya lagi?! Betapa naifnya kita jika memiliki anggapan seperti itu.
Memang, sekarang bukan jamannya lagi maju ke medan laga dengan membawa bambu runcing, keris, pedang, tombak, dan sejenisnya. Namun tugas kita sekarang adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dulu, para pahlawan telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dan sekarang, di saat kemerdekaan itu telah dapat mereka persembahkan, maka menjadi tanggung jawab kitalah sebagai generasi penerus perjuangan bangsa untuk mengisi kemerdekaan itu.
Di alam kemerdekaan ini pun kita sangat butuh pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang mampu menjadi pelopor dan memiliki keberanian untuk berkorban tanpa pamrih dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani yang tidak sekedar mengharap imbalan? Dan ternyata jika kita cermati pada situasi sekarang, berapa banyak orang yang bisa kita temukan di lingkungan sekitar kita yang pantas disebut sebagai pahlawan, padahal begitu banyak orang yang berkoar-koar sebagai seorang yang sok pahlawan. Mereka itu barangkali lebih pantas disebut sebagai pahlawan kesiangan yaitu pahlawan yang muncul ketika kesulitan sudah terlewati. Atau pahlwan karbitan yaitu pahlawan yang muncul karena pamrih jabatan dan kedudukan.
Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Setiap hari kita harus berjuang paling tidak menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri, bagi keluarga, dan bagi orang-orang di sekitar kita.
Disadari atau tidak, kemerdekaan yang kita rasakan saat ini adalah warisan para pejuang tempo dulu. Kemerdekaan yang kita rasakan adalah kemerdekaan “temuan“ tanpa bersusah payah untuk mendapatkannya. Mengingat kenyataan ini, akankah kita menyia-nyiakan warisan kemerdekaan para pejuang? Ataukah pula kita akan melupakan momentum hari pahlawan?
Warisan kemerdekaan adalah sebuah amanah, dan amanah senantiasa harus dijaga dan pelihara, sebab bila warisan kemerdekaan tidak lagi terpelihara, bisa jadi apa yang terjadi di 76 tahun silam akan terulang lagi. Maka demi mengisi kemerdekaan yang kita genggam saat ini, marilah bersama-sama berjuang agar tidak menjadi bangsa yang terbelakang. Apalagi bagi para remaja yang notabene adalah generasi penerus perjuangan bangsa. Para remaja seharusnya lebih tekun belajar dan berkarya, bukan justru melakukan hal-hal yang kontra produktif dengan membentuk kelompok dan komunitas (baca: geng) yang tak jelas arah dan tujuannya, yang hanya membuat keresahan di masyarakat dengan kebut-kebutan di jalan raya, mabuk-mabukan, pesta pora dan hura-hura serta tawuran massal. Pasti para pahlawan akan menangis pilu melihat ulah anak-anak bangsa yang mestinya diharapkan dapat meneruskan estafet perjuangan mereka.
Lalu menjadi tanggung
jawab siapakah untuk menyadarkan para anak bangsa tersebut? Tentu saja semua elemen masyarakat harus bergerak bersama,
mencari solusi bersama, dan melakukan aksi (tindakan nyata) sesuai
dengan bidang dan keahliannya
masing-masing. Dengan demikian harapan untuk bisa mewujudkan negara adil makmur yang kita idam-idamkan benar-benar bisa menjadi kenyataan. Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...