MENUJU GURU PROFESIONAL MELALUI PLPG;
MENGAPA STRES?*
Oleh: Nanang M. Safa'
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
dilatarbelakangi oleh adanya perubahan pada faktor global dan kondisi
pendidikan nasional yang stagnan sehingga mendorong pemerintah untuk melakukan
upaya-upaya perbaikan dan dinamisasi ke arah perkembangan yang lebih baik.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah yaitu dengan meningkatkan kualitas
dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi guru.
Upaya peningkatan mutu guru tersebut kemudian dilakukan
melalui upaya peningkatan profesionalisme guru. Guru dikatakan profesional jika
memenuhi tiga kriteria :
Pertama; Kualifikasi akademik yaitu bahwa seorang guru setidaknya harus
berijazah sarjana S1 atau D4.
Kedua; Kompetensi yaitu bahwa seorang
guru harus memiliki 4 kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional dan sosial.
Ketiga; Sertifikasi yaitu bahwa seorang
guru harus memiliki sertifikat profesi yang dapat diperoleh melalui uji
kompetensi guru lewat penilaian portofolio yang merupakan proses dan bentuk
pengakuan atas pelbagai pengalaman profesional guru selama berkarier sebagai
guru.
Penilaian Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan dokumentasi tertulis dari
seluruh kompetensi yang dimiliki seorang guru selama menjadi guru yang disusun
secara sistematis dalam tata urutan yang sudah ditentukan. Dari portofolio
inilah para penilai (asesor) memberikan penilain “lulus atau belum lulus”
seritifikasi bagi guru yang bersangkutan berdasarkan ketentuan yang telah dibakukan.
Selanjutnya bagi guru-guru yang belum lulus direkomendasikan untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan (diklat) yang disebut dengan Pendidikan dan Pelatihan
Profesi Guru (PLPG).
Jika dicermati lebih seksama, sebenarnya pemicu
banyaknya guru peserta sertifikasi yang belum lulus portofolio disebabkan
hal-hal berikut :
Pertama; Guru yang bersangkutan tidak terbiasa mendokumentasikan secara
baik apa yang telah diperolehnya selama kurun waktu menekuni profesi sebagai
guru. Kebanyakan para guru menganggap hal itu tidak penting sehingga pada saat
penyusunan portofolio mayoritas guru kelabakan dan tidak siap.
Kedua; Faktor waktu yang terlalu singkat untuk penyusunan portofolio yang
bagi kebanyakan guru merupakan hal baru. Kondisi ini diperparah dengan ketidak jelasan
penjelasan dan pengarahan yang diterima guru peserta sertifikasi dari
koordinator masing-masing wilayah kerja (Mapenda).
Ketiga; Minimnya kesempatan yang dimiliki guru untuk mengikuti pendidikan
dan pelatihan (diklat) sebagai prasyarat utama untuk mendulang skor
sebanyak-banyaknya lewat bukti tertulis berupa sertifikat keahlian. Maka hampir
bisa dipastikan sebagian besar guru yang lulus sertifikasi lewat penilaian
portofolio adalah guru senior yang menduduki jabatan struktural di lembaga
pendidikannya masing-masing seperti Kepala Sekolah atau minimal Waka (Wakil
Kepala), sebab merekalah yang lazimnya sering mengikuti diklat yang
direkomendasikan pihak sekolah.
Keempat; Kebanyakan guru tidak terbiasa menulis artikel atau karangan
ilmiah dan laporan penelitian semisal PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Padahal
guru adalah nara
sumber dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tentu saja sangat kaya ide
dan inspirasi. Bahkan tidak jarang yang baru mengenal apa itu PTK ketika ada
panggilan sertifikasi.
Mengapa Harus PLPG?
Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) bukan
sekedar untuk memenuhi batas skor kelulusan sertifikasi, namun lebih dari itu,
PLPG bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pelaksanaan PLPG
mengintegrasikan teori dan praktik serta internalisasi nilai-nilai keagamaan
secara inhern artinya para peserta PLPG dikondisikan sedemikian rupa sehingga
sepulang mengikuti PLPG para peserta benar-benar merasa mengalami perubahan
berarti dibanding sebelum mengikuti PLPG.
Dari beberapa kesempatan perbincangan yang penulis
lakukan dengan beberapa guru peserta PLPG di UIN Mulana Malik Ibrahim Malang
beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa para peserta benar-benar merasa
menjadi guru yang baru di-refresh. Para guru
ini merasa benar-benar mendapat berbagai pengetahuan, pengalaman dan
ketrampilan baru berkaitan dengan profesinya sebagai guru. Sehingga muncul
anekdot jika saja waktu PLPG diperpanjang mereka dengan iklash dan senang hati
akan mengikutinya tanpa menawar lagi.
Merujuk pada kondisi riil tersebut maka menjadi sebuah
ide brilian ketika Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony, Dekan Fakultas Tarbiyah
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang melontarkan statemen bahwa
PLPG-lah yang sebenarnya (harus) menjadi tolok ukur obyektif untuk mengukur
empat kompetensi guru. Lebih lanjut Prof. Djunaidi menegaskan bahwa PLPG
merupakan ajang penyempurnaan, penyegaran sekaligus pengayaan kompetensi guru.
Sebagai contoh, ada materi pengembangan profesi guru, materi perencaaan
pembelajaran, pengembangan berbagai model dan strategi pembelajaran aktif dan
materi penilaian kelas. Maka dengan PLPG ini semua guru akan direfresh,
terutama pada kompetensi pedagogiknya. Apalagi dengan tim pelatih yang beragam
latar belakang tentu upaya pengayaan dan penyempurnaan itu bisa variatif dan
lengkap. (Koran Pendidikan, Edisi 246, Pebruari 2009).
Mengapa Stres?
Mendengar kata “stres” tentu kita langsung bersumsi pada
keadaan negatif yang menimpa seseorang menyangkut kondisi kejiwaannya. Memang,
stres merupakan keadaan yang mencerminkan kecemasan, ketegangan dan
ketidaksenangan yang dirasakan seseorang ketika harus berada dalam kondisi
tertentu. Stres ringan bisa berupa kecemasan, gelisah, nervous dan sejenisnya,
sedangkan stres berat seperti tidak bisa tidur, tertekan, terbebani yang
berlebihan hingga merasa dihantui perasaan takut dan sejenisnya. Stres bisa
menimpa lantaran seseorang tidak mampu memenej kondisi yang
dihadapinya/dialaminya. Menurut para ahli, pemicu stres bisa berasal dari diri
sendiri seperti kondisi tubuh yang kurang fit atau beban fikiran yang berat.
Juga bisa berasal dari luar diri seperti keluarga yang tidak harmonis, masalah
keuangan juga lingkungan sosial yang tidak kondusif.
Lalu mengapa peserta PLPG bisa sampai stres?
Seorang teman guru yang terkenal low profile sepulang
mengikuti PLPG menceritakan kondisinya saat berada di ajang PLPG. Dia
benar-benar berada dalam kondisi tegang dan “tidak enak”. Kondisi tegang dan
tidak enak inipun masih terbawa sampai di rumah dan di tempat mengajarnya.
Bahkan suatu malam dia terbangun secara tiba-tiba (Jawa: drandapan)
lantaran merasa ada tugas yang belum terselesaikan.
Memang, mau tidak mau yang namanya diklat (pendidikan
dan latihan) yang sudah terjadwal sedemikian rupa, menuntut kesiapan fisik dan
mental yang cukup. Artinya selain jadwal yang sedemikian padat dari pagi hingga
malam, juga tugas-tugas praktik (sebagai aplikasi dari materi teoritis) tentu
juga butuh energi ekstra untuk mampu menyelesaikannya. Apalagi jika lingkungan
sosialnya tidak kondusif, kinerja panitia yang kurang professional atau para
tutornya yang hanya berorientasi pada target menghabiskan materi tanpa mau
perduli terhadap keadaan peserta yang mayoritas sudah berumur 40 tahun ke atas
yang tentu saja kondisi fisiknya juga sudah mulai menurun, atau seringkali
dimunculkan ketegangan-ketegangan dengan model intimidasi dan ancaman tidak
lulus dan lain-lain. Tentu saja kondisi seperti ini bagi peserta yang tidak
terbiasa akan dianggap sebagai stressing yang pada akhirnya bisa memicu stress.
Jika ini yang terjadi, siapa yang patut dipersalahkan? @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...