PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Menuju Guru Profesional Melalui PLPG; Mengapa Stres?

23/07/2012

Menuju Guru Profesional Melalui PLPG; Mengapa Stres?


MENUJU GURU PROFESIONAL MELALUI  PLPG;
MENGAPA STRES?*
Oleh: Nanang M. Safa'

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dilatarbelakangi oleh adanya perubahan pada faktor global dan kondisi pendidikan nasional yang stagnan sehingga mendorong pemerintah untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan dinamisasi ke arah perkembangan yang lebih baik. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah yaitu dengan meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi guru.
Upaya peningkatan mutu guru tersebut kemudian dilakukan melalui upaya peningkatan profesionalisme guru. Guru dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria :
Pertama; Kualifikasi akademik yaitu bahwa seorang guru setidaknya harus berijazah sarjana S1 atau D4.
Kedua; Kompetensi yaitu bahwa seorang guru harus memiliki 4 kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
Ketiga; Sertifikasi yaitu bahwa seorang guru harus memiliki sertifikat profesi yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi guru lewat penilaian portofolio yang merupakan proses dan bentuk pengakuan atas pelbagai pengalaman profesional guru selama berkarier sebagai guru.

Penilaian Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan dokumentasi tertulis dari seluruh kompetensi yang dimiliki seorang guru selama menjadi guru yang disusun secara sistematis dalam tata urutan yang sudah ditentukan. Dari portofolio inilah para penilai (asesor) memberikan penilain “lulus atau belum lulus” seritifikasi bagi guru yang bersangkutan berdasarkan ketentuan yang telah dibakukan. Selanjutnya bagi guru-guru yang belum lulus direkomendasikan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) yang disebut dengan Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG).
Jika dicermati lebih seksama, sebenarnya pemicu banyaknya guru peserta sertifikasi yang belum lulus portofolio disebabkan hal-hal berikut :
Pertama; Guru yang bersangkutan tidak terbiasa mendokumentasikan secara baik apa yang telah diperolehnya selama kurun waktu menekuni profesi sebagai guru. Kebanyakan para guru menganggap hal itu tidak penting sehingga pada saat penyusunan portofolio mayoritas guru kelabakan dan tidak siap.
Kedua; Faktor waktu yang terlalu singkat untuk penyusunan portofolio yang bagi kebanyakan guru merupakan hal baru. Kondisi ini diperparah dengan ketidak jelasan penjelasan dan pengarahan yang diterima guru peserta sertifikasi dari koordinator masing-masing wilayah kerja (Mapenda).
Ketiga; Minimnya kesempatan yang dimiliki guru untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) sebagai prasyarat utama untuk mendulang skor sebanyak-banyaknya lewat bukti tertulis berupa sertifikat keahlian. Maka hampir bisa dipastikan sebagian besar guru yang lulus sertifikasi lewat penilaian portofolio adalah guru senior yang menduduki jabatan struktural di lembaga pendidikannya masing-masing seperti Kepala Sekolah atau minimal Waka (Wakil Kepala), sebab merekalah yang lazimnya sering mengikuti diklat yang direkomendasikan pihak sekolah.
Keempat; Kebanyakan guru tidak terbiasa menulis artikel atau karangan ilmiah dan laporan penelitian semisal PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Padahal guru adalah nara sumber dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tentu saja sangat kaya ide dan inspirasi. Bahkan tidak jarang yang baru mengenal apa itu PTK ketika ada panggilan sertifikasi.

Mengapa Harus PLPG?
Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) bukan sekedar untuk memenuhi batas skor kelulusan sertifikasi, namun lebih dari itu, PLPG bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pelaksanaan PLPG mengintegrasikan teori dan praktik serta internalisasi nilai-nilai keagamaan secara inhern artinya para peserta PLPG dikondisikan sedemikian rupa sehingga sepulang mengikuti PLPG para peserta benar-benar merasa mengalami perubahan berarti dibanding sebelum mengikuti PLPG.  
Dari beberapa kesempatan perbincangan yang penulis lakukan dengan beberapa guru peserta PLPG di UIN Mulana Malik Ibrahim Malang beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa para peserta benar-benar merasa menjadi guru yang baru di-refresh. Para guru ini merasa benar-benar mendapat berbagai pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan baru berkaitan dengan profesinya sebagai guru. Sehingga muncul anekdot jika saja waktu PLPG diperpanjang mereka dengan iklash dan senang hati akan mengikutinya tanpa menawar lagi.
Merujuk pada kondisi riil tersebut maka menjadi sebuah ide brilian ketika Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony, Dekan Fakultas Tarbiyah Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang melontarkan statemen bahwa PLPG-lah yang sebenarnya (harus) menjadi tolok ukur obyektif untuk mengukur empat kompetensi guru. Lebih lanjut Prof. Djunaidi menegaskan bahwa PLPG merupakan ajang penyempurnaan, penyegaran sekaligus pengayaan kompetensi guru. Sebagai contoh, ada materi pengembangan profesi guru, materi perencaaan pembelajaran, pengembangan berbagai model dan strategi pembelajaran aktif dan materi penilaian kelas. Maka dengan PLPG ini semua guru akan direfresh, terutama pada kompetensi pedagogiknya. Apalagi dengan tim pelatih yang beragam latar belakang tentu upaya pengayaan dan penyempurnaan itu bisa variatif dan lengkap. (Koran Pendidikan, Edisi 246, Pebruari 2009).

Mengapa Stres?
Mendengar kata “stres” tentu kita langsung bersumsi pada keadaan negatif yang menimpa seseorang menyangkut kondisi kejiwaannya. Memang, stres merupakan keadaan yang mencerminkan kecemasan, ketegangan dan ketidaksenangan yang dirasakan seseorang ketika harus berada dalam kondisi tertentu. Stres ringan bisa berupa kecemasan, gelisah, nervous dan sejenisnya, sedangkan stres berat seperti tidak bisa tidur, tertekan, terbebani yang berlebihan hingga merasa dihantui perasaan takut dan sejenisnya. Stres bisa menimpa lantaran seseorang tidak mampu memenej kondisi yang dihadapinya/dialaminya. Menurut para ahli, pemicu stres bisa berasal dari diri sendiri seperti kondisi tubuh yang kurang fit atau beban fikiran yang berat. Juga bisa berasal dari luar diri seperti keluarga yang tidak harmonis, masalah keuangan juga lingkungan sosial yang tidak kondusif.
Lalu mengapa peserta PLPG bisa sampai stres?
Seorang teman guru yang terkenal low profile sepulang mengikuti PLPG menceritakan kondisinya saat berada di ajang PLPG. Dia benar-benar berada dalam kondisi tegang dan “tidak enak”. Kondisi tegang dan tidak enak inipun masih terbawa sampai di rumah dan di tempat mengajarnya. Bahkan suatu malam dia terbangun secara tiba-tiba (Jawa: drandapan) lantaran merasa ada tugas yang belum terselesaikan.
Memang, mau tidak mau yang namanya diklat (pendidikan dan latihan) yang sudah terjadwal sedemikian rupa, menuntut kesiapan fisik dan mental yang cukup. Artinya selain jadwal yang sedemikian padat dari pagi hingga malam, juga tugas-tugas praktik (sebagai aplikasi dari materi teoritis) tentu juga butuh energi ekstra untuk mampu menyelesaikannya. Apalagi jika lingkungan sosialnya tidak kondusif, kinerja panitia yang kurang professional atau para tutornya yang hanya berorientasi pada target menghabiskan materi tanpa mau perduli terhadap keadaan peserta yang mayoritas sudah berumur 40 tahun ke atas yang tentu saja kondisi fisiknya juga sudah mulai menurun, atau seringkali dimunculkan ketegangan-ketegangan dengan model intimidasi dan ancaman tidak lulus dan lain-lain. Tentu saja kondisi seperti ini bagi peserta yang tidak terbiasa akan dianggap sebagai stressing yang pada akhirnya bisa memicu stress. Jika ini yang terjadi, siapa yang patut dipersalahkan? @

*Dimuat di Radar Blitar (Jawa Pos Group) edisi 18 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...