PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA

26/09/2015

Pancasila Sakti (Kau Akan Tetap Menginspirasi)

“PANCASILA SAKTI”

(KAU AKAN TETAP MENGINSPIRASI)

Oleh: Nanang M. Safa


Pada era Orde Baru, kata “Pancasila Sakti” terasa sangat akrab di telinga. Namun seiring perubahan dan pergeseran era kepemimpinan nasional, kata  “Pancasila Sakti” juga mulai hilang dari ingatan. Bahkan ada kalangan yang terang-terangan “menggunggat” term Pancasila Sakti tersebut. Akhir-akhir ini bangsa Indonesia mulai sadar diri betapa penting arti Pancasila untuk mendukung eksistensi negara-bangsa, sehingga Pancasila mulai diusung lagi ke permukaan, menjadi wacana di berbagai forum seminar dan diskusi. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mendudukkan pengertian “Pancasila Sakti” secara proporsional, supaya tidak menimbulkan kesalah pahaman.

Makna kata “sakti” sebenarnya lebih berkaitan dengan peristiwa sejarah nasional. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa G-30S/PKI pada tahun 1965. Aksi PKI ini terkenal sangat brutal dan kejam. Selain ulama, ustadz dan tokoh agama, beberapa jendral juga menjadi korban kebiadaban mereka, yakni Letjen Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi), Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen), Brigjen Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik), Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat), Putri Jendral Nasution yaitu Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, Bripka Karel Satsuit Tubun (pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena), Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072 Pamungkas, Yogyakarta), dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072 Pamungkas, Yogyakarta). Sementara Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi target utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya.

Sebelum meletusnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965, PKI juga telah melakukan aksi serupa pada tahun 1948 di Madiun di bawah komando Musso. Pada saat rakyat Indonesia harus berkonsentrasi mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda dan Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia, pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Tujuannya adalah untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu bersamaan, gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun. Untuk menumpas pemberontakan PKI Madiun ini, pemerintah melancarkan operasi militer. Dalam hal ini peran Divisi Siliwangi cukup besar. Di samping itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk mengerahkan pasukannya menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Bersama-sama rakyat akhirnya mereka bisa menumpas gerakan PKI Madiun di bawah pimpinan Musso.

Tujuan utama dari aksi-aksi PKI ini sebenarnya muaranya tetap satu yakni ingin mengganti Ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis. Namun usaha PKI ini selalu gagal berkat Pancasila yang dapat MENGINSPIRASI bangsa Indonesia sehingga bisa bersatu-padu melawan gerakan makar PKI yang ingin menghapus Pancasila dan mengantinya dengan ideologi komunis. Jadi “Pancasila Sakti” bukanlah dimaknai Pancasila memiliki kekuatan gaib, super, kuat atau seperti padanan kata sakti lainnya, namun kata “sakti” dalam term ini lebih bermakna inspiratif yakni bahwa berkat Pancasila inilah bangsa Indonesia bisa bersatu-padu; menyatukan tekad dan kekuatan untuk melawan dan menghancurkan pihak-pihak yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan komunisme atau yang lainnya. Ingat lo ya, jangan salah makna! Bukan Burung Garudanya yang sakti, tapi Panca Sila yakni LIMA DASAR yang terangkai dalam Pancasila itu sendiri.

Semenjak bergulirnya Orde Reformasi, penyebutan term “Pancasila Sakti” sepertinya memang semakin asing terdengar di telinga generasi muda. Dan barangkali mulai muncul pula anggapan bahwa term Pancasila Sakti tabu untuk diucapkan. Hal ini tentu sangat berbeda jauh nuansanya dengan era Orde Baru.  Pada masa Orde Baru dulu, setiap siswa baru maupun mahasiswa baru harus siap mengikuti Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan & Pengamalan Pancasila). Dalam penataran tersebut dikupas tuntas tentang sejarah, arti lambang burung Garuda dan lima gambar yang ada pada perisai yang disandang di dada sang Garuda, hingga butir-butir Pancasila yang ada di lima sila dalam Pancasila tersebut.

Bahkan Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI, juga pernah menerbitkan buku Pedoman P-4, dan ajaran Islam. Di dalam buku itu selain dijelaskan tentang Pancasila secara nasional juga disertai penjelasan P-4 dalam pandangan Islam, yang tentu saja diserta ayat-ayat Al Qur’an yang mendasarinya. Buku kecil yang dalam kata pengantarnya ditulis oleh Menteri Agama ketika itu H. Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. HAMKA ini tentu sangat membantu pemahaman para generasi muda muslim khususnya dalam  memahami butir-butir yang terkandung dalam Pancasila yang tentunya memang sangat selaras dengan ajaran Islam. Memang, tiap orde pemerintahan tentu ada kekurangsempurnaan dan ketidakcocokan dengan orde berikutnya, namun bukan berarti hal itu lantas membuat orde pemerintah bersangkutan tidak memberikan perubahan berarti bagi bangsa besar ini. Bukankah sudah seharusnya kita mengambil hal yang baik untuk terus kita budayakan sambil membenahi kekurangan yang ada untuk menuju masa depan yang lebih baik?! Salah satu hal baik yang patut kita pertahankan tersebut tentu saja adalah nilai-nilai luhur Pancasila.

Memang, ada yang bilang bahwa sejarah adalah milik pemerintah yang berkuasa. Tiap rezim bisa menciptakan sejarahnya sendiri. Namun setidaknya sejarah kelam tentang kekejaman dan kebiadaban PKI dapat menyadarkan para generasi bangsa untuk selalu waspada dan tidak mudah disusupi oleh paham laten komunis yang secara terang-terangan tidak mengakui adanya Tuhan.

Selanjutnya, marilah sedikit kita diskusikan tentang pertanyaan; mampukah Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dijadikan dasar untuk mengantisipasi gerakan globalisasi dunia?

Perlu kita cermati bahwa esensi globalisasi adalah keterbukaan dan kebebasan; yang merupakan pencerminan hak asasi individu. Dalam bidang ekonomi globalisasi akan menampakkan wajahnya dalam bentuk perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan. Dalam bidang politik, globalisasi akan nampak dalam gerakan demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam bidang informasi, globalisasi terwujud dalam internet, cybernatic society dan web society, suatu jaringan antar manusia yang bebas tidak dihambat oleh batas-batas antar negara dalam mengadakan tukar menukar informasi. Manusia dan negara-bangsa memiliki kebebasan untuk mengakses informasi dari mana saja sesuai dengan keinginan dan kemampuan teknologi yang dikuasainya. Dalam kehidupan sosial berkembang suatu masyarakat yang disebut masyarakat madani sebagai terjemahan civil siciety. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang menjamin kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam bidang keamanan dikembangkan konsep keamanan dunia. Diciptakan musuh yang harus dilawan yang dianggap mengganggu ketenteraman dunia. Konsep terorisme dikembangkan dan dijadikan musuh dunia. Suatu negara yang dituduh sebagai sarang teror dipandang sah untuk diserang beramai-ramai. Suatu organisasi yang dipandang menimbulkan ketidak tenteraman divonis sebagai organisasi teror.

Pancasila memiliki konsep tentang kebebasan, tentang hak asasi, tentang demokrasi, serta tentang cara menghadapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian Pancasila tidak anti terhadap globalisasi. Tetapi Pancasila tentu saja memiliki kebijaksanaan tersendiri terhadap berlangsungnya globalisasi tanpa kehilangan jati diri. Pancasila akan menjadi kekuatan bangsa yang tangguh dalam mengantisipasi masa depan.

Maka agenda besar kita adalah bagaimana agar PANCASILA (baca: butir-butir Pancasila) selalu dapat menginspirasi para generasi bangsa untuk melanjutkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan ini dalam segala bidang kehidupan, agar bangsa besar ini tidak lagi kembali terjajah oleh orang-orang serakah yang terus mencari celah untuk bisa kembali menggagahi Indonesia tercinta ini. Itulah kunci untuk membuktikan bahwa PANCASILA itu memang benar-benar SAKTI.@

30/05/2015

Remaja Smart = Remaja Taat Aturan

REMAJA SMART = REMAJA TAAT ATURAN

Oleh: Nanang M. Safa'

 

Kita tentu sudah tidak asing lagi mendengar kata aturan, peraturan, norma, tata tertib, dan undang-undang. Secara umum semua kata itu memiliki inti makna yang sama yakni sesuatu yang menuntut untuk ditaati, dan bagi pelanggarnya akan mendapatkan sanksi. Undang-undang lalu lintas, norma sosial, hukum agama, hingga tata tertib di sekolah, semua bersifat mengikat dan bersanksi. Aturan atau hukum tersebut dibuat dimaksudkan untuk membentuk kondisi agar bisa tertib dan kondusif sehingga tujuan yang diinginkan bisa tercapai sesuai target “maksimal”. Namun seringkali fakta di lapangan bertolak belakang dengan konsep yang “indah” di atas kertas. Dengan berbagai dalih untuk melegitimasi tindakan yang dilakukan, warga yang terikat peraturan melakukan pelanggaran.

Kesadaran untuk menaati tata tertib atau aturan hukum bermula dari suatu keyakinan yang ditimbul dalam diri individu maupun masyarakat bahwa aturan yang dibuat bertujuan menciptakan kondisi yang baik. Dengan munculnya kesadaran seperti ini maka dengan sendirinya akan tercipta moral individu dan masyarakat yang taat hukum.

Contoh paling sederhana adalah ketika di sekolah ditetapkan larangan bagi siswa membawa sepeda motor ke sekolah. Ketika ada siswa yang melanggar maka dengan enteng mereka beralasan bahwa mereka telah direstui orang tuanya untuk membawa sepeda motor ke sekolah karena orang tua mereka sibuk dengan pekerjaannnya. Dan ternyata ini seringkali juga klop dengan alasan yang dikemukakan orang tua mereka; tidak punya waktu, tidak sempat, dan alasan-alasan senada. Kemudian ketika secara tidak sengaja terjadi “musibah” (baca: kecelakaan) dan harus melibatkan orang tua, barulah mereka mengungkapkan penyesalannya atas apa yang dilakukan.

Padahal peraturan tidak boleh membawa sepeda motor ke sekolah bagi siswa SLTP ini selaras dengan undang-undang lalu lintas. Prasyarat untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM) adalah usia 17 tahun. Sedangkan para siswa SLTP paling banter baru 14 atau 15 tahun. Fakta lain yang sering ditemui adalah para siswa yang membawa sepeda motor ke sekolah tidak lantas masuk sekolah pada awal waktu bel pelajaran pertama, namun justru mereka terlambat. Ini adalah gejala negatif yang membahayakan. Maka bagi sekolah-sekolah (tingkat SLTP) yang membolehkan siswanya membawa sepeda motor ke sekolah kiranya perlu juga meninjau ulang aturan yang telah terlanjur digulirkan. Demikian juga pihak berwajib (dalam hal ini pihak kepolisian) perlu juga memberikan tindakan tegas terhadap para siswa yang nekad membawa sepeda motor ke sekolah. Minimal sebagai schock terapy terhadap siswa lain agar tidak ikut-ikutan. Orang tua semestinya juga bisa mengerti bahwa aturan ini diberikan dengan satu tujuan demi anak-anak mereka, dan pada akhirnya demi mereka juga. Jika aturan ini ditegakkan sudah pasti angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya akibat pelanggaran lalu lintas yang ditengarahi lebih dari 6o% dilakukan oleh para remaja bisa ditekan seminimal mungkin.

Remaja adalah kata yang mengandung beragam konotasi tergantung dari mana dan siapa yang memandangnya. Para remaja adalah harapan orang tua. Bahkan dalam lingkup yang lebih luas para remaja adalah harapan bangsa dan negara. Hal ini bisa dipahami sebab pada tangan merekalah nasib sebuah negara ditentukan. Remaja yang nota bene generasi akan datang adalah harapan sekaligus kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri mereka dengan karakter yang baik agar mereka pada saatnya benar-benar siap mengemban amanat yang dipikulkan di pundaknya.

Kritik dan kekhawatiran bukan jalan pemecahan yang baik, justru itu akan membentuk persepsi pada diri remaja sehingga mereka akan menjelma menjadi remaja-remaja apatis dan serba salah. Apalagi dengan munculnya berbagai anggapan miring dari sebagian kelompok masyarakat yang selalu dijejalkan ke telinga remaja tiap hari, bahwa remaja adalah biangnya sikap pemberontakan, tidak punya sopan santun, semau-maunya, tidak taat peraturan dan sejenisnya yang bermuara pada kesimpulan bahwa mereka adalah “anak-anak nakal”. Orang-orang dalam kelompok ini akan menjaga jarak dengan remaja-remaja karena berhubungan dengan mereka hanya akan menimbulkan masalah. Anggapan dan tindakan semacam ini justru akan membuat remaja semakin asyik dengan peer-group (kelompok sebayanya), dan semakin jauh dengan lingkungan sosialnya. Dan pada akhirnya mereka akan menciptakan dunia mereka sendiri dengan melakukan “aksi-aksi tidak lazim” untuk menunjukkan eksistensi diri dan kelompoknya, seperti pelanggaran tata tertib, bahkan tidak jarang pula melakukan tindakan kriminalitas.

Beda dengan kelompok masyarakat yang memiliki pandangan positif terhadap keberadaan remaja. Justru mereka berupaya keras untuk memaksimalkan peran remaja yang memang merupakan masa produktif karena mereka memiliki semangat dan energi luar biasa untuk berkreasi dan menghasilkan karya luar biasa pula, sesuai bakat dan minat mereka masing-masing. Pada prinsipnya mereka menganggap remaja adalah batu permata yang hanya memerlukan polesan agar kelihatan berkilau dan memiliki nilai jual yang tinggi pula. Memang butuh pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, ketekunan, kepiawaian, keahlian dan kesabaran yang tinggi untuk dapat memolesnya menjadi permata yang jadi incaran setiap orang.

Memang, ada remaja yang mengabaikan aturan untuk melihat sampai sejauh mana mereka bisa lolos. Misalnya, jika orang tua mengatakan bahwa akan ada sanksi untuk suatu perbuatan salah, seorang remaja mungkin mencoba-coba melanggar batas itu untuk melihat apakah orang tuanya akan benar-benar melaksanakan apa yang dikatakan. Apakah remaja seperti itu adalah pemberontak yang keras kepala? Belum tentu. Faktanya, remaja lebih besar kemungkinannya melanggar aturan jika orang tua tidak konsisten dalam menegakkannya atau sewaktu batas tidak dibuat jelas. Remaja adalah masa berpetualang yang suka tantangan. Petualangan itu tidak jarang pula dirupakan dalam bentuk ‘mencoba-coba’ melanggar tata tertib. Siswa di sekolah misalnya, suka melakukan aksi pelanggaran untuk menunjukkan “inilah aku! berani mendobrak aturan!”. Remaja akan sangat takut dikatakan pengecut atau cemen oleh teman sebayanya ketika menjadi remaja baik-baik. Maka sering ditemui seorang remaja yang dulunya merupakan anak baik dan penurut, setelah mulai berkumpul dengan teman-teman dalam peer-groupnya, akhirnya menjelma menjadi remaja bandel, suka menentang, sulit diatur, berani terhadap guru, dan seabrek status negatif lainnya. Dan remaja seperti ini akan jauh lebih sulit dikendalikan dibanding remaja yang memang dari awalnya sudah memiliki ‘bakat’ sok pemberani.

Namun demikian, kita harus tetap positif thinking terhadap keberadaan remaja. Masih lebih banyak remaja smart yang memiliki kepedulian terhadap diri dan lingkungannya. Salah satu indikasi remaja smart adalah ketaatan mereka terhadap peraturan. Mereka tahu dan paham betul bahwa peraturan itu dibuat untuk menciptakan keteraturan, ketertiban, kedisiplinan, dan kebaikan.  Dengan kondisi yang serba teratur, tertib, disiplin, dan baik inilah mereka bisa menikmati hidup dalam damai. Dan dalam kondisi damai inilah mereka bisa belajar dengan tenang, bisa kompetisi secara sehat untuk meraih prestasi, serta bisa bereksplorasi, berkreasi dan berinovasi. SUKSES REMAJA SMART!@

 

16/04/2015

Ibu, Satu Kata Sejuta Makna

IBU, SATU KATA SEJUTA MAKNA

Oleh: Nanang M. Safa'

Ribuan kilo, jarak yang kau tempuh
Lewati rintangan demi aku anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…
Ibu…ibu…

Cuplikan syair lagu yang pernah ditulis dan dipopulerkan oleh Iwan Fals, seorang penyanyi lagu-lagu balada di era 80-an tersebut benar-benar sangat menyentuh perasaan. Syair tersebut cukup mampu menggambarkan betapa besarnya arti seorang ibu bagi kita. Iwan sendiri ketika menciptakan lagu itu tentu sadar betul betapa berjuta sanjunganpun tak akan pernah mampu menggambarkan besarnya jasa seorang ibu.

Betapa tidak? Ibu kitalah yang telah bersusah payah selama sembilan bulan lebih mengandung kita dalam rahimnya. Semakin hari kandungan itu semakin besar hingga tidurpun tak bisa nyaman karena harus menanggung beban berat yang terus menggelayutinya. Seringkali selera makan pun jadi hilang gara-gara rasa mual yang sering mendera, namun betapapun lantaran kasih sayangnya kepada janin di kandungannya, sang ibu rela memaksa diri untuk tetap makan. Lalu tibalah detik-detik perjuangan bertaruh nyawa di medan persalinan yang melelahkan. Tetesan keringat, darah dan air mata berbaur dengan jeritan dan nafas memburu, harap-harap cemas antara hidup dan mati. 

Sudah cukupkah perjuangan ibu sampai di situ?

Ternyata belum.

Dari balita hingga remaja, kehadiran seorang ibu tidak bisa tergantikan. Menyusui, menyuapi, merawat, membimbing, menina-bobokkan, dan hampir semua pekerjaan berkenaan dengan si kecil, ibulah yang mengambil porsi paling besar. Ibu pulalah yang dengan telaten dan tekun mengajari si kecil mulai belajar tertawa, menyapa, berjalan hingga bisa berlari. Ibu tak pernah mengeluh ketika si kecil ngompol di tengah malam. Ibu juga tak pernah marah ketika si kecil rewel padahal mestinya tubuhnya juga sangat penat karena harus mencuci, memasak, dan seabrek urusan rumah yang melelahkan. Maka sangat tepat kiranya penghargaan tertinggi diberikan kepada seorang ibu. 

Rasulullah Muhammad SAW juga sangat menghargai keberadaan seorang ibu. “Sorga di bawah telapak kaki Ibu” adalah sebuah ungkapan nan indah yang menggambarkan betapa sangat beruntungnya si anak jika saja ia bisa menghargai dan berbakti pada ibunya. Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya seorang sahabatnya tentang kepada siapa kita pertama kali harus berbakti? Rasulullah SAW dengan tegas menjawab “Ibumu” dan jawaban itu diulang hingga tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW baru mengatakan “Bapakmu”. Subhanallah. Betapa tingginya penghargaan Rasulullah SAW atas keberadaan seorang ibu. 

Pada sisi lain, jika seorang anak membuat sang ibu tidak ridla (baca: marah), tentu laknat Allah akan mengancamnya. Ingat kisah nyata Al Qamah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang cukup taat dalam beribadah kepada Allah. Namun di saat-saat menghadapi sakaratul maut, Al Qamah begitu tersiksanya dan seakan nyawa itu enggan meninggalkan raganya gara-gara Al Qamah masih memiliki "hutang" kesalahan di masa lalu yang belum terbayarkan kepada ibunya akibat bujuk rayu istrinya. Baru setelah melalui negosiasi yang cukup alot, restu itu diperolehnya juga, dan akhirnya Al Qamah bisa meninggal dengan mudah.

 

Selintas Sejarah Hari Ibu

Gema Sumpah Pemuda dan lantunan lagu Indonesia Raya yang digelorakan dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, menggugah semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri. Maka pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta yang salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI). Melalui PPPI inilah akhirnya terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang dinamis. Selanjutnya pada tahun 1929 Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII), yang pada tahun 1935 mengadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.

Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkansebagai Hari Ibu. Dan selanjutnya dikukuhkan oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, yang menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan salah satu hari nasional dan bukan hari libur. Tahun 1946 Badan ini berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia di singkat KOWANI, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.

Semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia tersebut sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu berupa setangkai bunga melati dengan kuntumnya, yang menggambarkan: Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak; Kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak; Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara.

Jadi jelaslah bahwa ditilik dari latar sejarahnya, peringatan hari ibu di Indonesia tidak mengacu pada Mother’s Day yang digemakan negara-negara Barat, biarpun ada kesamaan dalam kemasan penghargaan kepada wanita (ibu).