PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: Hasil penelusuran untuk ayo menerbitkan buku
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri ayo menerbitkan buku. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri ayo menerbitkan buku. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

23/01/2021

Ayo Menulis Buku!

AYO MENULIS BUKU!

Oleh: Nanang M. Safa'

 


Pada postingan kali ini saya khusus ingin mengajak Anda untuk menelaah tentang dunia penulisan buku. Tulisan saya ini saya beri judul “Ayo Menulis Buku!” Judul ini memang sengaja saya pilih untuk mengajak dan memotivasi (sebenarnya lebih tepat disebut  memprovokasi) diri saya sendiri untuk lebih tekun lagi menulis agar bisa menerbitkan buku, minimal satu buku setiap tahun.

Ketika mau menulis judul ini sebenarnya sempat terbersit keraguan dalam diri saya sebab bisa saja banyak orang akan menganggap apa yang saya tulis ini pepesan kosong. Bukti tulisan saya di dunia buku belum ada. Saya baru memiliki satu buku solo dan beberapa buku antologi yang saya tulis bersama para penggerak literasi di Trenggalek. Namun sekali lagi saya ingin menyindir dan memprovokasi diri saya sendiri, sekaligus mengajak Anda untuk tidak takut menulis dan menerbitkan buku.

Mungkin ada orang yang masih memiliki anggapan bahwa buku yang baik dan bermutu adalah buku-buku yang ditulis oleh seorang profesor atau orang yang bergelar doktor. Okeylah, tidak salah anggapan seperti ini. Namun coba kunjungi lagi toko-toko buku besar. Berapa banyaknya buku-buku berkualitas yang penulisnya ternyata tidak memiliki gelar akademik yang aduhai. Bahkan banyak pula buku-buku tulisan anak-anak muda yang begitu memikat dan menghipnotis jutaan pembacanya.

Nah, ternyata buku yang dulu hanya bisa ditulis dan diterbitkan sedikit orang sekarang bisa ditulis dan diterbitkan oleh siapa saja, termasuk saya dan Anda. Buku yang dulu menjadi barang elit yang hanya bisa ditulis dan diterbitkan oleh orang-orang berlabel akademik, sekarang bisa ditulis dan diterbitkan oleh siapa saja, termasuk saya, juga Anda.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk bisa menerbitkan buku? Jawaban dari pertanyaan ini tetap saja “menulis”, ya, menulis. Jika kita ingin menerbitkan buku tentu saja hal pertama yang harus kita lakukan adalah menulis naskah yang akan kita jadikan buku. Naskah buku memang sedikit berbeda dengan naskah tulisan lepas. Ada aturan-aturan yang harus kita ikuti, semisal sistematika penulisan dan kelengkapan tulisan. Apalagi jika kita ingin menerbitkan buku secara utuh, artinya buku yang membahas satu tema tertentu. Tentu naskah kita benar-benar harus sistematis dari bab ke bab, dari sub bab ke sub bab, dari paragraf ke paragraf, dan dari kalimat ke kalimat. Jika tulisan kita bahasanya mudah difahami, pembahasannya sistematis, dan penulisannya runtut, ini akan menjadi modal penting agar buku kita bisa lolos di penerbit mayor. Namun jangan buru-buru berkecil hati, jangan buru-buru membunuh impian Anda untuk bisa menerbitkan buku jika tulisan kita belum bisa seperti itu. Kita bisa menerbitkan buku kita lewat penerbit indie yang persyaratannya lebih sederhana dan tidak menyulitkan penulisnya

 

Antara Penerbit Mayor dan Indie

Mukminin (akrab dipanggil Cak Inin), nara sumber pada “Pelatihan Belajar Menulis PGRI” menyampaikan beberapa perbedaan mendasar antara penerbit mayor dan penerbit indie. Paparan Cak Inin tersebut saya rangkum sebagai berikut:

1.    Penerbit mayor dalam mencetak buku memiliki target terbitan minimal antara 1000 sampai 3000 eksemplar. Penerbit mayor sebagai penerbit berbasis bisnis (dengan jaringan toko bukunya) tentu tidak mau rugi ketika memutuskan untuk menerbitkan buku tertentu. Dengan target 1000 eksemplar, minimal penerbit bisa kembali modal. Sedangkan penerbit indie, menerbitkan buku sesuai pesanan atau dengan sistem cetak berkala yang dalam dunia penerbitan disebut Print of Demand (POD).

2.    Naskah yang akan diterbitkan di penerbit mayor harus melewati beberapa tahap seleksi sesuai prosedur masing-masing penerbit mayor. Penerbit mayor pasti sangat berhati-hati dalam memilih naskah yang akan mereka terbitkan. Mereka tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Penerbit mayor memiliki syarat yang sangat ketat serta harus mengikuti selera pasar. Tidak sedikit naskah buku yang akhirnya ditolak oleh penerbit mayor karena dianggap tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut. Sedangkan penerbit indie bisa menerima semua naskah selama naskah tersebut memang layak untuk diterbitkan. Naskah buku yang layak diterbitkan adalah naskah yang tidak melanggar undang-undang hak cipta, karya asli penulis (bukan plagiasi), tidak menyinggung Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), serta tidak mengandung unsur pornografi.

3.    Dilihat dari sisi profesionalisme, sebenarnya kedua penerbit ini sama-sama menjunjung tinggi profesionalisme dalam bekerja. Namun sebagai perusahaan besar, penerbit mayor dengan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup banyak dan ahli, juga peralatan yang lebih memadai tentu lebih profesional. Sedangkan penerbit indie seringkali dianggap kurang profesional dalam menerbitkan buku. Anggapan ini ada benarnya juga biarpun tidak mutlak. Memang ada penerbit indie yang dalam menerbitkan buku terkesan asal-asalan, asal jadi, dibayar, selesai. Namun tidak sedikit penerbit indie yang menjunjung tinggi profesionalisme. Maka jika ingin menerbitkan buku di penerbit indie, seorang penulis harus benar-benar jeli memilih penerbit mana yang akan dipilih. Jangan tergoda dengan paket penerbitan murah, tapi kualitas masih belum jelas. Mutu dan manajemen pemasaran buku bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Kadang murah tapi cover kurang bagus, kertas dalam coklat kasar bukan book paper (kertas coklat halus), dan sebagainya.

4.    Berkaitan dengan waktu penerbitan, pada umumnya sebuah naskah diterima atau tidaknya di penerbit mayor baru akan dikonfirmasi dalam tempo 1-3 bulan. Jika naskah diterima, ada giliran atau waktu terbit yang bisa cepat, tapi ada juga yang sampai bertahun-tahun. Karena penerbit mayor adalah sebuah penerbit besar, banyak sekali alur kerja yang harus dilalui. Bersyukur kalau buku bisa cepat didistribusikan di semua toko buku. Namun, jika dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, maka buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit. Sedangkan untuk penerbit indie, naskah yang masuk akan segera diproses dengan cepat. Bahkan dalam hitungan minggu, buku kita bisa saja terbit. Penerbit indie tidak terlalu mempertimbangkan selera pasar biarpun bukan berarti mereka tidak perduli dengan buku yang telah mereka terbitkan. Penerbit indie meyakini bahwa karya yang diterbitkan oleh penulis merupakan karya terbaik penulis dan layak diterbitkan sehingga buku yang mereka terbitkan pasti memiliki pembacanya sendiri.

5.    Dalam dunia penerbitan buku ada istilah royalti untuk buku laris yang diterbitkan. Kebanyakan penerbit mayor mematok royalti maksimal 10% dari total penjualan buku. Royalti akan diterimakan setelah 3-6 bulan penjualan buku. Sedangkan penerbit indie umumnya memberikan royalti 15-20%  dari harga buku yang pemasarannya dibantu penerbit melalui jaringan onlinenya.

6.    Penerbitan buku di penerbit mayor sama sekali tidak dikenakan biaya, alias gratis. Itulah sebabnya mereka tidak bisa langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus. Penerbit mayor memiliki pertimbangan dan tuntutan yang cukup banyak untuk menerbitkan sebuah buku karena jika buku tersebut tidak laku terjual, kerugian hanya akan ditanggung pihak penerbit. Penulis sama sekali tidak menanggung kerugian dalam bentuk modal (uang). Sedangkan untuk penerbit indie sudah tentu berbayar sesuai dengan aturan masing-masing penerbit sesuai perjanjian. Jika buku tidak laku maka resiko akan ditanggung oleh kedua belah pihak, terutama penulis. Lain halnya jika buku yang diterbitkan tersebut memang tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan finansial alias tidak dijual.

Jadi, jika kita ingin bisa mencetak buku, kita mulai saja dari penerbit indie. Toch ketika kita bisa menerbitkan buku di penerbit indie kita masih memiliki peluang untuk menerbitkan buku kita tersebut ke penerbit mayor. Siapa tahu dengan larisnya penjualan buku kita, akhirnya buku kita tersebut dilirik oleh penerbit mayor. Intinya, jangan sampai keinginan kita untuk bisa menerbitkan buku kita di penerbit mayor yang belum kesampaian, kita jadikan alasan untuk tidak menerbitkan buku, apalagi sampai membuat kita malas untuk menulis.

 

Berbagi Cerita

Pada bagian akhir tulisan ini, saya ingin berbagi cerita tentang buku-buku yang telah saya terbitkan baik buku antologi maupun buku solo. Lima buku antologi cerita pendek (cerpen) merupakan kumpulan cerpen rekan-rekan Penggerak Literasi yang tergabung dalam wadah Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek yang dimotori oleh seorang penulis muda produktif bernama Nurani Soyomukti. Selain menerbitkan buku, QLC juga menyelenggarakan acara bedah buku, arisan literasi, lomba menulis serta pembacaan puisi dan cerpen.

Lima judul buku antologi cerpen saya tersebut berjudul “Senja Temaram di Pantai Blado”, Elmatera, Yogyakarta (2012),  “Senja Tiga Warna di Ufuk Prigi” (2013), “Lelaki Pengagum Hujan”, QLC Trenggalek (2017), “Ronggeng Dukuh Tenggong”, Buana Grafika, Yogyakarta (2018), dan buku antologi cerpen berjudul “Matinya Golput (Kumpulan Cerpen Bertema Pemilu Serentak 2019)”, Relawan Demokrasi KPU Kabupaten Trenggalek bekerjasama dengan penerbit Buana Grafika Yogyakarta, (2019). Sedangkan satu buku berjudul “Berbagi Kasih – Catatan Guru Trenggalek”, yang diterbitkan oleh Akademia Pustaka, Tulungagung (2018) merupakan buku kumpulan artikel bertema pendidikan yang ditulis oleh rekan-rekan guru di bawah koordinasi Kelompok Pengawas (Pokjawas) Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek. Satu buku berjudul  “Kado Buat Generasi Muslim Zaman Now”, yang diterbitkan oleh Akademia Pustaka Tulungagung (2019) merupakan buku solo pertama saya. buku tersebut merupakan kumpulan beberapa postingan di blog pribadi saya www.kampus215.blogspot.com. Sementara di tahun 2020 saya belum bisa menyelesaikan buku solo saya yang kedua. Konsep buku tersebut masih tersimpan rapi di laptop saya. Mudah-mudahan di tahun 2021 ini, buku tersebut bisa lahir menyusul kakaknya.

Cerita saya ini setidaknya bisa menjadi bukti bahwa menulis dan menerbitkan buku itu bisa dilakukan oleh siapa saja; mereka, saya, juga Anda. Jadi tunggu apalagi? “AYO MENULIS BUKU!”

 

31/01/2021

Wujudkan Mimpi Bersama Penerbit Indie

WUJUDKAN MIMPI BERSAMA PENERBIT INDIE

Oleh: Nanang M. Safa'

 

Setiap penulis pasti memiliki impian untuk bisa menerbitkan buku. Dan untuk mewujudkan impian tersebut sekarang ini bukan hal yang sulit. Beda dengan beberapa tahun lalu, impian untuk bisa menerbitkan buku sepertinya memang menjadi mimpi yang mahal. Hanya segelintir orang saja yang bisa menerbitkan buku. Maklum saja, pada waktu itu, memang masih eranya penerbit mayor, itupun bisa dihitung dengan jari. Beda dulu beda sekarang. Sekarang bertebaran penerbit indie dengan segala tawaran dan fasilitas yang menggiurkan. Sebenarnya kata “Indie” merupakan singkatan yang diambil dari bahasa Inggris yaitu independent dan memiliki arti “sendiri” atau “mandiri” (https://www.hipwee.com/narasi/jangan-mengaku-anak-indie-sebelum-kamu-baca-artikel-ini-yuk-simak). Dengan merujuk pada pengertian ini, ketika seorang penulis ingin menerbitkan bukunya di jalur indie berarti penulis tersebut siap menerbitkan bukunya secara mandiri baik dari sisi teknis, pembiayaan, promosi hingga pemasaran. Kalaupun dari pihak penerbit ikut serta dalam proses editing, layout, promosi, dan pemasaran, sifatnya hanya membantu memfasilitasi agar penulis bersangkutan bisa segera menerbitkan bukunya sesuai yang diimpikan. Istilah indie juga cukup populer di dunia musik.

Memang masih ada sebagian orang yang memandang sebelah mata terhadap penerbit indie. Sebagian penulis juga ada yang kurang ngeh terhadap penerbit indie. Mereka menganggap menerbitkan buku di penerbit mayor jauh lebih berkelas dan bergengsi. Okeylah... Memang tidak ada yang salah dengan persepsi seperti itu. Masing-masing orang memiliki hak untuk beranggapan dan berpendapat sesuai keyakinannya. Sekali lagi, antara penerbit mayor dan penerbit indie tentu ada plus minusnya. Penjelasannya silahkan baca postingan saya di https://kampus215.blogspot.com/search?q=ayo+menerbitkan+buku.

Rasa bangga bagi seorang penulis ketika bisa menerbitkan bukunya di penerbit mayor tentu sangat bisa dimaklumi. Butuh perjuangan tak kenal lelah dan seleksi super ketat bagi naskah buku untuk bisa diterbitkan di penerbit mayor. Penerbit mayor mayoritas adalah penerbit berbasis bisnis. Dengan demikian tentu orientasinya dalam menerbitkan buku adalah keuntungan berlipat dari modal yang telah dikeluarkan demi keberlangsungan penerbit itu sendiri. Buku-buku yang lolos di penerbit mayor akan diterbitkan secara gratis. Penulis yang bukunya lolos di penerbit mayor tinggal menunggu buku jadi dan siap diedarkan tanpa harus mengeluarkan modal sepeserpun. Semua pendanaan 100% ditanggung penerbit. Inilah hebatnya. Maka jika penerbit mayor sangat ketat dalam menyeleksi naskah buku yang akan diterbitkan, itu merupakan hal yang wajar. Mereka tentu tidak mau menerbitkan buku secara serampangan dan pada akhirnya tidak laku di pasaran. Justru kalau bisa buku yang mereka terbitkan menjadi buku best seller sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan berlipat.

Pada pertemuan ke-11 Pelatihan Belajar Menulis PGRI, Raimundus Brian Prasetyawan yang bertindak sebagai nara sumber mengupas tuntas tentang penerbit indie sebagai jembatan baru bagi penulis yang benar-benar ingin mewujudkan mimpi-mimpinya menerbitkan buku. Brian (demikian akrab dipanggil), yang juga dikenal sebagai Guru Bloger Milenial yang memiliki jam terbang cukup tinggi di dunia tulis menulis ini mengungkapkan bahwa penerbit indie menjadi solusi bagi para penulis pemula (khususnya) dan siapa saja yang ingin segera mewujudkan buku impiannya terbit tanpa harus menunggu lama.

Memang, menerbitkan buku di penerbit indie tidak gratis. Ada biaya yang harus ditanggung pemilik naskah atau penulis sesuai standard masing-masing penerbit indie dan kesepakatan kedua pihak (penerbit dan penulis). Sebagai imbalannya, penulis akan memperoleh fasilitas berupa pra cetak penerbitan, layout naskah, buku cetakan standard, serta ISBN (International Standard Book Number). Sangat sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Hampir di setiap kota ada penerbit indie. Maka sebagai penulis, hendaknya bijak dan hati-hati ketika memilih penerbit indie setidaknya untuk meminimalisir kekecewaan setelah bukunya terbit.

Beda penerbit tentunya beda kebijakan, beda harga, dan beda fasilitas. Ada penerbit indie yang sedikit mematok harga agak tinggi dengan penerbit indie lainnya. Namun barangkali pula fasilitas dan hasil penerbitannya lebih bagus dibanding dengan penerbit indie yang menawarkan harga lebih murah. Ada penerbit indie yang memfasilitasi editor, namun ada juga penerbit indie yang hanya mau menerbitkan naskah buku yang sudah lengkap dan siap diterbitkan tanpa harus melakukan editing.

Maka sebelum mengirimkan bukunya di penerbit indie, seorang penulis sudah melengkapi naskah bukunya dengan bagian sampul yang berisi judul buku dan nama penulis (untuk bakcground sampul dan warna sampul akan ditetapkan sesuai hasil diskusi dan kesepakatan penerbit dan penulis), prakata atau kata pengantar penulis, daftar isi (tanpa nomor halaman), profil penulis beserta foto penulis), serta sinopsis buku.

Jika penerbit indie yang dipilih adalah penerbit tanpa fasilitas editor, maka penulis harus melakukan editing sendiri naskahnya. Berikut ini adalah rambu-rambu dalam melakukan editing:

1.  Penulisan kata harus sempurna. Jangan sampai ada kata yang disingkat-singkat, misalnya kata “yang” disingkat “yg”, kata “seperti” disingkat “spt”, kata “belum” disingkat “blm”, dan sebagainya.

2.   Hindari seminimal mungkin salah typo (salah ketik) dalam naskah buku. Sebelum naskah buku diserahkan ke penerbit, sebaiknya dibaca dulu secara berulang untuk meminimalisir kesalahan penulisan/pengetikan. Bisa juga minta tolong kepada teman untuk membaca, atau dengan memostingnya di blog sehingga ada masukan dari pembaca blog untuk perbaikan naskah buku yang akan diterbitkan.

3.   Sedapat mungkin hindari kalimat-kalimat dan paragraf panjang. Pembaca milenial lebih suka kalimat singkat, padat namun sudah bisa menjelaskan inti pembahasan. Kalimat-kalimat panjang akan membuat mereka bosan, dan tidak mau berlama-lama membaca buku kita.

4.      Mulailah setiap bab baru di halaman baru, jangan digabung dengan halaman bab sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan editing dan layout naskah. Berkaitan dengan jumlah minimal halaman buku, tidak ada ketentuan baku.

Hal lain yang harus difahami penulis sebelum mengirimkan naskahnya di penerbit indie adalah berkaitan dengan biaya penerbitan buku termasuk biaya ongkos kirim.

Dalam menerbitkan buku, penerbit indie menawarkan dua opsi. Opsi pertama, yaitu menerbitkan buku dengan jumlah minimal. Kebanyakan penerbit indie menerbitkan buku minimal 10 eksemplar. Opsi kedua, menerbitkan buku sesuai keinginan penulis yakni sesuai permintaan (baca: anggaran) penulis. Penerbit akan menerbitkan buku berapapun jumlahnya (tidak ada jumlah minimal). Tentu saja sesuai kesepakatan antara penerbit dan penulis agar tidak ada yang merasa dirugikan.

Nah, sudah siapkah Anda mewujudkan mimpi menerbitkan buku bersama penerbit indie?