AYO MENULIS BUKU!
Oleh: Nanang M. Safa'
Pada postingan kali ini saya khusus ingin mengajak Anda untuk menelaah tentang dunia penulisan buku. Tulisan saya ini saya beri judul “Ayo Menulis Buku!” Judul ini memang sengaja saya pilih untuk mengajak dan memotivasi (sebenarnya lebih tepat disebut memprovokasi) diri saya sendiri untuk lebih tekun lagi menulis agar bisa menerbitkan buku, minimal satu buku setiap tahun.
Ketika mau menulis judul ini sebenarnya sempat terbersit keraguan dalam diri saya sebab bisa saja banyak orang akan menganggap apa yang saya tulis ini pepesan kosong. Bukti tulisan saya di dunia buku belum ada. Saya baru memiliki satu buku solo dan beberapa buku antologi yang saya tulis bersama para penggerak literasi di Trenggalek. Namun sekali lagi saya ingin menyindir dan memprovokasi diri saya sendiri, sekaligus mengajak Anda untuk tidak takut menulis dan menerbitkan buku.
Mungkin ada orang yang masih memiliki anggapan bahwa buku yang baik dan bermutu adalah buku-buku yang ditulis oleh seorang profesor atau orang yang bergelar doktor. Okeylah, tidak salah anggapan seperti ini. Namun coba kunjungi lagi toko-toko buku besar. Berapa banyaknya buku-buku berkualitas yang penulisnya ternyata tidak memiliki gelar akademik yang aduhai. Bahkan banyak pula buku-buku tulisan anak-anak muda yang begitu memikat dan menghipnotis jutaan pembacanya.
Nah, ternyata buku yang dulu hanya bisa ditulis dan diterbitkan sedikit orang sekarang bisa ditulis dan diterbitkan oleh siapa saja, termasuk saya dan Anda. Buku yang dulu menjadi barang elit yang hanya bisa ditulis dan diterbitkan oleh orang-orang berlabel akademik, sekarang bisa ditulis dan diterbitkan oleh siapa saja, termasuk saya, juga Anda.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk bisa menerbitkan buku? Jawaban dari pertanyaan ini tetap saja “menulis”, ya, menulis. Jika kita ingin menerbitkan buku tentu saja hal pertama yang harus kita lakukan adalah menulis naskah yang akan kita jadikan buku. Naskah buku memang sedikit berbeda dengan naskah tulisan lepas. Ada aturan-aturan yang harus kita ikuti, semisal sistematika penulisan dan kelengkapan tulisan. Apalagi jika kita ingin menerbitkan buku secara utuh, artinya buku yang membahas satu tema tertentu. Tentu naskah kita benar-benar harus sistematis dari bab ke bab, dari sub bab ke sub bab, dari paragraf ke paragraf, dan dari kalimat ke kalimat. Jika tulisan kita bahasanya mudah difahami, pembahasannya sistematis, dan penulisannya runtut, ini akan menjadi modal penting agar buku kita bisa lolos di penerbit mayor. Namun jangan buru-buru berkecil hati, jangan buru-buru membunuh impian Anda untuk bisa menerbitkan buku jika tulisan kita belum bisa seperti itu. Kita bisa menerbitkan buku kita lewat penerbit indie yang persyaratannya lebih sederhana dan tidak menyulitkan penulisnya
Antara Penerbit Mayor dan Indie
Mukminin (akrab dipanggil Cak Inin), nara sumber pada “Pelatihan Belajar Menulis PGRI” menyampaikan beberapa perbedaan mendasar antara penerbit mayor dan penerbit indie. Paparan Cak Inin tersebut saya rangkum sebagai berikut:
1. Penerbit mayor dalam mencetak buku memiliki target terbitan minimal antara 1000 sampai 3000 eksemplar. Penerbit mayor sebagai penerbit berbasis bisnis (dengan jaringan toko bukunya) tentu tidak mau rugi ketika memutuskan untuk menerbitkan buku tertentu. Dengan target 1000 eksemplar, minimal penerbit bisa kembali modal. Sedangkan penerbit indie, menerbitkan buku sesuai pesanan atau dengan sistem cetak berkala yang dalam dunia penerbitan disebut Print of Demand (POD).
2. Naskah yang akan diterbitkan di penerbit mayor harus melewati beberapa tahap seleksi sesuai prosedur masing-masing penerbit mayor. Penerbit mayor pasti sangat berhati-hati dalam memilih naskah yang akan mereka terbitkan. Mereka tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Penerbit mayor memiliki syarat yang sangat ketat serta harus mengikuti selera pasar. Tidak sedikit naskah buku yang akhirnya ditolak oleh penerbit mayor karena dianggap tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut. Sedangkan penerbit indie bisa menerima semua naskah selama naskah tersebut memang layak untuk diterbitkan. Naskah buku yang layak diterbitkan adalah naskah yang tidak melanggar undang-undang hak cipta, karya asli penulis (bukan plagiasi), tidak menyinggung Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), serta tidak mengandung unsur pornografi.
3. Dilihat dari sisi profesionalisme, sebenarnya kedua penerbit ini sama-sama menjunjung tinggi profesionalisme dalam bekerja. Namun sebagai perusahaan besar, penerbit mayor dengan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup banyak dan ahli, juga peralatan yang lebih memadai tentu lebih profesional. Sedangkan penerbit indie seringkali dianggap kurang profesional dalam menerbitkan buku. Anggapan ini ada benarnya juga biarpun tidak mutlak. Memang ada penerbit indie yang dalam menerbitkan buku terkesan asal-asalan, asal jadi, dibayar, selesai. Namun tidak sedikit penerbit indie yang menjunjung tinggi profesionalisme. Maka jika ingin menerbitkan buku di penerbit indie, seorang penulis harus benar-benar jeli memilih penerbit mana yang akan dipilih. Jangan tergoda dengan paket penerbitan murah, tapi kualitas masih belum jelas. Mutu dan manajemen pemasaran buku bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Kadang murah tapi cover kurang bagus, kertas dalam coklat kasar bukan book paper (kertas coklat halus), dan sebagainya.
4. Berkaitan dengan waktu penerbitan, pada umumnya sebuah naskah diterima atau tidaknya di penerbit mayor baru akan dikonfirmasi dalam tempo 1-3 bulan. Jika naskah diterima, ada giliran atau waktu terbit yang bisa cepat, tapi ada juga yang sampai bertahun-tahun. Karena penerbit mayor adalah sebuah penerbit besar, banyak sekali alur kerja yang harus dilalui. Bersyukur kalau buku bisa cepat didistribusikan di semua toko buku. Namun, jika dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, maka buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit. Sedangkan untuk penerbit indie, naskah yang masuk akan segera diproses dengan cepat. Bahkan dalam hitungan minggu, buku kita bisa saja terbit. Penerbit indie tidak terlalu mempertimbangkan selera pasar biarpun bukan berarti mereka tidak perduli dengan buku yang telah mereka terbitkan. Penerbit indie meyakini bahwa karya yang diterbitkan oleh penulis merupakan karya terbaik penulis dan layak diterbitkan sehingga buku yang mereka terbitkan pasti memiliki pembacanya sendiri.
5. Dalam dunia penerbitan buku ada istilah royalti untuk buku laris yang diterbitkan. Kebanyakan penerbit mayor mematok royalti maksimal 10% dari total penjualan buku. Royalti akan diterimakan setelah 3-6 bulan penjualan buku. Sedangkan penerbit indie umumnya memberikan royalti 15-20% dari harga buku yang pemasarannya dibantu penerbit melalui jaringan onlinenya.
6. Penerbitan buku di penerbit mayor sama sekali tidak dikenakan biaya, alias gratis. Itulah sebabnya mereka tidak bisa langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus. Penerbit mayor memiliki pertimbangan dan tuntutan yang cukup banyak untuk menerbitkan sebuah buku karena jika buku tersebut tidak laku terjual, kerugian hanya akan ditanggung pihak penerbit. Penulis sama sekali tidak menanggung kerugian dalam bentuk modal (uang). Sedangkan untuk penerbit indie sudah tentu berbayar sesuai dengan aturan masing-masing penerbit sesuai perjanjian. Jika buku tidak laku maka resiko akan ditanggung oleh kedua belah pihak, terutama penulis. Lain halnya jika buku yang diterbitkan tersebut memang tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan finansial alias tidak dijual.
Jadi, jika kita ingin bisa mencetak buku, kita mulai saja dari penerbit indie. Toch ketika kita bisa menerbitkan buku di penerbit indie kita masih memiliki peluang untuk menerbitkan buku kita tersebut ke penerbit mayor. Siapa tahu dengan larisnya penjualan buku kita, akhirnya buku kita tersebut dilirik oleh penerbit mayor. Intinya, jangan sampai keinginan kita untuk bisa menerbitkan buku kita di penerbit mayor yang belum kesampaian, kita jadikan alasan untuk tidak menerbitkan buku, apalagi sampai membuat kita malas untuk menulis.
Berbagi Cerita
Pada bagian akhir tulisan ini, saya ingin berbagi cerita tentang buku-buku yang telah saya terbitkan baik buku antologi maupun buku solo. Lima buku antologi cerita pendek (cerpen) merupakan kumpulan cerpen rekan-rekan Penggerak Literasi yang tergabung dalam wadah Quantum Litera Center (QLC) Trenggalek yang dimotori oleh seorang penulis muda produktif bernama Nurani Soyomukti. Selain menerbitkan buku, QLC juga menyelenggarakan acara bedah buku, arisan literasi, lomba menulis serta pembacaan puisi dan cerpen.
Lima judul buku antologi cerpen saya tersebut berjudul “Senja Temaram di Pantai Blado”, Elmatera, Yogyakarta (2012), “Senja Tiga Warna di Ufuk Prigi” (2013), “Lelaki Pengagum Hujan”, QLC Trenggalek (2017), “Ronggeng Dukuh Tenggong”, Buana Grafika, Yogyakarta (2018), dan buku antologi cerpen berjudul “Matinya Golput (Kumpulan Cerpen Bertema Pemilu Serentak 2019)”, Relawan Demokrasi KPU Kabupaten Trenggalek bekerjasama dengan penerbit Buana Grafika Yogyakarta, (2019). Sedangkan satu buku berjudul “Berbagi Kasih – Catatan Guru Trenggalek”, yang diterbitkan oleh Akademia Pustaka, Tulungagung (2018) merupakan buku kumpulan artikel bertema pendidikan yang ditulis oleh rekan-rekan guru di bawah koordinasi Kelompok Pengawas (Pokjawas) Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek. Satu buku berjudul “Kado Buat Generasi Muslim Zaman Now”, yang diterbitkan oleh Akademia Pustaka Tulungagung (2019) merupakan buku solo pertama saya. buku tersebut merupakan kumpulan beberapa postingan di blog pribadi saya www.kampus215.blogspot.com. Sementara di tahun 2020 saya belum bisa menyelesaikan buku solo saya yang kedua. Konsep buku tersebut masih tersimpan rapi di laptop saya. Mudah-mudahan di tahun 2021 ini, buku tersebut bisa lahir menyusul kakaknya.
Cerita saya ini setidaknya bisa menjadi bukti bahwa menulis dan menerbitkan buku itu bisa dilakukan oleh siapa saja; mereka, saya, juga Anda. Jadi tunggu apalagi? “AYO MENULIS BUKU!”