MEMUTUS MATA RANTAI SIMBIOSIS MUTUALISME
YANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA
Oleh: Nanang M. Safa
UU Pilkada Pasal 187A ayat satu (1) dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)”. (https://www.bawaslu.go.id/id/berita/partisipasi-masyarakat-tinggi-dari-262-kasus-politik-uang-197-laporan-masyarakat). Mestinya dengan undang-undang tersebut praktik-praktik money politics bisa diberantas minimal bisa diminimalisir. Namun faktanya sungguh jauh panggang dari api. Praktik money politics semakin subur dan merajalela.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Burhanudin Muhtadi, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang dipaparkan dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar UIN (Rabu, 29 November 2023), Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik money politics terbesar ke-tiga di dunia setelah Uganda dan Republik Benin di Afrika. Burhanuddin melakukan riset pada dua penyelenggaraan Pilpres yakni Pilpres 2024 dan Plipres 2029. Dari penelitian tersebut didapatkan data sekitar 33% atau 62 juta dari total 187 juta pemilih dalam DPT terlibat money politics. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231129203437-32-1030744/pakar-politik-uang-di-indonesia-tertinggi-ketiga-di-dunia).
Praktik money politics yang selama ini terjadi di masyarakat bisa saja bersifat langsung semisal memberikan amplop (baca: uang) atau bentuk pemberian lain seperti sembako kepada para pemilih dengan pesan khusus harus memilih kontestan tertentu, atau bisa juga berbentu tidak langsung semisal memberikan sumbangan pembangunan tempat ibadah atau rabat jalan dengan catatan di wilayah tersebut sang kontestan mendapatkan suara mayoritas atau bisa juga dengan mengundang para pemilih hadir dalam acara tertentu lalu diberikan barang dengan embel-embel memilih sang kontestan dalam Pemilu. Masih banyak modus lain yang bisa masuk dalam kategori money politics atau praktik politik uang.
Munculnya anggapan masyarakat tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sebuah pesta demokrasi tentu merupakan suatu yang sangat memprihatinkan. Sebuah pesta tentulah diasumsikan dengan bagi-bagi kesenangan, makan-makan, minum-minum, dan bagi-bagi uang. Sebuah pesta hanyalah berbagi kesenangan sesaat dan setelah pesta selesai maka harus kembali ke kehidupan nyata: kemiskinan, pengangguran, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, tingginya biaya kuliah, mahalnya biaya rumah sakit, dan sebagainya.
Para pemilih sebagai pihak yang diundang dalam pesta demokrasi tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. Makan minum gratis dan sangu (uang transport) dari para kontestan melalui tim suksesnya tidak akan disia-siakan. Cara berfikir mereka sangat sederhana bahwa untuk mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) tentu mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka selama sehari. Maka setidaknya untuk waktu sehari tersebut, mereka harus mendapatkan kompensasi yang lazimnya berupa uang minimal senilai upah sehari bekerja. Mereka tidak perlu lagi berfikir jauh-jauh tentang apa yang akan terjadi setelah pesta demokrasi usai. Mereka tidak akan pusing-pusing memikirkan program kerja, kebijakan, atau apalah namanya yang nantinya akan dilakukan oleh para kontestan yang berhasil memenangi pesta demokrasi tersebut.
Hal lain yang ikut mendukung tumbuh suburnya budaya bagi-bagi amplop pada setiap momentum Pemilu ini adalah anekdot yang menyatakan bahwa suara yang diberikan tidak boleh gratisan alias harus berbayar juga. Maka bisa saja satu suara dihargai seratus ribu rupiah atau bahkan ada juga yang hingga lima ratus ribu rupiah, tergantung keadaannya.
Di lain pihak, para kontestan juga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka jauh-jauh hari sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa menarik simpati para pemilih. Mereka sudah melakukan perhitungan tentang untung rugi, tentang berapa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kemenangan, dan berapa keuntungan yang akan didapat ketika nanti menang (baca: menjabat). Maka akhirnya terjalinlah simbiosis mutualisme yakni sebuah hubungan saling menguntungkan antara pemilih dan para kontestan. Pemilih mendapatkan kompensasi uang pengganti kerja sehari plus tebusan harga satu suara yang dimiliki, sementara para kontestan mendapatkan dukungan suara yang akan mengantarkannya menjadi seorang pejabat. Inilah yang terjadi pada pemilihan apapaun di Indonesia, mulai dari pilpres, pileg, pilgub, pilbub, hingga pilkades. Ini sudah menjadi budaya yang mengakar kuat di masyarakat.
Sebenarnya pada banyak kasus, perolehan suara dari para kontestan tidak selalu sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan. Apa yang terjadi tidak lebih merupakan sebuah gaming. Para kontestan sebenarnya sedang melakukan pertaruhan besar. Ibarat sebuah perjudian, mereka sedang mempertaruhkan apa yang sudah dimiliki dengan harapan bisa mendapatkan ganti pertaruhannya dengan berlipat-lipat. Namun bisa jadi harapan itu zonk alias pepesan kosong. Seperti pepatah Jawa “mburu uceng kelangan deleg” –mengejar suatu yang belum pasti dengan melepaskan sesuatu yang sudah ada di genggaman- Maka tidak heran ketika muncul berita tentang mantan kontestan Pemilu yang stress berat bahkan sampai gila gara-gara semua tabungannya terkuras habis dan mengalami pailit.
Merubah Mindset Masyarakat
Melihat fakta di masyarakat, rasa-rasanya hampir tidak mungkin mengikis budaya simbiosis mutulaisme yang tidak baik-baik saja ini. Simbiosis yang terbangun antara para kontestan dengan para calon pemilih ini ibarat sebuah mata rantai yang saling mengikat sangat kuat sehingga akan sangat sulit dilepaskan satu dengan yang lain. Namun bagi orang-orang optimis maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Semua elemen bangsa harus bergerak bersama. Namun tentu saja pemerintah dalam hal ini KPU dan seluruh jajarannyalah yang harus mengambil peran utama.
Menurut hemat penulis, ada cara-cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk ikhtiar bersama untuk mengikis budaya tidak sehat ini. Hal pertama yang harus dilakukan tentulah dengan merubah mindset masyarakat tentang penyelenggaraan Pemilu. Pertama, mindset bahwa Pemilu bukanlah “pesta demokrasi” namun “penentu demokrasi”. Kedua, mindset bahwa Pemilu merupakan sebuah momen penting untuk memilih pemimpin yang benar-benar berjiwa seorang pemimpin, pejabat yang benar-benar berjiwa amanah dan diharapkan akan bisa membawa perubahan Indonesia menjadi lebih baik, bukan sekedar memilih pemimpin yang bisa memberikan kesenangan sesaat namun justru akan menyengsarakan rakyat di kemudian hari.
Merubah mindset memang bukan cara gampang namun butuh konsistensi dan kesungguhan. Sebagai langkah pembuka bisa dilakukan dengan mengampanyekan tagline tentang Pemilu dan tentang demokrasi yang baik dan sehat misalnya. Bukan sekedar tagline yang dibannerkan dan dipasang di pinggir-pinggir jalan, namun lebih dari itu harus disosialisasikan melalui berbagai saluran yang ada termasuk organisasi kemasyarakatan, kelompok pengajian, komunitas masyarakat, dan sekolah-sekolah. Media sosial (YouTube, Facebook, Instagram, Tiktok, dan masih banyak yang lain) juga bisa dijadikan saluran kampanye yang sangat efektif. Banyak sekali grup-grup medsos yang beranggotakan ratusan hingga ribuan orang. Inilah yang harus dimaksimalkan.
Sosialisasi tidak melulu hanya bersifat searah dari pihak yang berwenang, namun bisa juga multi arah semisal dengan mengadakan lomba penulisan puisi, cerita pendek, atau opini bertema Pemilu, serta pembuatan konten-konten medsos bertema Pemilu. Cara ini akan lebih mengena seiring perkembangan dunia digital sekarang ini. Menjadi sebuah langkah maju ketika beberapa waktu lalu, menjelang Pilpres dan Pileg 2024, KPUD Trenggalek mengoordinasikan penerbitan buku kumpulan cerpen dan puisi berbau pemilu yang ditulis oleh para penulis Trenggalek dengan latar belakang usia dan profesi yang berbeda. Ini menjadi bukti bahwa sosialisasi dengan cara-cara seperti itu cukup efektif. Bisa jadi ini adalah yang pertama dilakukan oleh KPUD di Indonesia. Maklum saja di KPUD Trenggalek ada nama Nurani Soyomukti yang memang sangat getol mengampanyekan gerakan literasi di bumi Minak Sopal (Trenggalek).
Para Remaja Harus Menjadi Bidikan Utama
Para remaja sebagai pemilih pemula ternyata memang paling besar jumlahnya. Menurut data KPU yang dirilis dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta, pada hari ini, Ahad, 2 Juli 2024 lalu, jumlah pemilih pemula mencapai 106.358.447 jiwa dari 204.807.222 jiwa pemilih atau sejumlah 52 %. (https://pemilu.tempo.co/read/1743587/tetapkan-dpt-pemilu-2024-kpu-ri-52-persen-pemilih-muda).
Berdasar banyak referensi buku yang ditulis oleh para psikolog dan ahli pendidikan bahwa para remaja memiliki ketergantungan sangat besar terhadap peer-group atau kelompok sebayanya. Para remaja lebih takut dicuekin oleh teman-teman dalam kelompoknya daripada dimarahi oleh orang tuanya atau gurunya. Maka tidak heran ketika ada remaja yang berani membohongi orang tua atau gurunya demi untuk membela atau melindungi temannya. Inilah yang harus digarap. Peer-group remaja bisa dijadikan bidikan utama untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja ini. Para remaja adalah para generasi penerus kepemimpinan bangsa. Merekalah yang akan mengambil peran paling besar terhadap keberlangsungan demokrasi di negeri ini di masa mendatang. Para remaja sebagai pemilih pemula tentunya belum banyak terkontaminasi oleh limbah money pilitics minimal belum banyak pengetahuan dan pengalaman tentang hingar-bingar beredarnya uang yang mewarnai Pemilu.
Pembinaan bagi remaja tentu akan lebih efektif dan efisien ketika dilakukan melalui peer-groupnya. Para remaja aktif tentu memiliki wadah berkumpul dengan sesama komunitasnya baik yang formal maupun non formal. Komunitas remaja inilah yang bisa dijadikan ajang pembinaan untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja tentang Pemilu.
Uang Transport bagi Pemilih
Selanjutnya ada satu cara yang selama ini belum tersentuh sama sekali yakni pemberian uang transport bagi pemilih. Layaknya menghadiri sebuah acara resmi, pemberian uang transport bagi pemilih ini bersifat resmi. Pengadaan anggaran untuk uang transport bagi pemilih bisa dari pemerintah atau bisa juga ditanggung oleh para kontestan, atau bisa juga fifty-fifty anatara pemerintah dan kontestan. Toch tanpa dianggarkan pun para kontestan juga siap mengeluarkan uang bahkan bisa jadi berlipat-lipat. Jika regulasinya jelas, menurut hemat penulis pemberian uang transport bagi pemilih ini akan menjadi satu cara ampuh untuk bisa memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja ini. Semua warga masyarakat yang memiliki hak pilih dan menggunakan hak pilihnya di TPS tanpa terkecuali berhak mendapatkan uang transport. Cara ini sebagai jawaban dari kegundahan para pemilih yang enggan ke TPS dengan alasan tidak mau kehilangan penghasilan sehari kerja. Pemberian uang transport ini juga akan mengurangi jumlah pemilih golput karena malas ke TPS.
Inilah beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai bentuk ikhtiar untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme yang tidak baik-baik saja tentang penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Merubah mindset yang seakan-akan telah membudaya tentu butuh waktu dan kesungguhan. Namun jika tidak ada upaya nyata untuk mengatasinya tentu akan benar-benar menjadi budaya turun-temurun, dan ini akan sangat berbahaya bagi kelanjutan demokrasi di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...