PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: edukasi
Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan

04/06/2023

Sudahkah Al Qur'an Membumi dalam Kehidupan Kita?

 

SUDAHKAH AL QUR’AN MEMBUMI

DALAM KEHIDUPAN KITA?

Oleh: Nanang M. Safa

 

Bulan Ramadan 1444 H telah meninggalkan kita. Nuansa Ramadan dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an sepertinya hampir 80% juga ikut lenyap tak berjejak. Masih terngiang di telinga kita, di sepanjang bulan Ramadan yang lalu dari pagi hingga malam hari bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an terus menggema, memenuhi lorong ruang dan waktu. Anak-anak hingga orang tua silih berganti melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an melalui pengeras suara di masjid dan musholla, juga terdengar sayup-sayup bacaan Al Qur’an di rumah-rumah maupun di tempat-tempat lain.

Namun sayangnya, begitu Ramadan berlalu, lantunan ayat-ayat Al Qur’an tersebut juga ikut lenyap dari udara. Hanya beberapa orang saja yang memang sudah terbiasa membaca Al Qur’an secara istiqamah yang masih terus melantunkannya. Tentu hal ini sangat disayangkan. Ya, biar bagaimanapun lantunan ayat-ayat Al Qur’an bisa memberikan nuansa lain dalam kehidupan biarpun baru pada tingkat membaca terbata-bata sekalipun, apalagi jika membacanya memang sudah fasih (baik dan benar) sesuai kaidah ilmu tajwid dan sudah pas makharijul hurufnya, serta dilantunkan dengan suara yang indah.

Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Ayat-ayat yang ada di dalamnya adalah firman Allah SWT, Sang Maha segalanya. Membaca Al Qur’an tentu berbeda dengan membaca bacaan lain yang bukan Al Qur’an. Jika membaca yang lain saja bernilai positif maka membaca Al Qur’an selain bernilai positif juga bernilai ibadah. Kewajiban pertama yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam melalui Rasulullah Muhammad SAW adalah perintah membaca. Ini mengindikasikan bahwa membaca menjadi prasyarat bagi hal lain. Membaca merupakan hal pokok yang tidak bisa diabaikan sebelum melakukan aktifitas yang lain. Perintah membaca yang paling utama tentulah membaca Al Qur’an sebab Al Qur’an merupakan sumber segala pengetahuan.

 

Membumikan Al Qur’an

Istilah membumikan Al Qur’an dipopulerkan pertama kali oleh Prof. Quraish Shihab pada tahun 1994 melalui bukunya yang berjudul “Membumikan Al Quran; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat”. Istilah membumikan Al Qur’an merujuk pada upaya nyata untuk menjadikan Al Qur’an lebih dekat dengan kehidupan keseharian. Al Qur’an adalah kitab samawi (langit) yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril dalam beragam cara kepada Rasulullah Muhammad SAW sejak lebih dari 1444 tahun silam. Namun sepertinya ayat-ayat Al Qur’an masih “melangit” dalam arti masih belum bisa melingkupi dan mewarnai kehidupan mayoritas kaum muslimin di muka bumi ini.

Membumikan Al Qur’an yang dimaksud tentulah bisa mencakup segala aspek berkaitan dengan Al Qur’an, mulai dari tingkatan paling dasar hingga tingkatan paling tinggi. Mulai dari menjadikan Al Qur’an sebagai bacaan wajib sehari-hari, hingga menjadikan Al Qur’an sebagai sumber dari segala sikap, perkataan, dan perilaku keseharian kita.

Membumikan Al Qur’an bisa mencakup hal-hal berikut:

Pertama, menjadikan Al Qur’an sebagai bacaan wajib sehari-hari. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, ayat-ayat Al Qur’an ditulis dalam bahasa Arab. Maka agar bisa membacanya tentu butuh waktu dan kesungguhan dalam mempelajarinya. Selain itu, agar bisa melafalkannya dengan fasih, kita juga harus menguasai makharijul hurufnya. Selain itu agar makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al Qur’an tidak melenceng dari makna sesungguhnya kita juga masih disyaratkan untuk menguasai ilmu tajwid. Ingat, ketika cara kita dalam melafalkan salah maka bisa jadi artinya pun salah dan menyesatkan. Namun demikian, membumikan Al Qur’an dalam tahap ini tidak harus menunggu mahir terlebih dahulu. Baca saja semampunya sambil terus belajar untuk meningkatkan kemampuan membaca kita. Ingatlah! Setiap huruf yang kita baca dari Al Qur’an akan dihitung 10 kebaikan. Bukankah ini menjadi salah satu cara untuk menambah pundi-pundi tabungan pahala yang akan menjadi bekal kita di kehidupan selanjutnya.

Kedua, mempelajari arti ayat-ayat Al Qur’an. Setelah kita bisa membacanya  dengan baik dan benar, maka selanjutnya kita hendaknya mau mempelajari arti dari ayat-ayat Al Qur’an yang telah kita baca tersebut. Dalam hal ini cara paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah membaca Al Qur’an sambil sekaligus membaca terjemahnya. Tentu saja cara ini harus kita tindaklanjuti dengan belajar kepada guru.

Ketiga; memahami isi kandungan ayat-ayat Al Qur’an. Tahap ini merupakan tahap lanjutan yang membutuhkan upaya lebih serius dan sungguh-sungguh. Mengingat Al Qur’an adalah kitab samawi apalagi berbahasa Arab, maka cara memahaminya pun tentu berbeda dengan bacaan lain. Al Qur’an tidak boleh dimaknai dan difahami semau kita. Maka agar tidak salah dalam memaknai dan memahaminya, kita wajib mencari guru yang menguasai tentang ayat-ayat Al Qur’an beserta isi kandungannya.

Keempat, menerapkan isi kandungan ayat-ayat Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Inilah cara membumikan Al Qur’an yang sesungguhnya. Al Qur’an diturunkan Allah SWT untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Al Qur’an juga diakui sebagai sumber segala ilmu pengetahuan. Bahkan ahli-ahli Barat yang jelas-jelas bukan seorang mukmin pun banyak yang menjadikan Al Qur’an sebagai sumber inspirasi hasil temuan mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi mengapa kita yang seorang mukmin justru mengabaikan Al Qur’an? Maka setelah kita bisa membacanya dengan baik dan benar, tahu artinya, dan bisa memahami isi kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan baik pula, maka selanjutnya adalah terus berikhtiar secara maksimal untuk bisa menerapkan isi kandungan ayat-ayat Al Qur’an tersebut dalam kehidupan keseharian kita.

Aspek-aspek dalam membumikan Al Qur’an di atas harus selalu kita upayakan sebagai bentuk kecintaan kita terhadap kitab suci kita sendiri, yakni Al Quran. Sangat disayangkan jika Al Qur’an hanya dibaca setiap satu tahun sekali di bulan Ramadan saja, apalagi hanya dijadikan pemanis ruangan.

Sudahkah Al Qur’an membumi dalam kehidupan kita?

 

Hp Bagi Siswa Sebuah Dilema

HP BAGI SISWA SEBUAH DILEMA

Oleh : Nanang M. Safa

 

Boleh tidaknya siswa membawa handphone (hp) ke sekolah memang masih menjadi polemik, artinya kebijakan ini sebenarnya berada di persimpangan. Pihak sekolah dihadapkan pada sebuah dilemma, boleh beresiko, tidak boleh juga beresiko.

 

Perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi semakin maju, hingga bisa dikatakan dunia tanpa batas.  Trend terhadap penggunaan hp sudah tentu juga melanda para remaja yang notabene adalah para pelajar. Penggunaan hp bagi pelajar yang hampir separoh waktunya dihabiskan di sekolah, seringkali mendatangkan berbagai masalah. Banyak kasus terungkap berkaitan dengan kasus pornografi di kalangan pelajar seperti beredarnya gambar-gambar seronok, blue film, video porno yang tak jarang melibatkan pelajar bersangkutan sebagai aktris/aktornya.

 

Sebuah Dilema

Memperbolehkan atau melarang siswa membawa hp ke sekolah, sebenarnya tidak ada aturan baku, artinya boleh atau tidaknya siswa membawa hp ke sekolah tergantung dari kebijakan dan kesiapan pihak sekolah yang bersangkutan. Memperbolehkan atau melarang siswa membawa hp ke sekolah terutama pada jam-jam kegiatan pembelajaran, tentu sama-sama membawa konsekuensi. Maka sebelum pihak sekolah memutuskan boleh atau tidaknya siswa membawa hp ke sekolah, tentu pihak sekolah sudah harus memiliki alasan yang rasional, bukan hanya sekedar memperbolehkan atau melarang.

Memperbolehkan dengan membabi buta atau sekedar untuk menghindari cap sebagai sekolah konservatif dan ketinggalan jaman, tentu hanya akan membuat sekolah yang bersangkutan pada akhirnya menuai berbagai masalah. Ini sudah pasti. Sebaliknya melarang siswa membawa hp ke sekolah tentu juga bukan kebijakan yang bijaksana, sebab eranya sekarang memang era teknologi informasi dan komunikasi. Terus sampai kapan kebijakan pelarangan hp ini akan bisa bertahan?

 

Sebuah Wacana

Tulisan ini mencoba mencermati beberapa hal yang barangkali bisa dijadikan bahan diskusi tentang boleh tidaknya siswa membawa hp ke sekolah.

Pertama: Mengingat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi bagian dari peradaban manusia, maka pada saatnya lembaga pendidikan pun harus membuka diri terhadap hp, artinya pihak sekolah memang tidak bisa menghindar dari kebolehan siswa membawa hp ke sekolah. Justru semestinya hp bisa dijadikan media pembelajaran bagi siswa. Bukankah ini seiring dengan tuntutan perkembangan dunia pendidikan global.

Kedua: Kebolehan membawa hp ke sekolah harus disertai dengan peraturan dan rambu-rambu yang jelas dan tegas untuk meminimalisir dampak negatif dari hp bagi siswa. Peraturan ini harus juga disertai sanksi tegas terhadap siswa yang melanggar.

Ketiga: Perlu adanya sosialisasi sejak dini kepada para siswa/orang tua siswa tentang peraturan dan sanksi pelanggaran terhadap kebolehan membawa hp ke sekolah untuk menghindari protes yang kadang bisa mengarah pada konflik berkepanjangan akibat ketidaktahuan dan kesalahpahaman.

Keempat: Harus dilakukan operasi secara berkala sebagai kontrol terhadap hp siswa. Atau jika dianggap perlu pihak sekolah bisa bekerja sama dengan kepolisian setempat untuk sekali waktu melakukan sidak (operasi mendadak) terhadap hp siswa. Ini dimaksudkan sebagai antisipasi atau untuk menimbulkan efek jera terhadap siswa agar tidak mencoba-coba berbuat macam-macam dengan menggunakan hp yang dibawanya.

Demikian tulisan singkat ini sebagai wacana tentang kebolehan membawa hp bagi siswa  ke sekolah. Selanjutnya terserah kebijakan dan kesiapan pihak sekolah masing-masing.

Pendidikan Anak-Anak Kita Tanggung Jawab Siapa?

 

PENDIDIKAN ANAK-ANAK KITA

TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Oleh: Nanang M. Safa

 

Jika kita sepakat bahwa anak-anak kita adalah para generasi penerus bangsa yang nantinya diharapkan bisa menjadi generasi berkualitas, maka mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Selain itu justru yang paling utama adalah meletakkan pondasi moral yang kokoh agar terbentuk karakter dan kepribadian yang baik. Untuk membentuk generasi yang berkualitas, butuh upaya keras dan berkelanjutan. Seluruh elemen harus bergerak bersama dan bertindak bersama.

Keluarga adalah tempat di mana pertama kali anak mengenal lingkungannya. Ia hidup dan berkembang dalam lingkungan keluarga di mana ia tinggal. Maka orang tuanyalah sebagai penyebab pertama perkenalan anak dengan dunia. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai guide atau enter-preter yang selalu siap menjawab dan menerangkan segala yang dilihat, dirasa, dan ditanyakan oleh anak-anaknya. Sikap, perkataan, dan perilaku orang tua merupakan model nyata bagi anak. Maka tak jarang ketika ditanya siapa idolanya, anak-anak akan menjawab ibu atau bapaknya. Orang tua bagi anak merupakan pribadi ideal yang sangat sempurna, agung, dan berwibawa. Anak-anak sangat mudah meniru apa saja yang dilihat, didengar, dan diamati, sehingga apa yang diterima dari orang tuanya (keluarganya) berkaitan erat dengan pembentukan karakter anak di kemudian hari.

Setiap orang tua yang baik tentu mengharapkan agar kelak anak-anaknya bisa menjadi “orang”, walaupun tidak kaya setidaknya dapat mandiri dan berguna bagi masyarakatnya. Lebih-lebih bisa menjadi orang penting, pejabat tinggi atau bahkan presiden, misalnya. Itulah yang didambakan setiap orang tua. Sejelek-jeleknya orang tua tidak ada yang menghendaki anaknya menjadi orang yang tidak baik.

Tetapi rupa-rupanya hidup ini tidak semudah yang diinginkan. Iklim kompetisi semakin ketat di segala bidang kehidupan. Melihat kenyatan ini, bisa jadi harapan yang tadinya mulai menguncup dan akan mekar akhirnya layu sebelum berkembang. Apakah lantas kita sebagai orang tua akan menyerah begitu saja?

 

Bagaimana dengan Orang Tua Sekarang?

Pembentukan karakter dan kepribadian merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain, dengan berbagai proses pendukungnya. Namun akhir-akhir ini muncul fenomena di kalangan orang tua yang sebenarnya merupakan hal yang sangat kontra produktif dengan harapan dan cita-cita orang tua sendiri yang mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang baik dan berkualitas.

Pertama, banyak orang tua yang sepertinya sedang dilanda penyakit “takut memilki anak bodoh”. Artinya mereka sangat takut jika anak-anaknya dikatakan bodoh ketika nilai-nilai hasil ulangan dalam simbol angka-angka dalam buku rapor jelek. Sebaliknya mereka akan sangat bangga dan mengagung-agungkan anaknya (di depan anaknya tersebut atau menggunjingkannya di antara teman-temannya) ketika angka-angka di buku rapor anaknya bagus-bagus, dengan tiada keinginan untuk tahu bagimana cara anaknya tersebut mendapatkan nilai bagus tersebut; dari nyontekkah? dari berbuat curangkah? dari merampas jawaban temankah? dan tindakan ketidakjujuran lainnya.

Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa seorang siswa SD yang harus jadi bulan-bulanan ketika dia mengadu kepada ibunya berkenaan dengan perlakuan guru dan teman-temannya lantaran dia tidak bersedia (baca: menolak) dijadikan “joki” bagi teman-temannya. Benar-benar sebuah gambaran ironi tentang betapa mahalnya harga sebuah kejujuran. Tindakan semacam inilah yang pada akhirnya akan membuat anak-anak kita acuh dan tidak perduli lagi tentang ajaran moral. Mereka bisa saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai bagus agar mendapat acungan jempol dari orang tuanya. Inilah antara lain yang akhirnya bisa meruntuhkan moral anak-anak kita. Maka jangan buru-buru menyalahkan anak-anak kita ketika kelak setelah mereka menjadi “orang” tindakan mereka juga penuh nuansa ketidakjujuran dan suka menghalalkan segala cara.

Kedua, banyak orang tua yang menganggap bahwa ketika anak sudah dicukupi kebutuhan jasmaniahnya, seperti makan, pakaian, kendaraan, uang saku, dan fasilitas kesehariannya termasuk HP, maka mereka merasa sudah cukup memberikan hal terbaik kepada anak-anaknya. Mereka lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari itu semua yakni kebutuhan ruhaniahnya, termasuk perhatian dan kasih sayang.

Ketiga, banyak orang tua yang buru-buru lepas tangan dan merasa bebas dari tanggung jawab mendidik anak-anaknya ketika mereka telah memasukkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal (sekolah atau madrasah). Memang, pendidikan formal di sekolah/madrasah merupakan satu jalur pendidikan yang paling sistematis dan memiliki program terarah. Namun jangan lupa bahwa tanggung jawab mendidik anak-anak biar bagaimanapun tetap tidak bisa digantikan oleh siapapun.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama bagi anak. Segala hal yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap kehidupan anak pada masa-masa selanjutnya. Di samping itu, pendidikan keluarga juga merupakan dasar (pondasi) bagi perkembangan jiwa dan pembentukan karakter dan kepribadian anak. Penanggung jawab pendidikan keluarga ini adalah kedua orang tua, didukung oleh anggota keluarga yang lain tentunya. Relasi dan interaksi dalam keluarga yang harmonis dan komunikatif akan sangat membantu terbentuknya anak-anak yang berkepribadian baik dan berkualitas seperti yang didambakan.

Selanjutnya yang tak kalah penting adalah masyarakat di mana anak-anak banyak menghabiskan waktu di luar keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam masyarakat telah dimulai ketika anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarganya. Masyarakat yang permisif terhadap keberadaan anak-anak dengan memberikan ruang berkreasi dan berekspresi bagi anak-anak adalah masyarakat yang menjadi dambaan anak-anak. Sebaliknya masyarakat yang cuek dan cenderung hanya menghakimi akan membuat anak-anak semakin apatis terhadap lingkungannya dan akhirnya mereka akan menciptakan dunia lain bersama kelompok sebayanya dengan kegiatan-kegiatan yang cenderung negatif sebagai perwujudan dari dunia yang mereka impikan. 

Dengan adanya kerja sama dari ketiga lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), diharapkan pendidikan dapat berjalan secara kontinyu dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yakni “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (https://kumparan.com/berita-update/tujuan-pendidikan-nasional-di-indonesia-berdasarkan-undang-undang-1v6yCl2o3Vi/4).