AYAH IBUKU INSPIRATORKU
Oleh: Nanang M. Safa
Ayah…
Dalam hening sepi kurindu
Untuk...
Menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Ayahku ternyata telah lama tiada ….
(Syair asli satu baris terakhir: Anakmu sekarang banyak menanggung beban)
Alunan lagunya Ebit G. Ade tersebut benar-benar membawaku ke masa lalu ketika membersamai ayah dan ibuku. Masa-masa itu memang tidak akan pernah lagi bisa terulang. Ayahku telah meninggal lima tahun silam. Sakit yang diderita ayahku telah mengantarkan ayahku ke haribaan-Nya. Sedangkan ibuku meninggal setelah genap seratus hari meninggalnya ayahku. Ibuku seperti kehilangan semangat hidup semenjak ditinggalkan ayahku. Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari akhirnya ibuku menyusul ayah menghadap ke haribaan Allah SWT. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun …. Semoga sakit yang diderita ayah dan ibuku bisa menjadi penebus dosa-dosa mereka dan dapat mengantarkan mereka ke surgaNya.
Ayah ibuku memang bukanlah manusia sempurna. Namun bagi kami putera-puterinya, ayah ibuku adalah pahlawan yang tiada duanya. Perjuangan ayah ibuku dalam membesarkan dan mendidik kami adalah bukti kegigihan yang tak bisa terbantahkan.
Kami adalah lima bersaudara, dua puteri dan tiga putera. Berkat perjuangan dan kegigihan ayah dan ibuku, kami semua berhasil mengantongi ijazah sarjana. Mungkin Anda akan menganggap ini sebagai hal biasa, namun bagi kami ini adalah hal istimewa.
Ayah ibuku hanyalah seorang petani desa dengan hasil tak menentu. Dalam suatu kesempatan kebersamaan kami, ibuku pernah menceritakan sekelumit perjuangannya bersama ayah pada masa-masa awal kehidupan rumah tangganya.
Dengan modal lahan hutan pinjaman Perhutani, ayah dan ibuku menggarap lahan tersebut untuk bertanam padi gogo (sejenis padi untuk lahan kering). Hutan itu berjarak sekitar 20 km arah selatan rumah kami sekarang. Nama hutan tersebut adalah Mbobrog. Tiap pagi habis subuh ayah dan ibuku berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju lokasi lahan garapan. Tentu ketika itu (sekitar tahun 1960-an) keadaannya tidak seperti sekarang. Sepanjang jalan yang dilalui masih banyak binatang liar.
Tak jarang pula ayah dan ibuku bermalam di tengah hutan Mbobrog. Ayah membuat gubug kecil di tengah lahan garapan tersebut dengan kondisi seadanya, yang penting bisa dijadikan tempat berteduh dan beristirahat. Ketika larut tiba, lolongan serigala, dengus babi hutan, atau auman harimau sering terdengar mendirikan bulu kuduk. Bagi seorang perempuan, tentu muncul juga rasa takut dan ngeri ketika mendengarnya, apalagi ketika suara-suara itu terdengar begitu dekat dengan gubug kecil yang mereka tinggali. Namun ayahku selalu berhasil meyakinkan ibuku bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada mereka.
“Tidak usah takut. Jika kita tidak mengganggu mereka, mereka juga tidak akan mengganggu kita. Lagian kita kan punya Allah, Sang Maha Pelindung. Jadi mengapa mesti takut?” Demikianlah ayahku seringkali berhasil meyakinkan ibuku.
Singkat cerita, berkat kegigihan dan usaha tak kenal lelah disertai do’a, akhirnya pintu rezeki ayah ibuku dibuka oleh Allah Sang Maha Pengasih. Sedikit demi sedikit hasil dari lahan garapan tersebut bisa dicelengi (ditabung) dan akhirnya bisa digunakan untuk membeli tanah pekarangan yang jaraknya dekat dengan rumah kami sekarang.
Keberhasilan ini tentu semakin menambah semangat ayah ibuku untuk terus menekuni pekerjaannya sebagai petani. Tanah pekarangan yang berhasil dibeli tersebut ditanami cengkeh dan kelapa. Ketika itu di desa kami (Margomulya – Watulimo – Trenggalek) orang yang memiliki tanaman cengkih jumlahnya masih sangat sedikit. Tidak seperti sekarang yang hampir semua warga memiliki lahan cengkih, baik di hutan maupun kebun pribadi. Bahkan daerah kami sekarang dikenal dengan daerah penghasil cengkih, disamping kelapa dan durian. Tiap pagi dan sore, ayah dan ibuku menyirami pohon-pohon cengkih dan kelapa yang baru mulai tumbuh tersebut. Dengan telaten, mereka berdua juga memupuknya dengan kotoran kambing yang mereka pelihara. Tujuh tahun berikutnya pohon-pohon tersebut telah mulai berbuah.
Ayah ibuku juga semakin rajin nyelengi, menyisihkan sedikit demi sedikit hasil cengkih dan kelapa hasil panen mereka. Ketika itu menyimpan uang di bank belum dikenal warga desa kami. Ayah ibuku menyimpannya di celengan. Celengan adalah tempat menyimpan uang yang dulu lazimnya terbuat dari tanah liat. Lazimnya pula celengan itu berbentuk celeng (babi hutan), makanya disebut celengan. Di bagian atas diberi lubang secukupnya untuk memasukkan uang dengan cara dilipat. Jika celengan itu dirasa sudah penuh maka untuk mengambil uangnya cukup dengan memecahkannya. Besar kecilnya celengan juga tergantung kebutuhan. Di masa sekarang celengan itu cukup beragam baik bahannya maupun bentuknya.
Pandainya ibuku, ketika uang hasil nyelengi tersebut dirasa cukup maka uang tersebut dibelikan emas –seingatku paling sering dibelikan kalung dan gelang-. Lalu ketika ada orang yang ingin menjual tanahnya maka tak jarang ayah ibuku menjadi jujugan. Dan tentu, jika harga yang ditawarkan terjangkau, tanpa banyak pertimbangan, ayah ibuku akan membelinya, tentu dengan menggunakan uang hasil penjualan kalung dan gelang emas hasil dari nyelengi tersebut. Tak heran di masa akhir hayatnya, ayah dan ibuku meninggalkan beberapa petak lahan kebun yang sekarang kami (putera-puterinya) kelola.
Setelah kami beranjak dewasa, terutama ketika kami menempuh pendidikan di sekolah lanjutan atas dan bangku perguruan tinggi (kuliah), ayah ibuku fokus pada kelanjutan pendidikan kami. Mereka tak lagi bisa menyisihkan uang untuk ditabung apalagi untuk membeli tanah. Bahkan untuk sekedar renovasi rumahpun bukan lagi menjadi hal penting bagi mereka. Atap bocor, lantai jebol, emperan miring karena kayunya lapuk, atau halaman becek bukan lagi menjadi prioritas. Mereka benar-benar mencurahkan tenaga dan keringatnya untuk keberhasilan pendidikan kami.
Jika dihitung dari jarak kelahiran, usia kami berlima tentu tidak begitu jauh selisihnya. Anda bisa bayangkan, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan ayah ibuku setiap bulannya untuk membiayai sekolah kami berlima. Allahu akbar!
Oya, sedikit perlu saya paparkan juga tentang pola pikir kebanyakan warga di desa kami pada era tahun 1980-an. Pada masa itu tidak banyak orang tua yang berminat menyekolahkan anak-anak mereka, apalagi hingga ke perguruan tinggi. Banyak dari mereka yang berfikir bahwa sekolah itu hanyalah menghabiskan uang. Ada juga yang berfikir bahwa sekolah itu tidak penting, yang penting adalah bekerja mencari uang. Seingatku, hanya ada 4 keluarga yang pada masa itu mau menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi, termasuk ayah ibuku, tentu. Anda boleh percaya atau tidak percaya tentang hal ini. Baru sekitar sepuluh tahun berikutnya (sekitar tahun 1990-an), banyak warga masyarakat di desaku yang mulai terbuka wawasannya tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anak mereka. Inilah yang membuat kami bangga memiliki ayah ibu yang menurutku menjadi inspirator tentang pentingnya pendidikan bagi masyarakat di desa kami.
“Selamat jalan ayah ibuku.
Terima kasih atas jasa-jasamu merawat, membesarkan, membimbing, dan mendidik kami.
Hanya berkat ikhtiar dan do’amulah, kami bisa menjadi orang sukses seperti sekarang ini.
Maafkan kami yang belum bisa membuatmu bahagia.
Maafkan kami yang semasa hidupmu dulu seringkali membebanimu dengan banyak permintaan tanpa mau mengerti lelahmu.
Maafkan kami yang seringkali pula tak bisa menghargai tetesan air mata dan keringatmu.
Kiranya hanya do’a yang bisa kami penjatkan ke hadirat-Nya, semoga Allah menempatkanmu di surga-Nya. Aamiin ….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...