PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA: opini
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

11/02/2022

Nilai Uang Bisa Saja Berbeda

 

NILAI UANG BISA SAJA BERBEDA

Oleh: Nanang M. Safa

 

 
 

 Seorang teman pernah menyampaikan rasa tidak nyamannya lantaran mendengar perkataan rekan satu kantor tempatnya bekerja. Sebut saja namanya “Patonah”. Memang sich, perkataan tersebut tidak secara langsung ditujukan kepadanya. Namun entahlah, tiba-tiba saja Patonah merasa tidak nyaman mendengarnya. Atau barangkali juga, dia bukan satu-satunya orang yang merasa tidak nyaman. Ada Patonah-Patonah lain yang juga merasa terganggu.

Tentu saja rasa keingintahuan saya terpancing (anak-anak sekarang menyebutnya kepo). Lalu saya mencoba menyelidik lebih lanjut tentang perkataan teman satu kantornya yang telah membuatnya terganggu tersebut. Dengan sedikit pancingan, akhirnya dia bercerita dari a sampai z hingga ke hal-hal yang tentu saja berbau gibah.

Sebenarnya dari sisi ungkapan kalimatnya tidak begitu istimewa. Namun jika ditelaah dari sisi rasa bahasa memang bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Apalagi bagi orang-orang yang memiliki perasaan sensitive seperti Patonah. Pernyataan tersebut berbunyi: “Wong cuma mengeluarkan uang seratus ribu rupiah untuk amal saja kok pelit amat sich ….” Akhirnya sayapun tergerak untuk menulis hasil kekepoan saya ini.

Tulisan ini saya beri judul: “Nilai Uang Bisa Saja Berbeda”. Nah, ketika membaca judul ini barangkali Anda akan mengerutkan dahi, kemudian muncul pertanyaan “Bukankah nilai uang itu sudah tertera pada fisik uang itu sendiri?” Pada uang kertas Indonesia misalnya, ada yang bernilai Rp. 1000, Rp. 2000, Rp. 5000, Rp. 10.000, Rp. 20.000, Rp. 50.000, dan Rp. 100.000. Maaf, saya hanya menulis hingga seratus ribu rupiah karena memang itulah yang saya ketahui dan pernah saya pegang. Anda boleh saja menambahkan yang lain. Sedangkan pada uang logam (yang beredar sekarang) dapat kita temukan Rp. 1, Rp. 50, Rp. 100, Rp. 500, dan Rp. 1000.

 

Nilai Intrinsik dan Ekstrinsik

Nilai sebuah mata uang dapat dibedakan menjadi 2 yakni nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik. https://accurate.id/ekonomi-keuangan/nilai-intrinsik-uang/. Nilai intrinsik adalah nilai yang terdapat pada uang itu sendiri sesuai nominal yang tertulis pada fisik uang. Penetapan nilai intrinsik uang berkaitan erat dengan bahan pembuatannya, misalnya ada uang yang terbuat dari kertas, dari logam, dari perak atau dari emas. Sedangkan nilai ektrinsik sebuah mata uang adalah nilai kemampuan uang sebagai alat tukar barang dan jasa pada negara tempat uang tersebut diberlakukan. Nilai ekstrinsik ini ada yang menyebut dengan nilai riil. Sebagai contoh, uang Rp. 5000 bisa ditukarkan (dibelikan) semangkuk bakso gerobak dorong yang biasa keliling di desa saya.

Dari sisi ini sudah sangat jelas bahwa nilai uang yang biasa kita kenal dan kita pegang memang sudah terstandar. Lalu nilai uang yang mana lagi yang saya maksud pada postingan saya ini.

 

Nilai Personal

Anda pasti memiliki sahabat, rekan kerja, saudara, atau tetangga. Dari sekian orang-orang yang Anda kenal tersebut pastilah memiliki ragam perbedaan. Namun dalam postingan ini saya hanya ingin mengambil satu sisi perbedaan saja yakni dari sisi ekonomi. Mengapa? Alasannya jelas, karena saya sedang membahas tentang uang. Bukankah ekonomi selalu dikaitkan dengan uang?

Ketika Anda kebetulan sedang membicarakan tentang urusan dunia, maka sudah pasti ujung-ujungnya adalah uang. Pembicaraan dalam topik ini acapkali pula memunculkan friksi atau letupan-letupan kecil yang akhirnya bisa saja menjadi bara, ibarat percikan api dalam tumpukan jerami. Di sinilah letak perbedaan nilai uang yang saya maksudkan. Saya menyebutnya dengan istilah nilai personal.

Gambarannya begini. Uang seratus ribu rupiah bisa saja berbeda nilainya pada masing-masing orang. Bagi si A, uang Rp. 100.000 bisa saja nilainya sama dengan uang Rp. 1000 dengan kata lain tidak begitu berarti. Namun bagi si B, uang Rp. 100.000 bisa saja bernilai sama dengan Rp. 1.000.000 dengan kata lain sangat berarti. Kok bisa?

Banyak kondisi yang menjadi penyebab perbedaan nilai personal sebuah mata uang. Perbedaan sumber penghasilan, perbedaan jumlah tanggungan, serta perbedaan prinsip dalam menyikapi kebutuhan hidup bisa saja mengambil peran penting terhadap nilai personal uang.

Penjelasan singkatnya begini.

Penjelasan pertama: Si A adalah orang yang memiliki sumber penghasilan lebih dari satu jalur, misal si A dan suaminya sama-sama pekerja kantoran. Sebaliknya si B adalah orang yang hanya memiliki satu jalur penghasilan. Dia adalah satu-satunya andalan sumber nafkah keluarganya. Maka ketika memperlakukan uang Rp. 100.000 sudah pasti akan berbeda. Tingkat penghematan si B terhadap uang jauh lebih tinggi dibanding si A.

Penjelasan kedua: Si A memiliki jumlah tanggungan nafkah lebih sedikit dibanding si B. Maka rumus bakunya si B sudah pasti akan lebih berhati-hati membelanjakan uang yang ada di kantongnya daripada si A.

Penjelasan ketiga: Si A memiliki prinsip gaya hidup itu adalah bagian penting dalam hidupnya. Sementara si B menganggap gaya hidup itu hanyalah sebagai pelengkap atau penghias agar terlihat lebih indah dan umum batur. Maka ketika ada tawaran untuk membeli sesuatu yang jika diukur dari sisi kebutuhan belum terlalu mendesak, bisa saja si A tidak akan eman mengeluarkan uang untuk membelinya. Sedangkan si B, dia akan berfikir seratus kali untuk membelinya karena baginya uang itu akan lebih bermanfaat jika dibelanjakan kebutuhan lain. Jadi jelasnya si B akan melihat skala prioritas kebutuhan dalam keluarganya sebelum melepas uang dalam kantongnya.

 

Perlu Sikap Bijak

Jika ditanyakan sikap bagaimanakah yang hendaknya kita lakukan? Saya akan menjawabnya sikap bijak. Si A dengan segala kelebihan yang dimilikinya tentu bisa bersikap bijak dengan tidak mengobral cerita tentang wisata kuliner yang telah dilakukannya dalam sebulan misalnya. Atau tidak mengobral cerita tentang koleksi baju yang berjajar di almari mewahnya, misalnya. Sebab boleh jadi tanpa disadarinya obralan ceritanya tersebut melukai perasaan orang-orang yang kebetulan mendengarnya.

Bahkan sekedar perkataan “pelit” ketika melihat orang lain begitu beratnya melepas uang Rp.100.000 untuk kegiatan amal sekalipun, itupun sebisa mungkin harus dihindari. Apalagi sampai menghakimi dengan dalih agama. Sekali lagi, bukankah kita tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya? Sebanyak apa persediaan uang untuk kebutuhan keluarganya? Seberapa berartikah uang Rp. 100.000 itu bagi dia dan keluarganya? Dan seterusnya.

Bagaimana?

Anda boleh setuju atau tidak setuju. Suka-suka Andalah.

09/02/2022

Rasa Bahasa dalam Berkomunikasi

 

RASA BAHASA DALAM BERKOMUNIKASI

Oleh: Nanang M. Safa

 

Seringkali kita mendengar percakapan atau perdebatan tentang makna beberapa kata yang sebenarnya masih bersaudara atau serumpun. Bagi sebagian besar pembaca, pendengar atau penulispun kata-kata tersebut secara umum dianggap sama saja. Namun jika ditelisik lebih dalam tentang makna kata atau rasa bahasanya, sebenarnya ada perbedaan strata dalam penggunaannya. Rasa bahasa bisa dimaknai sebagai penghayatan estetik dari sebuah kata atau bahasa.

Banyak orang menganggap penggunaan kata dalam berkomunikasi hanyalah sekedar mengungkapkan deretan kalimat. Intinya antara yang berbicara dan yang diajak bicara (mendengarkan) mengerti, selesai. Ok, untuk ukuran standarnya memang begitu. Namun ada kalanya berkomunikasi itu bukan sekedar mengerti, namun harus ada andap asor (sopan santun) dalam berkomunikasi. Itulah yang saya sebut sebagai strata kata. Strata kata ini akhirnya akan mempengaruhi rasa bahasa yang Anda ucapkan.

Dalam bahasa Jawa sendiri misalnya, untuk menyebut kata “kamu” saja ada beberapa sebutan. Menyebut “kamu” kepada orang yang dituakan maka harus menggunakan strata bahasa paling tinggi yakni kata “Panjenengan” yang dalam bahasa Jawa disebut krama inggil. Kemudian untuk strata di bawahnya ada kata “Sampeyan” yang dalam bahawa Jawa disebut basa krama, dan di bawahnya lagi ada kata “Kowe” yang dalam bahasa Jawa disebut basa ngoko.

Pada postingan ini saya hanya mengambil satu contoh kata yang juga sering menjadi bahan perdebatan yakni kata “janji”.

Ketika Anda ketikkan sinonim kata “janji” di search angine google, maka Anda akan disuguhi beberapa kata termasuk kata “sumpah” dan “ikrar”. Atau jika kebetulan Anda seorang penggemar Teka Teki Silang (TTS) dan Anda mendapati pertanyaan “janji” maka bisa saja Anda mengisikan kata “sumpah” atau “ikrar”. Dan karena kebetulan huruf dari ketiga kata tersebut berjumlah sama, maka Anda tinggal menyesuaikannya dengan kotak mendatar atau menurun.

Yudistira, seorang sastrawan senior tanah air mengungkapkan bahwa kata “janji” lebih cenderung digunakan dalam hubungan antar sesama manusia, artinya kata “janji” digunakan dalam konteks yang sepadan. Maka dalam sebuah kesepakatan hampir pasti kita temui kata “perjanjian” bukan “persumpahan”.

Kata “sumpah” kedudukannya satu tingkat lebih tinggi dibanding kata “janji”. Kata “sumpah” mengandung konteks kesucian yakni ada keterlibatan Tuhan di dalamnya. Misalnya penggunaan kata sumpah dalam ucapan atau kalimat “Sumpah demi Allah .…” bukan “Janji demi Allah .…”

Sedangkan kata “ikrar” menempati strata tertinggi dibanding kedua saudaranya. Dalam kata “ikrar” terkandung makna terdalam dari sebuah janji yang disertai sumpah untuk dapat mewujudkannya dengan segenap penyerahan diri orang yang berikrar. Misalnya, dalam penggunaan kalimat “Mengikrarkan dua kalimah syahadat”. Dengan demikian kata “ikrar” memiliki konsekuensi paling berat dalam konteks rasa kebahasaan.

Demikian tulisan singkat tentang contoh penggunaan kata sinonim yang sekilas sama namun sebenarnya memiliki rasa atau strata yang berbeda. Postingan ini hanyalah sebagai pembuka wawasan awal sesuai pengetahuan dan pemahaman penulis yang tentu sangat terbatas. Silahkan Anda telusuri lebih lanjut tentang materi dalam postingan ini. Anggap saja tulisan singkat ini sebagai pemantik diskusi jika memang dianggap perlu didiskusikan. Pendapat dan argumentasi Anda sangat berarti sebagai penambah wawasan bagi banyak orang.