PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA

02/09/2017

Pendidikan Anak-Anak Kita Tanggung Jawab Siapa?



PENDIDIKAN ANAK-ANAK KITA

TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Oleh: Nanang M. Safa'



 Jika kita sepakat bahwa anak-anak kita adalah para generasi penerus bangsa yang nantinya diharapkan bisa menjadi generasi berkualitas, maka mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan. Selain itu justru yang paling utama adalah meletakkan pondasi moral yang kokoh agar terbentuk kepribadian yang baik. Untuk membentuk generasi yang berkualitas, butuh upaya keras dan berkelanjutan. Seluruh elemen harus bergerak bersama dan bertindak bersama.

Keluarga adalah tempat di mana pertama kali anak mengenal lingkungannya. Ia hidup dan berkembang dalam lingkungan keluarga di mana ia tinggal. Maka orang tuanyalah sebagai penyebab pertama perkenalan anak dengan dunia. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai guide atau enter-preter yang selalu siap menjawab dan menerangkan segala yang dilihat, dirasa, dan ditanyakan anak-anaknya. Sikap, perkataan dan perilaku orang tua merupakan model nyata bagi anak. Maka tak jarang ketika ditanya siapa idolanya, anak-anak akan menjawab ibu atau bapaknya. Orang tua bagi anak merupakan pribadi ideal yang sangat sempurna, agung, dan berwibawa. Anak-anak sangat mudah meniru apa saja yang dilihat, didengar dan diamati, sehingga apa yang diterima dari orang tuanya (keluarganya) berkaitan erat dengan pembentukan karakter anak di kemudian hari.

Setiap orang tua yang baik tentu mengharapkan agar kelak anak-anaknya bisa menjadi “orang”, walaupun tidak kaya setidaknya dapat mandiri dan berguna bagi masyarakatnya. Lebih-lebih bisa menjadi orang penting, pejabat tinggi atau bahkan presiden, misalnya. Itulah yang didambakan setiap orang tua. Sejelek-jeleknya orang tua tidak ada yang menghendaki anaknya jadi orang yang tidak baik.

Tetapi rupa-rupanya hidup ini tidak semudah yang diinginkan. Iklim kompetisi semakin ketat di segala bidang kehidupan. Melihat kenyatan ini, bisa jadi harapan yang tadinya mulai menguncup dan akan mekar akhirnya layu sebelum berkembang. Apakah lantas kita sebagai orang tua akan menyerah begitu saja?



Bagaimana dengan Orang Tua Sekarang?

Pembentukan kepribadian merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain, dengan berbagai proses pendukungnya. Namun akhir-akhir ini muncul fenomena di kalangan orang tua yang sebenarnya merupakan hal yang sangat kontra produktif dengan harapan dan cita-cita orang tua sendiri yang mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang baik dan berkualitas.

Pertama; banyak orang tua yang sepertinya sedang dilanda penyakit “takut memilki anak bodoh”. Artinya mereka sangat takut jika anak-anaknya dikatakan bodoh ketika nilai-nilai hasil ulangan dalam simbol angka-angka dalam buku rapor jelek. Sebaliknya mereka akan sangat bangga dan mengagung-agungkan anaknya (di depan anaknya tersebut atau menggunjingkannya di antara teman-temannya) ketika angka-angka di buku rapor anaknya bagus-bagus, dengan tiada keinginan untuk tahu bagimana cara anaknya tersebut mendapatkan nilai bagus tersebut; dari nyontekkah? dari berbuat curangkah? dari merampas jawaban temankah? dan tindakan ketidakjujuran lainnya. Tindakan orang tua semacam inilah yang pada akhirnya akan membuat anak-anak kita acuh dan tidak perduli lagi tentang ajaran moral. Mereka bisa saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai bagus agar mendapat acungan jempol dari orang tuanya. Inilah antara lain yang akhirnya bisa meruntuhkan moral anak-anak kita. Maka jangan buru-buru menyalahkan anak-anak kita ketika kelak setelah mereka menjadi “orang” tindakan mereka juga penuh nuansa ketidakjujuran dan suka menghalalkan segala cara.

Kedua; banyak orang tua yang menganggap bahwa ketika anak sudah dicukupi kebutuhan jasmaniahnya, seperti makan, pakaian, kendaraan, uang saku, dan fasilitas kesehariannya termasuk HP, maka mereka merasa sudah cukup memberikan hal terbaik kepada anak-anaknya. Mereka lupa bahwa ada hal lebih penting dari itu semua yakni kebutuhan ruhaniahnya, termasuk perhatian dan kasih sayang.

Ketiga; banyak orang tua yang buru-buru lepas tangan dan merasa bebas dari tanggung jawab mendidik anak-anaknya ketika mereka telah memasukkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal (sekolah atau madrasah). Memang, pendidikan formal di sekolah/madrasah merupakan satu jalur pendidikan yang paling sistematis dan memiliki program terarah. Namun jangan lupa bahwa tanggung jawab mendidik anak-anak biar bagaimanapun tetap tidak bisa digantikan oleh siapapun. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama bagi anak. Segala hal yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap kehidupan anak pada masa-masa selanjutnya. Di samping itu, pendidikan keluarga juga merupakan dasar (pondasi) bagi perkembangan jiwa dan pembentukan kepribadian anak. Penanggung jawab pendidikan keluarga ini adalah kedua orang tua, didukung oleh anggota keluarga yang lain tentunya. Relasi dan interaksi dalam keluarga yang harmonis dan komunikatif akan sangat membantu terbentuknya anak-anak yang berkepribadian baik dan berkualitas seperti yang didambakan.

Selanjutnya yang tak kalah penting adalah masyarakat di mana anak-anak banyak menghabiskan waktu di luar keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam masyarakat telah dimulai ketika anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarga. Masyarakat yang permisif terhadap keberadaan anak-anak dengan memberikan ruang berkreasi dan berekspresi bagi anak-anak adalah masyarakat yang menjadi dambaan anak-anak. Sebaliknya masyarakat yang cuek dan cenderung hanya menghakimi akan membuat anak-anak semakin apatis terhadap lingkungannya dan akhirnya mereka akan menciptakan dunia lain bersama kelompok sebayanya dengan kegiatan-kegiatan yang cenderung negative sebagai perwujudan dari dunia yang mereka impikan. 

Dengan adanya kerja sama dari ketiga lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), diharapkan pendidikan dapat berjalan secara kontinyu dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.@safa_kampus215

02/03/2016

Trend Berbusana Muslimah, Dari Jilbab Hingga Jilbobs

TREND BERBUSANA MUSLIMAH, DARI JILBAB HINGGA JILBOBS

Oleh: Nanang M. Safa'




 “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”

Kalimat berbahasa Jawa yang sangat filosofis dan bermakna sangat dalam. Bahwa harga diri seseorang tergantung pada dua hal yakni tutur kata yang terucap di bibir serta penampilan tubuh yang terekspresi lewat pakaian (busana). Memang bisa saja pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Ada pepatah lain mengatakan, “Bagai Musang berbulu Domba”. Kadangkala penampilan luar bisa mengecoh. Orang yang punya maksud jahat bisa saja menampilkan tutur sapa yang halus dan sopan, juga berpenampilan parlente. Namun ini tentu saja tidak berlaku bagi keseharian seseorang yang sudah kita kenal dan akrabi. Maka tidak terbantahkan tentang asumsi umum bahwa penampilan luar adalah cerminan dari watak dan karakter seseorang.

Dalam hal berbusana, prinsip Islam sudah sangat jelas yakni harus menutup aurat. Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. Karena aurat adalah sesuatu yang harus dijaga oleh setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Maka ini adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Dengan kata lain, menjaga aurat adalah salah satu wujud nyata dari menjaga kehormatan diri. Apakah aurat itu merupakan anggota tubuh yang tidak baik sehingga tidak boleh dipertontonkan sesukanya seperti anggota tubuh yang lain? Pada hakekatnya tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk termasuk aurat, karena Allah menciptakannya untuk kemanfaatan bagi manusia. Namun tentu saja semua hal baik tidak lantas pas untuk konsumsi banyak orang. Justru KEBAIKAN AKAN TETAP MENJADI BAIK JIKA KITA PANDAI MENJAGANYA.

Dalam perkembangan mode, kebutuhan berbusana berkembang begitu pesat. Industri busana muslim secara integral dalam perkembangan mode konvensional telah menjadi asset bisnis yang menarik. Tidak saja dalam industri besar, namun juga untuk skala rumahan dan pengrajin. Gerai busana muslim bermunculan mulai dari kelas kaki lima hingga butik ternama. Fashion show seringkali digelar oleh para designer dengan berbagai trend busana muslim dengan beragam gaya, mulai dari paduan budaya antar bangsa, hingga inspirasi alam yang bervariatif. Mereka begitu bebas mengadaptasi ide kreatifnya dari berbagai sumber, termasuk perkembangan mode internasional.

Tuntutan untuk bisa berpenampilan cantik dan menarik telah ikut mempengaruhi industri busana muslimah. Di satu sisi hal ini tentu membawa angin segar bagi memasyarakatnya pakaian muslimah (jilbab), namun di sisi lain tentu menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran bahwa gaya busana perempuan muslimah sudah mulai menyimpang dari kaidah syar’i yang benar.

Pada medio 2013, di media sosial muncul istilah jilbobs. –plesetan dari jilbab-. Jilboobs adalah pelesetan dari kata jilbab dan boobs alias dada perempuan (maaf, payudara). Sindiran ini ditujukan kepada para perempuan yang mengenakan hijab tapi masih hobi berbusana ketat dan seksi hingga lekuk tubuhnya tercetak jelas. Istilah ini muncul di kalangan para remaja muslimah (kalangan pelajar dan mahasiswa) yang suka mengenakan jilbab namun juga ingin menampilkan sisi-sisi menarik dari tubuhnya. Hal itulah yang kemudian membuat remaja perempuan masih memilih pakaian-pakaian ketat yang mengeksploitasi sisi-sisi erotis dari tubuhnya untuk menarik perhatian lawan jenis.

Islam telah memberikan batas dan rambu-rambu tentang tata cara berbusana, termasuk dalam mengenakan perhiasan. Di sisi lain, Islam adalah agama yang mengenal batas toleransi (tasamuh) dalam mengatur tata kehidupan termasuk dalam hal berpakaian dan mengenakan perhiasan. Busana bagi seseorang bukan saja untuk menutupi aurat namun juga sebagai ekspresi beragam perasaan dan gaya hidup. Islam mengharuskan seorang muslimah untuk menutupi auratnya. Hal ini tentu sebuah harga mati. Namun Islam juga tidak serta merta menutup pintu rapat-rapat untuk sebuah keindahan. Bukankah Allah itu juga sangat menyukai keindahan?! Jika dengan berpakaian bisa menjadikan seseorang lebih menarik dan elok, Islam tentu bisa menoleransinya. Namun jika dengan gaya pakaian dan perhiasan yang dikenakannya bisa menimbulkan fitnah, kemaksiatan dan kemadharatan, itulah yang jelas-jelas dilarang oleh Islam.

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya…” (QS. An Nur: 31)

Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Al Qur’an tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang dimaksud perhiasan, atau sesuatu yang “elok atau indah”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang indah adalah sesuatu yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Namun kebebasan tersebut haruslah kebebasan yang disertai tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat maupun tanggung jawab terhadap keyakinannya (agamanya). Keindahan adalah dambaan setiap manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan itu sangatlah relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Namun setidaknya ada standard etika yang bisa dijadikan alat ukur tentang elok dan tidak elok, tentang patut dan tidak patut, dan seterusnya.

Sebagai seorang muslim, tentu saja kita harus melihat kaidah-kaidah berpakaian yang sesuai dengan syari’at Islam, supaya apa yang kita kenakan dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak dan tidak memicu hal-hal yang tidak diinginkan di dunia.

Rasulullah Muhammad SAW telah memaklumatkan lewat haditsnya yang diriwayatkan Bukhari bahwa salah satu golongan yang tidak akan mencium bau surga –apalagi masuk ke dalamnya- adalah perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan berlenggak-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu. Makna dari ‘berpakaian tetapi telanjang’ adalah dia menutup sebagian auratnya tapi menampakkan sebagian lainnya. Atau dia menutupi seluruh auratnya tapi dengan pakaian yang tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya (auratnya). Allah SWT memerintahkan perempuan untuk menutup auratnya. Aurat perempuan dapat mengundang kemaksiatan bagi orang yang melihatnya, maka menutup auratpun dapat menghindarkan perempuan dari kedzaliman orang lain. Selain itu, menutup aurat bisa mengangkat derajat dan martabat perempuan di mata Allah maupun di mata masyarakat. Dan ingatlah bahwa SEINDAH-INDAH PERHIASAN ADALAH PERHIASAN TAQWA.

 






23/01/2016

Tanggung Jawab Pendidikan Remaja

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN REMAJA
Oleh : Nanang M. Safa'

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan menuju masa dewasa yang matang dan mandiri. Tidak ada kata sepakat mengenai pengertian remaja serta batas usia remaja di kalangan para ahli. Namun menurut suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, secara global masa remaja berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun, dengan pembagian secara global usia 12-15 tahun disebut remaja awal, usia 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun masa remaja akhir (F.J Monk : 1994).

Pada fase ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial menyangkut kematangan fungsi psikologis dan fisiologis, terutama fungsi seksual (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang : 1990). Di samping secara intern seorang remaja mengalami kegelisahan akibat perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, secara ekstern remaja juga acapkali mengalami benturan pemahaman yang memunculkan konflik dengan lingkungan sosialnya.
Remaja belum memiliki kematangan sikap dan pendirian. Remaja cenderung melakukan imitasi (meniru) hal-hal yang dianggap sesuai dengan keinginannya serta cenderung untuk merealisasikan imajinasinya dengan mencoba-coba hal baru tanpa memperhitungkan akibatnya. Remaja juga mulai melepaskan diri dari kehidupan keluarga yang mengikatnya selama masa kanak-kanaknya untuk bergabung dengan peer group atau kelompok sebayanya. Remaja sedang berada dalam masa yang tidak stabil (labil) atau masa goncang karena ketidakjelasan statusnya ini.

Memang keadaan seperti ini bersifat alamiah, artinya tiap-tiap individu yang memasuki usia remaja pasti akan mengalaminya. Banyaknya kasus pelecehan seksual dan kriminalitas remaja setelah ditelusuri ternyata hanyalah didorong oleh rasa penasaran terhadap hal-hal baru yang baru didengar, dibaca atau ditontonnya. Tindakan inipun mayoritas dilakukan secara bersama dalam peer-groupnya, jarang sekali tindakan pelanggaran norma ini dilakukan secara perorangan sebab para remaja sangat khawatir tidak diterima dalam peer-groupnya.
Jika kita sepakat bahwa para remaja adalah para generasi penerus bangsa yang nantinya diharapkan bisa menjadi generasi berkualitas, maka mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan. Landasan pokok terbentuknya pribadi yang berkualitas adalah nilai-nilai pendidikan agama.

Munculnya kenakalan dan tindak kriminalitas di kalangan remaja lebih disebabkan karena merosotnya moral agama di kalangan remaja. Maka menjadi suatu yang ironis ketika pelajaran agama dianggap sebagai pelajaran lapis kedua setelah Matematika, IPA, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (mata pelajaran unas). Maka jangan buru-buru menyalahkan remaja ketika mereka tidak lagi santun kepada guru atau tidak lagi hormat kepada orang tua atau tidak lagi sungkan mengobral maksiat di tempat umum, dan sebagainya.

Ketika sikap dan tindakan negatif remaja sudah semakin meresahkan, lalu banyak orang mengusulkan agar pendidikan sex, kesadaran berlalu lintas, korupsi, bahkan kejujuran dimasukkan tersendiri ke dalam kurikulum pendidikan nasional, padahal kesemuanya itu pada hakekatnya bermuara pada pendidikan moral. Maka menarik apa yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya bahwa seharusnya semua materi yang ada pada kurikulum nasional diintegrasikan. Pelajaran agama bisa diajarkan bersamaan dengan materi pelajaran sosiologi, matematika, ekonomi dan yang lainnya. Pendidikan seperti inilah yang akan dapat membikin anak cerdas dan dapat membentuk karakter anak. Prof. Zainuddin lantas membandingkan para peserta didik di Australia yang hanya belajar 3 materi pelajaran pada satu semester sementara para peserta didik di Indonesia sedikitnya harus melahap 14 materi pelajaran pada satu semester. Lalu harus ditambah berapa materi lagi?!

Kebanyakan orang tua sekarang sepertinya sedang dilanda penyakit “takut memilki anak bodoh”. Artinya mereka sangat takut jika anak-anaknya dikatakan bodoh ketika nilai-nilai hasil ulangan dalam simbol angka-angka dalam buku rapor jelek. Sebaliknya mereka akan sangat bangga dan mengagung-agungkan anaknya (di depan anaknya tersebut atau menggunjingkannya di antara teman-temannya) ketika angka-angka di buku rapor anaknya bagus-bagus dengan tiada keinginan untuk tahu bagimana cara anaknya tersebut mendapatkan nilai sebagus itu. Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa seorang siswa dari SD Gadel yang harus jadi bulan-bulanan ketika dia mengadu kepada ibunya berkenaan dengan perlakuan guru dan teman-temannya lantaran dia tidak bersedia (baca: menolak) dijadikan “joki” di kalangan teman-temannya. Benar-benar sebuah gambaran ironi tentang betapa mahalnya harga sebuah kejujuran.

Memang, pendidikan formal di sekolah merupakan satu jalur pendidikan yang paling sistematis dan memiliki program terarah. Namun toch pendidikan bukan semata hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Orang tua (keluarga), masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama memiliki tanggung jawab yang sama dan saling ketergantungan terhadap pendidikan putra-putri bangsa.

Banyak orang tua yang buru-buru lepas tangan dan merasa bebas dari tanggung jawab mendidik putra putrinya ketika mereka telah menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal (baca: sekolah). Padahal tanggung jawab mendidik anak bagi orang tua biar bagaimanapun tetap tidak bisa digantikan oleh siapapun. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama bagi anak. Segala hal yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap kehidupan anak pada masa-masa selanjutnya, disamping juga merupakan dasar (pondasi) bagi perkembangan jiwa anak. Penanggung jawab pendidikan keluarga ini adalah kedua orang tua, didukung oleh anggota keluarga yang lain. Relasi dan interaksi dalam keluarga yang harmonis dan komunikatif akan sangat membantu tercapainya tujuan pendidikan seperti yang diharapkan.

Selanjutnya, masyarakat merupakan lingkungan kedua tempat anak melakukan berbagai aktifitas dan menghabiskan banyak waktu. Pendidikan dalam masyarakat telah dimulai ketika anak mulai mengenal lingkungan di luar keluarga. Masyarakat yang permisif terhadap keberadaan remaja dengan memberikan ruang berkreasi dan berekspresi bagi remaja adalah masyarakat yang menjadi dambaan remaja. Sebaliknya masyarakat yang cuek dan cenderung hanya menghakimi akan membuat remaja semakin apatis terhadap lingkungannya dan akhirnya mereka akan menciptakan dunia lain bersama kelompok sebayanya dengan kegiatan-kegiatan yang cenderung negative sebagai perwujudan dari dunia yang mereka impikan.

Dengan adanya kerja sama dari ketiga lembaga pendidikan tersebut, diharapkan pendidikan dapat berjalan secara kontinyu dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.


Dimuat di majalah MPA Kemenag Jawa Timur, edisi 352/Januari 2016