PENDIDIKAN - REMAJA - KELUARGA

16/04/2015

Ibu, Satu Kata Sejuta Makna

IBU, SATU KATA SEJUTA MAKNA

Oleh: Nanang M. Safa'

Ribuan kilo, jarak yang kau tempuh
Lewati rintangan demi aku anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…
Ibu…ibu…

Cuplikan syair lagu yang pernah ditulis dan dipopulerkan oleh Iwan Fals, seorang penyanyi lagu-lagu balada di era 80-an tersebut benar-benar sangat menyentuh perasaan. Syair tersebut cukup mampu menggambarkan betapa besarnya arti seorang ibu bagi kita. Iwan sendiri ketika menciptakan lagu itu tentu sadar betul betapa berjuta sanjunganpun tak akan pernah mampu menggambarkan besarnya jasa seorang ibu.

Betapa tidak? Ibu kitalah yang telah bersusah payah selama sembilan bulan lebih mengandung kita dalam rahimnya. Semakin hari kandungan itu semakin besar hingga tidurpun tak bisa nyaman karena harus menanggung beban berat yang terus menggelayutinya. Seringkali selera makan pun jadi hilang gara-gara rasa mual yang sering mendera, namun betapapun lantaran kasih sayangnya kepada janin di kandungannya, sang ibu rela memaksa diri untuk tetap makan. Lalu tibalah detik-detik perjuangan bertaruh nyawa di medan persalinan yang melelahkan. Tetesan keringat, darah dan air mata berbaur dengan jeritan dan nafas memburu, harap-harap cemas antara hidup dan mati. 

Sudah cukupkah perjuangan ibu sampai di situ?

Ternyata belum.

Dari balita hingga remaja, kehadiran seorang ibu tidak bisa tergantikan. Menyusui, menyuapi, merawat, membimbing, menina-bobokkan, dan hampir semua pekerjaan berkenaan dengan si kecil, ibulah yang mengambil porsi paling besar. Ibu pulalah yang dengan telaten dan tekun mengajari si kecil mulai belajar tertawa, menyapa, berjalan hingga bisa berlari. Ibu tak pernah mengeluh ketika si kecil ngompol di tengah malam. Ibu juga tak pernah marah ketika si kecil rewel padahal mestinya tubuhnya juga sangat penat karena harus mencuci, memasak, dan seabrek urusan rumah yang melelahkan. Maka sangat tepat kiranya penghargaan tertinggi diberikan kepada seorang ibu. 

Rasulullah Muhammad SAW juga sangat menghargai keberadaan seorang ibu. “Sorga di bawah telapak kaki Ibu” adalah sebuah ungkapan nan indah yang menggambarkan betapa sangat beruntungnya si anak jika saja ia bisa menghargai dan berbakti pada ibunya. Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya seorang sahabatnya tentang kepada siapa kita pertama kali harus berbakti? Rasulullah SAW dengan tegas menjawab “Ibumu” dan jawaban itu diulang hingga tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW baru mengatakan “Bapakmu”. Subhanallah. Betapa tingginya penghargaan Rasulullah SAW atas keberadaan seorang ibu. 

Pada sisi lain, jika seorang anak membuat sang ibu tidak ridla (baca: marah), tentu laknat Allah akan mengancamnya. Ingat kisah nyata Al Qamah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang cukup taat dalam beribadah kepada Allah. Namun di saat-saat menghadapi sakaratul maut, Al Qamah begitu tersiksanya dan seakan nyawa itu enggan meninggalkan raganya gara-gara Al Qamah masih memiliki "hutang" kesalahan di masa lalu yang belum terbayarkan kepada ibunya akibat bujuk rayu istrinya. Baru setelah melalui negosiasi yang cukup alot, restu itu diperolehnya juga, dan akhirnya Al Qamah bisa meninggal dengan mudah.

 

Selintas Sejarah Hari Ibu

Gema Sumpah Pemuda dan lantunan lagu Indonesia Raya yang digelorakan dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, menggugah semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri. Maka pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta yang salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI). Melalui PPPI inilah akhirnya terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang dinamis. Selanjutnya pada tahun 1929 Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII), yang pada tahun 1935 mengadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.

Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkansebagai Hari Ibu. Dan selanjutnya dikukuhkan oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, yang menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan salah satu hari nasional dan bukan hari libur. Tahun 1946 Badan ini berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia di singkat KOWANI, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.

Semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia tersebut sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu berupa setangkai bunga melati dengan kuntumnya, yang menggambarkan: Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak; Kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak; Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara.

Jadi jelaslah bahwa ditilik dari latar sejarahnya, peringatan hari ibu di Indonesia tidak mengacu pada Mother’s Day yang digemakan negara-negara Barat, biarpun ada kesamaan dalam kemasan penghargaan kepada wanita (ibu).

18/03/2015

Go Green! Hijau Bumiku, Damai Jiwaku


GO GREEN!

HIJAU BUMIKU, DAMAI JIWAKU

Oleh: Nanang M. Safa'


 “ZAMRUD KHATULISTIWA”, inilah julukan membanggakan yang disematkan pada negeri kita Indonesia tercinta. Penyematan ini bukan tanpa alasan. Konon ketika dilihat dari angkasa,  gugusan kepulauan Indonesia terlihat nan hijau menyejukan mata bak batu Zamrud. Hal inilah yang kemudian membuat Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa. Faktanya juga selaras, tanaman apa saja yang ditanam di tanah Indonesia bisa tumbuh. Bahkan tongkat kayupun bisa tumbuh di tanah Indonesia –demikian kata Koes Plus- Maka tak heran bila banyak negara tetangga yang iri akan kekayaan alam Indonesia, banyak dari mereka ingin menjajah Indonesia untuk mengambil hasil kekayaan alam Indonesia. Namun akankah sebutan membanggakan ini akan terus kita sandang?! Tentu jawabannya bisa iya bisa tidak! Tergantung kita, manusia Indonesia semua.

Jika hutan yang melingkupi Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah banyak yang gundul dan bopeng-bopeng, maka sudah pasti sebutan itu tak kan lagi pernah didengar anak cucu kita. Kepentingan segelintir orang yang suka mengeksploitasi alam Indonesia, dampak paling besar justru akan ditanggung warga sekitar yang tak tahu apa-apa. Hidup ini memang sangat bergantung pada alam, jika kondisi alamnya baik, maka kehidupan yang ada di dalamnya juga akan baik. Jika kondisi lingkungan alam sekitarnya asri, maka akan terasa nyaman dalam melakukan berbagai aktivitas. Sebaliknya, kondisi alam yang rusak selalu memberikan dampak negatif terhadap semua makhluk hidup di muka bumi ini. Telah banyak kita dengar dan kita baca tentang betapa mengerikannya musibah yang harus ditanggung manusia sebagai akibat dari rusaknya alam tempat bernaung.  Maka tidak bisa ditunda lagi, semuanya harus menggelorakan semangat menjaga dan melestarikan alam. Para guru dan siswa harus punya itikad baik untuk menjaga lingkungan sekolahnya. Warga masyarakat juga harus perduli terhadap kelestarian lingkungan sekitarnya.

           Menjaga dan memelihara keasrian dan keindahan alam memang bukanlah hal yang mudah. Namun ikhtiar nyata tetap harus dilakukan oleh siapapun. Menggunggah kesadaran diri sendiri, lalu menularkannya kepada orang-orang terdekat dan orang-orang sekitar, tanpa boleh merasa bosan. Ini juga merupakan bentuk nyata dakwah amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan). Upaya dalam menciptakan kondisi lingkungan yang asri nan hijau, merupakan suatu dukungan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Biar pun hanya hal kecil yang dapat dilakukan, tetapi bisa memberikan andil besar untuk sebuah perubahan. Alam ini membutuhkan tangan-tangan yang bertanggung jawab yang dapat menjaga dan memanfaatkannya dengan baik, bukan mengeksploitasinya demi materi. Dengan adanya pohon di lingkungan sekitar kita memang rasanya bisa menyejukkan jiwa. Mata juga terasa sejuk, nafas serasa segar. Beda ketika kita berada di lingkungan yang gersang dan kotor. Jiwa rasanya ikut meradang, tinggalpun rasanya seperti terpenjara, membuat tidak nyaman.

Pencemaran tanah, air dan udara akibat teknologi ciptaan manusia faktanya memang sudah tidak bisa lagi dihindari. Maka dampak negatif dari itu semua akan ditanggung manusia sendiri. Al Qur’an juga telah menegaskan bahwa kerusakan alam adalah akibat perbuatan manusia sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ar Rum ayat 41 yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).

Maka tak ada lagi dalih untuk menghindar dari kesalahan itu. Manusia jualah yang juga harus berupaya maksimal meminimalisir atau kalau bisa menghambat cepatnya kerusakan alam. Bukankah Allah SWT juga telah memaklumatkan bahwa Allah telah memberikan mandat sepenuhnya kepada manusia atas pengolahan dan pengelolaan alam ini. Gelar “Khalifah” yang disematkan langsung oleh Allah SWT kepada manusia adalah sebagai bukti dari tugas dan tanggung jawab untuk mengolah dan mengelola alam ini. Dan tentunya tugas dan tanggung jawab tersebut kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Go green! Mari hijaukan bumi kita!

Slogan ini bukanlah slogan kosong yang hanya untuk diteriakkan atau ditulis di banner, lalu ditayang di mana-mana. Yang lebih penting dari itu adalah action (aksi nyata). Tidak perlu menunggu program menanam sejuta pohon dari pejabat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mari kita mulai saja dari lingkungan sekitar kita. Lingkungan rumah kita, lingkungan sekolah kita, lingkungan masyarakat kita, adalah lingkungan yang paling butuh perhatian. Banyak bunga yang bisa ditanam, atau pohon-pohon buah yang jika dikelola justru bisa memberikan hasil ganda; kesejukan dan nilai jual. Bukankah ini juga berarti menabung untuk generasi mendatang?!

Tak perlu tempat mahal. Kaleng bekas atau plastik bekas juga bisa dijadikan media tanam. Pemupukan juga bisa menggunakan kompos bikinan sendiri, kotoran ayam atau kotoran kambing, semuanya bisa jadi pupuk yang bagus untuk tanaman.

Nabi Muhammad SAW telah menyatakan dalam salah satu haditsnya: “Barang siapa menghidupkan bumi yang mati, maka bumi itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi)”. Makna mendalam dari hadits ini tentunya tidak harus diartikan secara tekstual namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa Islam sangat menghargai orang-orang yang perduli terhadap kelestarian alam (lingkungan hidup). Maka apa lagi yang kita tunggu. GO GREEN! MARI HIJAUKAN BUMI KITA! Dan ayo kita senandungkan syair lagunya Crisye berikut:

 

Aku bahagia hidup sejahtera di khatulistiwa
Alam berseri-seri bunga beraneka
Mahligai rama-rama, bertajuk cahya jingga
Surya di cakrawala

S'lalu berseri alam indah permai di khatulistiwa
Persada senyum tawa, hawa sejuk nyaman
Wajah pagi rupawan burung berkicau ria
Bermandi embun surga

Reff:
Syukur ke hadirat yang maha pencipta
Atas anugerah-nya tanah nirmala
Bersuka cita, insan di persada yang aman sentosa
Damai makmur merdeka di setiap masa
Bersyukurlah kita semua
( bersatulah kita semua)

S'lalu berseri, alam indah permai di indonesia
Negeri tali jiwa hawa sejuk nyaman
Wajah pagi rupawan burung berkicau ria
Bermandi embun surga

Syukur ke hadirat yang maha kuasa
Atas anugerah-nya tanah bijana



09/12/2014

Istighosah Bukan Sekedar Agenda Rutin Tahunan



ISTIGHOSAH BUKAN SEKEDAR AGENDA RUTIN TAHUNAN

Oleh: Nanang M. Safa'



“Berdo'alah kepada Tuhan-mu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang malampui batas"
( QS Al a'rof : 55 )

Doa adalah gambaran nyata dari penghambaan kita kepada  Allah. Dengan do’a, seorang makhluk berkomunikasi dengan Sang Khaliq. Lewat do’a pula, seorang hamba mengakui kelemahan dan ketidak berdayaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kuasa.
Namun sepertinya ada anggapan yang kadang membuat kita salah dalam menempatkan do’a itu sendiri. Bahwa kita berdo’a hanya pada saat-saat kita sedang menghadapi sebuah peristiwa penting atau ketika sedang mengalami musibah seperti sakit atau sedang berduka. Pada saat-saat seperti itu seakan-akan kita begitu khusuk memanjatkan do’a, bermohon dan bermunajad kepada Allah. Sedangkan pada saat-saat biasa –dan ini yang sering kita alami sehari-hari- do’a yang kita panjatkan tidak lebih hanyalah rutinitas tanpa rasa tawadlu’ atau bahkan hanya sebagai pelengkap ritual, atau juga sebagai penutup acara.
Ada istilah lain yang sering kita dengar yang sejenis dengan do’a yakni istighosah. Namun sebenarnya peruntukan dari kedua istilah tersebut sedikit berbeda. Do’a lebih mengarah kepada hal yang bersifat umum, sedangkan istighosah mengandung makna khusus menyangkut permohonan agar dihindarkan dari musibah. Jadi antara keduanya terdapat makna umum dan makna khusus yang mutlak, artinya setiap istighostah adalah do'a namun sebaliknya setiap do'a belum tentu masuk kategori istighostah.
Menjelang ujian nasional (UN) banyak sekolah yang menyelenggarakan “istighosah” massal yang melibatkan seluruh siswa peserta ujian nasional, guru, bahkan orang tua siswa.
Ada satu pertanyaan yang perlu dikritisi dalam konsteks ini yakni apakah ujian nasional itu memang telah dianggap sebagai musibah yang mengancam keselamatan siswa atau bahkan lembaga pendidikan (baca: sekolah)? Padahal bukankah ujian nasional atau apapun namanya itu tak lebih hanyalah sebuah alat ukur untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran yang telah diterima? Jadi bukankah itu sebenarnya hal yang biasa saja?
Memang tak bisa dipungkiri, dalam sistem pendidikan kita banyak kerancuan terjadi. Pendidikan dipahami hanya sebatas peristiwa pengajaran, itu pun hanya yang paling dangkal. Banyak guru yang masih menghayati peran hanya sebagai pengajar, belum sampai pada tataran mendidik. Guru jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator, apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid memiliki greget untuk lebih rajin belajar agar kelak lebih dahsyat dari gurunya. Para guru lupa mengingatkan kepada muridnya bahwa Allah hanya akan meninggikan derajad orang yang berilmu pengetahuan.  Makanya yang dikejar murid dan dianjurkan oleh sistem pendidikan umumnya hanya untuk mencari selembar ijazah dan bukan untuk mencari ilmu pengetahuan (thalabul ilmi). Wajar jika Allah akhirnya tidak meninggikan derajad mereka. Dalam konteks ini Istighosah —disadari maupun tidak— hanya difungsikan sebagai kegiatan yang bersifat pragmatis belaka, dan bukan sebuah peristiwa religiusitas atau hubungan kemesraan antara Allah dan hamba-Nya. Sungguh hal yang menggelisahkan jika hal ini yang terjadi.
Kegiatan religius yang mestinya sangat sakral ternyata tak lebih hanya menjadi ajang tawar-menawar dalam hitungan untung rugi yang sangat berbau pragmatis dan kapitalis. Naudzubillah!
Maka marilah kita rubah mindset kita tentang makna pendidikan (termasuk Ujian Nasional) itu terutama kepada para anak didik kita agar kelak terbentuk pribadi-pribadi yang ahsani taqwim, makhluk yang hanya mencintai dan meletakkan Allah dan Rasul-Nya di hati mereka. Jangan sampai istighosah hanya menjadi kegiatan fenomenal setahun sekali yakni pada saat menjelang ujian nasional, dan itupun dalam hitungan untung rugi. Kita hanya menjadi pihak yang meminta saja dalam kemasan instan.  
Marilah kita selalu dan selalu mengingat Allah tidak saja pada saat-saat kita “berduka” dan ketika sedang menghadapi “peristiwa” berat saja. Marilah kita patri Allah dalam hati kita agar kita menjadi hamba-hamba Allah yang ahsani taqwim. Semoga.